Wacana-edukasi.com Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, itulah bunyi sila yang kelima dalam dasar NKRI. Dalam KBBI sendiri, keadilan sosial berarti kerja sama untuk menghasilkan masyarakat yang bersatu sehingga setiap anggota masyarakat memiliki kesempatan yang sama dan nyata untuk tumbuh dan belajar hidup berdasarkan kemampuan aslinya. Sedangkan akar katanya sendiri yakni adil berarti sama berat, atau tidak berat sebelah.
Dari pemaparan tersebut ini berarti bahwa penerapan hukum dan kebijakan sebuah negara harus sama baik kepada yang kaya maupun yang miskin, pegawai, buruh, petani, dan lain-lain. Berbicara soal keadilan ini, misalnya mengulas persoalan penanganan pandemi covid-19 yang memperlakukan adanya kebijakan tes PCR sebagai salah satu syarat dalam menempuh perjalanan baik itu udara maupun laut.
Kebijakan tersebut hanyalah salah satu dari sekian kebijakan yang mencekik rakyat di negeri ini. Persoalannya bukan masyarakat yang tidak menginginkan keberadaan tes PCR, akan tetapi nominal harga teslah yang membuat rakyat berpikir keras untuk merogoh rupiah. Ya, sebelum adanya kebijakan baru mengenai standar biaya tes PCR, di kalangan masyarakat telah berjalan tes dengan kisaran harga mulai dari Rp 900.000 s.d Rp 3.000.000.
Baru-baru ini, keluarlah kebijakan yang mensyaratkan bahwa biaya PCR harus di bawah Rp 600.000. Seperti yang dilansir dalam Detiknews, 15/08-202Presiden Joko Widodo (Jokowi) memerintahkan agar harga tes Polymerase Chain Reaction (PCR) diturunkan. Jokowi meminta agar biaya tes PCR dikisaran RP450 ribu hingga Rp550 ribu.
“Saya sudah bicara dengan Menteri Kesehatan mengenai hal ini, saya minta agar biaya tes PCR berada dikisaran antara Rp 450.000 sampai Rp 550.000 ribu,” kata Jokowi dalam keteranngannya melalui kanal YouTube Setpres, Minngu (15/8/2021)
Kasus di atas, memang bukan satu-satunya bentuk ketidakadilan di negeri ini, jika memang keadilan itu penerapannya untuk rakyat mengapa ditengah keterpurukannya rakyat harus membayar mahal sebuah kesehatan? Bukankah negeri ini memiliki kekayaan yang melimpah ruah? Kekayaan yang tidak hanya terdapat di darat tapi juga lautan. Tambang–tambang emas, batu bara, dan yang lainnya begitu banyak sampai-sampai kekayaan itu harus terkeruk oleh asing dan aseng demi kepentingan penguasa.
Kini pelayanan kesehatan yang harusnya merata, hanya dapat dikantongi oleh mereka yang berdompet tebal, yang fakir dan papa dilarang sakit, agar tak membebani penguasa. Katanya negara memiliki semboyan keadilan sosial, dimana bentuk keadilannya? Miris memang, penerapan sistem hari ini, mereka yang kaya mampu menikmati pelayanan yang sekelas VVIP, yang papa dibiarkan dengan tikar lesehan bahkan tanpa alas.
Berbeda halnya ketika sebuah negara menerapkan aturan Sang Khalik. Yang sumbernya jelas, dengan rujukan yang memartabatkan manusia juga aqidahnya. Ya, sistem Islam yang rahmatan lil’alamin.
Dalam penerapan hukum Islam, kesehatan menjadi salah satu tugas dan kewajiban negara yang pemerolehannya digratiskan kepada rakyat. Sehingga keadilan benar-benar terwujud secara paripurna. Dalam pelayanan kesehatan ini, negara menyediakan pelayanan terbaik kepada rakyat baik yang kaya maupun yang papa. Pun demikian juga baik yang pegawai maupun rakyat biasa memiliki hak yang sama.
di samping menyediakan layanan terbaik, negara juga menyelaraskannya dengan tunjangan fasilitas yang lengkap, sehingga bayang-bayang kegagalan dalam dalam menangani berbagai persoalan kesehatan ini jauh dari rakyat. Hal ini tentu sangat kontradiksi dengan sistem hari ini yang selalu mengandalkan pelayanan mahal tapi hanya mampu dinikmati oleh kaum menengah ke atas.
Oleh sebab itu, mengembalikan negara pada penerapan sistem Islam haruslah diwujudkan kembali, mengingat urgensi penerapan sistem kapitalisme saat ini hanya mampu melayani penguasa dan para pengikutnya, sedangkan rakyat dibiarkan hidup dalam penderitaan yang berkepanjangan. Hak-hak mereka dirampas demi memberikan jalan aseng dan asing, juga menjadikan pelayanan publik yang harusnya gratis sebagai ladang bisnis dalam memenuhi tuntunan hawa nafsu manusia.
Irsad Syamsul Ainun — Muslimah Papua
Views: 4
Comment here