Oleh: Widhy Lutfiah Marha (Pendidik Generasi)
Wacana-edukasi.com, OPINI– Belum lama ini, masyarakat Indonesia dibuat geram dengan praktik pertamax oplosan yang merugikan konsumen dan membahayakan kendaraan. Namun, sebelum kemarahan itu reda, kini muncul skandal baru yang tak kalah mengejutkan: Minyakita oplosan dan pengurangan takaran. Minyak goreng bersubsidi yang seharusnya menjadi solusi bagi masyarakat malah dimanfaatkan oleh segelintir pelaku usaha nakal untuk meraup keuntungan dengan cara curang.
Satgas Pangan Polri sedang menyelidiki temuan minyak goreng kemasan bermerek MinyaKita yang diduga tidak sesuai dengan takaran yang tertera pada label kemasan. Menteri Pertanian (Mentan) telah meminta tiga perusahaan MinyaKita yang terbukti mengurangi takaran untuk disegel. Temuan ini merugikan konsumen, terutama masyarakat berpenghasilan rendah yang mengandalkan MinyaKita sebagai minyak goreng bersubsidi dengan harga terjangkau. Satgas Pangan Polri menekankan pentingnya pengawasan ketat terhadap distribusi minyak goreng di pasaran agar kejadian serupa tidak terulang. (tirto.id, 09/03/2025)
Kasus ini semakin membuktikan bahwa kejahatan korporasi di sektor pangan semakin berani dan masif. Alih-alih menjaga kepercayaan masyarakat, beberapa perusahaan justru mengorbankan kepentingan rakyat demi keuntungan pribadi. Namun, yang lebih ironis lagi adalah betapa lemahnya negara dalam mengendalikan industri pangan, sehingga kasus seperti ini bisa terus terjadi tanpa ada efek jera bagi para pelaku.
Negara Gagal Melindungi Rakyat
Kasus Minyakita oplosan dan pengurangan takaran bukan sekadar insiden kecurangan biasa. Ini adalah bukti nyata dari gagalnya negara dalam melindungi rakyat dari praktik manipulatif yang dilakukan oleh para pemain besar di industri pangan. Fakta bahwa minyak goreng bersubsidi bisa dipermainkan sedemikian rupa menegaskan bahwa negara tidak benar-benar hadir dalam pengelolaan kebutuhan dasar rakyat.
Jika negara serius mengawasi dan mengendalikan distribusi pangan, maka skandal semacam ini tidak akan terjadi. Namun, realitas yang kita hadapi menunjukkan hal sebaliknya: negara justru memberikan keleluasaan penuh kepada korporasi untuk mengendalikan sektor pangan, baik dari sisi produksi maupun distribusi. Pemerintah hanya bertindak sebagai regulator, bukan sebagai pengurus kebutuhan rakyat.
Inilah kelemahan utama dalam sistem ekonomi kapitalisme yang diterapkan saat ini. Dalam sistem ini, pangan bukan dianggap sebagai kebutuhan dasar yang harus dijamin oleh negara, melainkan sebagai komoditas bisnis yang boleh dikelola oleh korporasi dengan prinsip untung-rugi. Akibatnya, setiap kebijakan yang dibuat lebih mengutamakan kelancaran bisnis daripada kesejahteraan rakyat.
Saat ini, kita melihat dengan jelas bagaimana negara lebih sibuk mengakomodasi kepentingan pengusaha besar dibandingkan melindungi kepentingan masyarakat luas. Bahkan ketika kasus kecurangan seperti ini terbongkar, sanksi yang diberikan sering kali tidak cukup berat untuk membuat jera para pelaku. Tidak heran jika skandal demi skandal terus berulang.
Bahkan, kecurangan dalam industri pangan seperti kasus Minyakita bukanlah yang pertama dan tampaknya juga tidak akan menjadi yang terakhir. Kita telah berkali-kali melihat bagaimana korporasi memegang kendali penuh atas rantai distribusi pangan, mulai dari produksi hingga penjualan ke pasar.
