Oleh: Meilina Tri Jayanti
wacana-edukasi.com, Opini– Indonesia dikenal sebagai negara agraris. Potensi lahan pertaniannya begitu luas. Terutama di pulau Jawa. Komoditi tanaman yang dibudidayakan pun beragam, bukan sekadar padi. Potensi ini juga didukung dengan besarnya sumber daya manusia yang berprofesi sebagai petani. Di mana, SDM petaninya didominasi oleh penduduk desa.
Kolaborasi berbagai potensi tersebut seharusnya mampu mengantarkan Indonesia menjadi negara sumber pangan dunia. Namun, ibarat jauh panggang dari api, sektor pertanian negeri tercinta ini masih banyak menghadapi masalah.
Sejak diberlakukan kebijakan baru terhadap penyaluran pupuk bersubsidi (puksi), banyak petani yang mengeluhkan sulitnya mendapatkan puksi. Seperti yang diberitakan di laman m.mediaindonesia.com, pada 11/8/2023. Ditambah dengan adanya oknum yang menyalahgunakan penyaluran puksi. Seperti yang terjadi di Kabupaten Sumbawa Barat, 6 ton pupuk bersubsidi diselundupkan. (mataram.antaranews.com, 13/11/2023).
Kondisi tersebut masih diperparah dengan ketidakmampuan keuangan negara untuk memenuhi kebutuhan puksi diseluruh daerah secara penuh. Hal tersebut menyebabkan kelangkaan pupuk bersubsidi terjadi.
Ketergantungan terhadap pupuk besubsidi bagi petani negeri ini tergolong masih cukup tinggi. setidaknya ada dua faktor yang memengaruhi, di antaranya :
1. Pola pengelolaan lahan pertanian.
Sudah lumrah di negeri ini bahwa kepemilikan lahan pertanian dikuasai oleh sebagian kecil masyarakat kaya saja. Sedang pengelolanya, pada umumnya adalah petani yang tidak memiliki lahan pertanian. Untuk memenuhi kebutuhan harian, mereka menyewa lahan pertanian dengan pola bagi hasil.
Di antara pola bagi hasil yang berlaku, yakni dengan cara membagi produk hasil panen secara bergiliran. Dalam satu tahun pengelolaan lahan pertanian dibagi menjadi dua musim tanam (MT) produk tanaman pangan. Biasanya di MT pertama, hasil panen yang diperoleh merupakan hak dari pemilik lahan, sedangkan MT kedua menjadi hak penyewa lahan.
Ada juga sistem “maro”,“mertelu” dll. Namun, pada intinya semua pola sewa lahan tersebut sama. Yakni, ada sebagian hasil panen yang harus diberikan kepada pemilik lahan. Dengan pola tersebut, penyewa lahan berusaha untuk mendapatkan hasil panen yang melimpah, agar ada bagian hasil panen yang bisa mereka nikmati. Untuk bisa meningkatkan hasil panen, petani tidak segan-segan menggunakan pupuk dalam jumlah yang banyak, tidak sesuai dengan rekomendasi pemupukan berimbang.
Ada kerugian yang akan dialami oleh petani dari perilaku ini. Seperti, biaya produksi semakin membengkak. Apalagi dengan meningkatnya harga puksi dan sarana-sarana pertanian lainnya. Ditambah lagi, sifat produk pertanian cepat mengalami perubahan harga. Biasanya di masa-masa panen raya, harga produk pertanian mengalami penurunan. Menurut teori ekonomi kondisi tersebut membuat petani tidak mendapatkan keuntungan yang optimal/tinggi.
Selain itu, semakin banyak pupuk kimia yang diberikan terhadap lahan pertanian, maka akan membuat lahan pertanian semakin kehilangan kesuburannya. Pada umumnya lahan pertanian di negeri ini sudah memiliki derajat keasaman tanah yang cukup tinggi. Hal tersebut memberi dampak pada semakin kerasnya stuktur tanah pertanian. Sehingga menyulitkan akar tanaman untuk mampu berkembang dan menyerap unsur hara di dalam tanah. Pada akhirnya, penggunaan pupuk kimia yang tinggi menjadi alternatif bagi petani untuk menggenjot hasil panen.
