Oleh Lilis Sumyati
(Pendidik Generasi dan Ibu Rumah Tangga)
Hampir dua tahun sudah kita bergelut degan Covid-19. Banyak hal dilewati selama pandemi, selain duka dan kehilangan, berbagai pembiasaan baru pun kita jalani dalam kehidupan sehari-hari. Salah satunya adalah pembelajaran jarak jauh (PJJ), cara ini sejak awal diberlakukannya kerap menuai pro dan kontra di kalangan siswa dan para orang tua.
Berbagai dampak dirasakan dari pelaksanaan PJJ ini. Mulai dari siswa yang depresi bahkan hingga nekat bunuh diri, karena stres dengan tugas yang menumpuk, masalah jaringan internet yang tidak memadai, kuota belajar yang tidak dimiliki, dan lain sebagainya. Para orang tua pun tidak sedikit yang mengalami stres akibat mendampingi anak dalam pembelajaran daring.
Wacana pembelajaran tatap muka memang sudah direncanakan oleh pemerintah pada Juli 2021. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim menyebutkan sekitar 550.000 guru dan tenaga pendidik sudah divaksinasi dan akan selesai hingga akhir Juni 2021, sehingga semua sekolah bisa memulai tatap muka terbatas.
Dikutip dari laman radarbandung.id, bahwa Kabupaten Bandung siap untuk melakukan pembelajaran tatap muka Juli mendatang dengan syarat sarana dan prasarana yang berbasis protokol kesehatan sudah siap dilaksanakan. Salah satu persiapan itu adalah para guru yang sudah menjalani vaksinasi Covid-19 sudah berjalan sekitar 70 persen.
Namun pelaksanaan belajar tatap muka tersebut perlu ditinjau ulang, sebab ketika wacana belajar tatap muka mengemuka, saat itu kasus Covid-19 dianggap sudah terkendali. Seiring berjalannya waktu, di luar dugaan terjadi kenaikan kasus yang mengkhawatirkan. Epidemiolog pun memprediksi, pasca Idul Fitri 2021 kemarin akan terjadi lonjakan kasus Covid-19.
Memutuskan untuk melaksanakan sekolah tatap muka di masa naik turunnya kasus memunculkan dilema. Menjadi banyak hal yang harus diperhatikan. Memang serba salah, jika pembelajaran jarak jauh dilanjutkan maka kualitas pendidikan akan semakin menurun, tetapi di sisi lain risiko penularan pun semakin membayangi. Ditambah lagi dengan pemberian vaksinasi yang belum merata, baru dilakukan di kalangan guru, sementara siswa belum mendapatkannya. Pasalnya, belum ada program vaksinasi untuk anak usia di bawah 18 tahun.
Berdasarkan fakta tersebut pemerintah seharusnya bisa mempertimbangkan kembali keputusannya, jangan sampai setelah diberlakukan dibatalkan kembali, seperti halnya buka tutup pariwisata.
Pihak yang mengkhawatirkan wajar adanya, mengingat berbagai kebijakan mengatasi pandemi selama ini dinilai tidak efektif dan tidak antisipatif. Sementara pendidikan sangatlah penting untuk kemajuan bangsa ini. Anak-anak kita sebagai pewaris pemimpin masa depan berhak mendapatkan kualitas pendidikan yang baik. Oleh karenanya kebijakan pendidikan yang direncanakan harus matang sehingga tidak meragukan, terkoordinasi dengan baik mulai dari pusat hingga tingkat daerah.
Sayangnya keseriusan pemerintah mengatasi pandemi belum dibuktikan. Larangan mudik berbarengan dengan dibukanya pariwisata adalah faktanya. Keuntungan ekonomi tidak mau dikorbankan, walaupun dengan alasan menggerakan ekonomi masyarakat disamping bagi pemasukan daerah. Inilah penyelesaian ala kapitalisme sekuler, yang menjadikan kepentingan utama adalah materi atau keuntungan. Kebijakan ditakar atas dasar untung rugi, bukan semata-mata tanggung-jawab kepengurusan.
Kapitalisme berbeda dengan Islam. Islam mempunyai solusi tuntas dalam menangani sekolah di masa pandemi, diantaranya:
Pertama, sebelum diberlakukan sekolah tatap muka maka negara wajib menjamin keamanan untuk warganya, maka dari itu selesaikan dahulu wabahnya dengan melakukan test secara masif ke seluruh masyarakat, hal ini agar diketahui secara jelas dan gamblang daerah mana saja yang individunya terpapar virus dan mana yang tidak sehingga mudah untuk memisahkan mana yang sakit dengan yang sehat. Tes diselenggarakan secara gratis, karena kalau berbayar pasti tidak akan tuntas, mengingat kemampuan masyarakat secara finansial berbeda-beda.
Kedua, setelah dipisahkan antara yang sakit dan yang sehat, bagi yang sehat diselenggarakan sekolah tatap muka, bagi yang sakit diobati sampai sembuh. Di samping itu negara akan melakukan edukasi kepada masyarakat terkait pandemi Covid-19, bahwa pandemi ini bagian dari ujian Allah SWT serta memahamkan kepada masyarakat terkait pentingnya protokol kesehatan.
Ketiga, memenuhi semua kebutuhan rakyat yang terdampak. Kalaupun belum siap melaksanakan pembelajaran tatap muka maka negara wajib memberikan fasilitas yang memadai untuk rakyatnya seperti ketersediaan jaringan internet, kuota, dan sarana lainnya untuk menunjang pembelajaran jarak jauh.
Keempat, Islam mewajibkan menuntut ilmu, oleh karena itu negara harus memastikan setiap individu bisa mengaksesnya tanpa harus mengeluarkan biaya sebab ditanggung oleh baitul maal. Pemasukan baitul maal berlimpah, sebab pengelolaan sumber daya alam tidak diserahkan kepada swasta terlebih asing, di samping pemasukan lainnya, seperti zakat, infak, fai, dan yang lainnya.
Demikianlah solusi yang berlandaskan Islam. Seorang pemimpin dalam Islam akan menjalankan fungsinya sebagai _raain_ (pengurus rakyat) bukan sebagai regulator seperti dalam kapitalisme. Pemimpin yang memerintah dengan adil berlandaskan syariat Islam. digambarkan oleh Rasulullah SAW melalui sabdanya:
“Sesungguhnya manusia yang paling dicintai Allah pada hari kiamat dan yang paling dekat kedudukannya di sisi Allah adalah seorang pemimpin yang adil.” (HR. Tirmidzi).
Wallahu a’lam bishshawab
Views: 2
Comment here