Saat terjadi kelangkaan minyak goreng beberapa waktu lalu, misalnya, banyak pihak yang curiga bahwa ada praktik penimbunan oleh perusahaan besar untuk menaikkan harga. Begitu juga dengan kasus gula, beras, dan komoditas pangan lainnya yang harganya sering kali berfluktuasi tajam tanpa ada intervensi nyata dari pemerintah. Inilah bukti bahwa pangan di Indonesia telah sepenuhnya berada dalam genggaman korporasi, dan negara hanya bisa menjadi penonton yang sesekali turun tangan ketika terjadi kegaduhan di masyarakat.
Lebih parahnya lagi, dalam banyak kasus, negara justru memberikan “karpet merah” bagi korporasi untuk terus menguasai sektor pangan. Berbagai kebijakan yang diambil sering kali lebih menguntungkan pengusaha daripada masyarakat. Bahkan, ketika terjadi pelanggaran serius, sanksi yang diberikan sering kali terlalu ringan atau bahkan tidak ada sama sekali.
Jika situasi ini dibiarkan berlarut-larut, maka bukan tidak mungkin kelangkaan, kecurangan, dan manipulasi harga akan semakin menjadi-jadi. Yang dirugikan tentu bukan korporasi, melainkan masyarakat luas, terutama mereka yang berasal dari kalangan menengah ke bawah yang sangat bergantung pada harga-harga kebutuhan pokok yang stabil dan terjangkau.
Pengaturan Pangan Dalam Islam
Berbeda dengan sistem kapitalisme yang menyerahkan urusan pangan kepada mekanisme pasar, Islam memiliki aturan yang jelas dalam mengatur kebutuhan dasar rakyat, termasuk pangan. Dalam Islam, negara bertanggung jawab penuh dalam memastikan bahwa setiap warga negara mendapatkan akses yang cukup terhadap kebutuhan pokok mereka, termasuk minyak goreng, beras, gula, dan komoditas lainnya.
Negara dalam sistem Islam tidak hanya berperan sebagai regulator, tetapi juga sebagai pengelola dan pelindung kebutuhan rakyat. Paradigma yang digunakan adalah paradigma pelayanan, bukan bisnis. Ini berarti bahwa pemerintah tidak boleh membiarkan korporasi menguasai rantai distribusi pangan dari hulu hingga hilir, apalagi sampai membiarkan praktik kecurangan seperti oplosan dan pengurangan takaran.
Salah satu instrumen utama dalam Islam yang memastikan keadilan dalam perdagangan adalah Qadhi Hisbah, yaitu lembaga pengawasan pasar yang bertugas untuk memastikan tidak ada kecurangan dalam transaksi perdagangan. Jika ditemukan adanya penipuan seperti yang terjadi dalam kasus Minyakita, maka negara akan memberikan sanksi yang tegas yang menjerakan, bahkan bisa sampai melarang pelaku usaha yang curang untuk berbisnis kembali.
Selain itu, Islam juga menetapkan bahwa kebutuhan pokok rakyat tidak boleh dikuasai oleh segelintir pihak yang hanya mengejar keuntungan. Negara wajib memastikan bahwa pasokan pangan selalu tersedia dalam jumlah yang cukup, harga tetap stabil, dan distribusi berjalan adil. Dengan sistem Islam, praktik kecurangan seperti oplosan dan pengurangan takaran tidak akan bisa berkembang seperti yang terjadi saat ini.
Kasus Minyakita oplosan seharusnya menjadi peringatan keras bagi pemerintah bahwa ada sesuatu yang sangat salah dalam sistem tata kelola pangan di negeri ini. Jika negara terus membiarkan korporasi mengendalikan distribusi pangan tanpa pengawasan yang ketat dan sanksi yang tegas, maka kejahatan serupa akan terus berulang.
Sudah saatnya masyarakat sadar dengan jebakan kapitalisme yang lebih berpihak pada pengusaha besar daripada rakyat. Pangan bukan sekadar komoditas bisnis yang bisa dimainkan oleh segelintir pihak, tetapi merupakan kebutuhan dasar yang wajib dijamin oleh negara. [WE/IK].
Views: 3
Comment here