Bila dikaji secara mendalam, keterkaitan pola pengelolaan lahan pertanian dengan tingkat kesuburan lahan yang semakin rendah, ibarat mata rantai yang sulit untuk diputus. Pengalaman di lapangan, upaya membujuk petani untuk mengembalikan kesuburan lahan pertanian dengan cara bijak penggunaan pupuk kimia dibarengi dengan penggunaan bahan-bahan organik, sangat sulit dicapai.
2. Monopoli produksi pupuk pertanian.
Pada faktanya penyediaan pupuk tidak bisa dipisahkan dengan kebijakan ekonomi yang diberlakukan negeri ini. Dalam ekonomi kapitalis, monopoli produksi barang-barang publik niscaya terjadi. Salah satunya adalah pengadaan pupuk pertaian yang produksinya diserahkan kepada PT. Pupuk Indonesia. Selayaknya perusahaan swasta, maka mereka berprinsip untuk bisa mendulang keuntungan yang berlimpah.
Prinsip ekonomi dalam sistem kapitalis adalah meminimalisir peran negara dalam pengurusan urusan rakyat. Dan yang lebih menonjol, dalam sistem ini tidak mengenal pembagian kepemilikan. Sehingga seolah-olah negara merasa memiliki semua sumber daya alam (SDA) yang ada. Dampaknya negara merasa berhak untuk mengelola SDA sesuai kehendaknya. Dengan dalih tidak memiliki anggaran dana, SDA yang notabene menyangkut hajat hidup orang banyak, serta merta diserahkan pengelolaannya kepada pihak swasta, baik lokal maupun asing. Dari sini nampak, negara hanya berfungsi sebagai fasilitator.
Berbeda dengan sistem ekonomi kapitalis, sistem ekonomi Islam membagi asas kepemilikan menjadi tiga, yaitu kepemilikan individu, kepemilikan umum, dan kepemilikan negara. Mengenai ketersedian sarana umum seperti pupuk, maka yang menjadi ranah pembahasan adalah pengelolaan kepemilikan umum. Islam berpandangan bahwa negara dalam hal ini, hanya diberi hak untuk mengelola (mengeksplorasi dan mengekploitasi) SDA yang merupakan milik semua warga negara.
Hasil pengelolaan SDA
Hasil pengelolaan SDA berupa produk jadi seperti BBM, maka negara wajib menyerahkannya kepada seluruh warga negara. Bila memungkinkan, dengan cuma-cuma (gratis). Apabila dalam proses pengelolaan tersebut ada biaya yang dikeluarkan dari kas negara, maka proses penyerahan produk dikenakan biaya sebatas untuk mengganti kas negara yang terpakai. Negara diharamkan untuk mengambil keuntungan sedikit pun dari masyarakat. Dengan begitu, petani tidak terbebani biaya produksi pertanian yang mahal. Karena pada umumnya, sebagain besar alsintan (alat mesin pertanian) berbahan bakar BBM.
Hasil pengelolaan SDA berupa sejumlah dana atau uang, penyalurannya diarahkan guna mendanai kebutuhan-kebutuhan primer masyarakat yang bersifat kolektif, seperti pendidikan dan kesehatan. Atau untuk mendanai pembangunan pabrik-pabrik atau industri yang memungkinkan bagi tersedianya sarana prasarana produksi pertanian seperti pupuk, pestisida dan ketersediaan alsintan. Bisa juga disalurkan sebagai modal usaha tani masyarakat tanpa kompensasi.
Berpangkal dari penerapan sistem ekonomi yang benar, SDA yang merupakan anugerah Sang Pencipta pasti akan dapat menyejahterakan seluruh manusia. Termasuk di dalamnya, mereka yang berprofesi sebagai petani. Tentunya kita sangat berharap, umat ini kembali ke masa keemasan mereka. Masa di mana mereka mampu menguasai sains dan teknologi pertanian yang mengantarkan negaranya memiliki kemandirian dan kedaulatan pangan yang kuat. Kondisi yang membuat umat ini tidak bergantung pada bangsa lain.
Wallahu a’lam bish-shawwab.
Views: 21
Comment here