Oleh: Nafeezah Syazani Alifiana (Pegiat Literasi Andoolo)
wacana-edukasi.com, OPINI– Beberapa lembaga telah melakukan survei dengan berbagai metode yang dipilih untuk menilai seberapa besar tingkat kepercayaan rakyat terhadap lembaga negara. Salah satunya adalah indokator politik Indonesia pada tanggal 20-24 Juni 2023 telah melakukan survei tingkat kepercayaan publik terhadap lembaga dan yang berada di posisi bottom two (dua terbawah) adalah DPR dan partai politik.
Burhanudin Muhtadi peneliti utama indikator politik Indonesia menyampaikan bahwa posisi terendah diduduki parpol dengan perolehan kepercayaan publik hanya 6,6 persen masyarakat yang sangat percaya terhadap parpol. Sedangkan DPR memperoleh angka 7,1 persen saja (kompas.com, 02/07/2023).
Sebenarnya lembaga DPR dan parpol menduduki posisi terbawah bukan hanya pada tahun ini saja, tahun-tahun sebelumnya pun tingkat kepercayaan publik sangat rendah pada dua lembaga ini.
Berdasarkan hasil survei tersebut Habiburokhman sebagai wakil ketua umum partai Gerindra sekaligus anggota komisi III DPR memberikan pembelaannya dengan mengatakan bahwa DPR adalah lembaga yang terdiri dari orang perorang yang kerjanya independen meskipun menghasilkan produk yang sama sehingga menurutnya tidak ada fungsi khusus di DPR yang bertugas untuk menaikkan kepercayaan publik. Ia juga menilai rendahnya kepercayaan menunjukkan tingginya ekspektasi publik terhadap kinerja DPR khususnya dalam menjalankan tiga fungsi utamanya yaitu legislasi, pengawasan, dan anggaran (republika.co.id, 02/07/2023).
Namun jika kita pelajari ketidak percayaan masyarakat pada parpol boleh dikatakan bahwa parpol sebagai wadah dan kendaraan bagi rakyat untuk menyalurkan aspirasinya tidak berjalan sesuai fungsinya. Justru parpol yang dijadikan kendaraan untuk meraih popularitas dan kekuasaan. Individu dalam parpol kebanyakan memiliki visi mengejar materi dan tahta semata sehingga tidak sedikit anggota parpol yang terlibat korupsi. Yang lebih membuat rakyat tidak percaya adalah anggota parpol yang juga menjabat sebagai menteri agama sampai masuk penjara karena kasus korupsi. Seharusnya menjadi contoh teladan, malah terlibat aktivitas haram. Hal seperti demikian karena parpol melakukan rekrutmen dengan kaderisasi politikus instan agar parpolnya masuk kualifikasi KPU. Alhasil politikus yang ada bukan karena kapabilitas melainkan modal dan popularitas.
Begitu pula pada anggota parpol yang diberikan amanah sebagai wakil rakyat di DPR misalnya pun tidak menjadi wakil yang menyuarakan aspirasi rakyat malah sibuk memenuhi tuntutan partai dan sponsornya. Akhirnya tuntutan rakyat terabaikan dan tak terpenuhi.
Rakyat juga tidak percaya pada DPR karena lembaga tersebut seringkali menetapkan kebijakan yang merugikan rakyat. Kebijakan yang ditetapkan seperti UU IKN yang dianggap pro kepentingan oligarki dan mengesampingkan keadilan bagi rakyat. Anggaran dana yang fantastis untuk pembangunan IKN dianggap terlalu berlebihan mengingat masih banyak perut rakyat yang kelaparan dan tidak mendapat sentuhan uluran tangan penguasa untuk membantu memenuhi kebutuhan dasar mereka.
Selain itu juga UU omnibus law cipta kerja yang dinilai sangat berpihak kepada kepentingan asing dan oligarki yang disahkan di tengah rakyat melakukan dekonsentrasi penolakan hingga berjilid-jilid. UU ini telah berdampak buruk terhadap kesejahteraan rakyat karena sebenarnya cacat secara formil dan materil. Masih banyak kebijakan lain selain dua contoh di atas yang tidak mengakomodasi kepentingan rakyat sehingga mengakibatkan rakyat sangat tidak percaya pada lembaga DPR.
Politik demokrasi seringkali melahirkan pejabat yang tidak kapabel dan tidak amanah dalam menjalankan tugasnya karena tujuannya bermuara pada tercapainya kebahagiaan individu dan terpenuhinya materi yang banyak. Bukan bagaimana mengurusi rakyat untuk mencapai kesejahteraan bersama. Sebab dipilihnya mereka pun bukan berdasarkan kualitas dan kapabilitas tetapi berdasarkan popularitas dan dana politik yang dikuasai. Semakin banyak modal politik semakin mudah meningkatkan popularitas sehingga lebih mudah meraup suara saat kontestasi pemungutan suara.
Perlu diperhatikan semakin banyak modal dana maka kemungkinan besar hal tersebut pun menarik para cukong politik para oligarki untuk terlibat dan ini yang akhirnya mengantarkan kepada kebijakan yang tidak independen dan tidak memihak rakyat tapi mengikuti kepentingan para oligarki yang sebelumnya telah mengeluarkan dana untuk modal pemenangan. Rakyat hanya dijadikan sebagai pendulang suara agar menang dan semakin populer.
Selain itu, Parlemen memiliki tugas dalam membuat hukum, tapi sayangnya hukum yang dibuat hanya berdasarkan kejeniusan manusia dan berbagai kepentingan, bukan berdasarkan sosok teladan dari Nabi dan dari Sang Illahi Allah Tuhan pencipta alam semesta dan kehidupan. Padahal manusia hidup dan tinggal di bumi Allah tapi melupakan Allah dalam membuat hukum-hukum yang akan diterapkan kepada masyarakat. Bukankah ini bukti kesombongan manusia kepada penciptanya?
Ketidak percayaan terhadap parpol dan DPR sudah menjadi konsekuensi logis karena realita DPR dan parpol yang digadang-gadang sebagai aspirasi rakyat justru tidak membela kepentingan rakyat. Buktinya pun sudah terpampang nyata. Padahal seharusnya tugas mereka adalah mendidik kesadaran politik rakyat. Inilah konsekuensi penerapan sistem sekularisme demokrasi. Sebuah sistem yang menegasikan aturan Allah Ta’ala dalam kehidupan manusia dan justru memberikan kedaulatan hukum ditangan manusia.
Sangat berbeda dengan sistem politik dalam Islam yang diturunkan Allah sebagai sistem kehidupan manusia. Maka syariat di dalamnya begitu menyeluruh dan sempurna yang harus ditaati oleh semua rakyat maupun pemerintah. Syariat Islam telah mengatur agar rakyat dan pemerintah menjalankan perannya masing-masing sehingga hukumnya tetap ada di muka bumi.
Dari sisi negara syariat telah menetapkan ia adalah pihak yang paling bertanggungjawab menetapkan, menerapkan, dan mengurusi jalannya pemerintahan agar sesuai dengan syariat Islam. Hukum dilegalisaaikan oleh kepala negara bukan oleh anggota DPR. Dan hukumnya bersumber dari Alquran dan As-Sunnah bukan seperti demokrasi hukumnya berdasarkan kesepakatan bersama sesuai kepentingan pihak tertentu, inilah yang menyebabkan perpecahan dan ketidakpercayaan antara rakyat dan pemerintah.
Dalam Islam rakyat juga memiliki peran demi berjalannya negara agar tetap dalam koridor syariat. Wajib adanya amar makruf nahi mungkar yang dilakukan oleh partai politik sebagaimana dalam Quran surah Ali-Imran:104 “dan hendaklah diantara kamu ada segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang makruf dan mencegah dari yang mungkar. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung”.
Ada juga majelis ummah dan segenap warga negara sebagai tempat aspirasi warga menyampaikan kebutuhan warga dan mengoreksi kebijakan negara. Maka ini sebagai bentuk check and balance berjalannya pemerintahan Islam. Parpol dalam Islam bukan seperti parpol dalam demokrasi. Tugas utama parpol adalah mendidik kesadaran politik rakyat, melakukan kontrol dan muhasabah terhadap negara, agar negara selalu menerapkan hukum-hukum sesuai syariat dan memihak rakyat baik itu di dalam negeri maupun kebijakan-kebijakan luar negerinya.
Seperti inilah politik seharusnya dalam kehidupan agar mampu menjamin kesejahteraan rakyat. Wallahu’Alam bishowab.
Views: 10
Comment here