Opini

Menyoal Cukai Minuman Manis

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh : Irohima

Wacana-edukasi.com, OPINI-– Tingginya angka kematian akibat penyakit diabetes yang disebabkan konsumsi gula yang berlebihan, menyebabkan adanya rencana penetapan cukai minuman berpemanis. Kebijakan ini dikabarkan sebagai upaya mengurangi risiko penyakit diabetes juga sebagai solusi mencegah penyakit tidak menular ini. Lantas, akankah kebijakan ini bisa berjalan efektif, mengingat minat masyarakat Indonesia akan minuman manis begitu tinggi ? atau bisakah kebijakan ini menekan laju perkembangan penyakit diabetes yang semakin tinggi?

Minuman berpemanis dalam Kemasan (MBDK) akan mulai dikenakan cukai, meski masih digodok namun pemberlakuan cukai MBDK diharapkan akan diimplementasikan pada tahun ini. produk MBDK yang akan terkena cukai adalah produk yang mengandung gula, pemanis alami dan pemanis buatan (CNBC Indonesia, 23/02/2024).

Munculnya ide cukai minuman berpemanis dilatar belakangi oleh adanya keterkaitan pemanis buatan dengan risiko kesehatan serta adanya potensi keuntungan besar yang akan masuk ke kantong negara. Selain itu, kebijakan ini juga tak lepas dari pengaruh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang merekomendasikan negara-negara anggota agar menerapkan fiskal bagi minuman berpemanis. Cara ini dianggap oleh WHO sebagai langkah yang tepat dalam menghemat biaya sebagai upaya mencegah penyakit, cedera dan kematian dini. Pemberlakuan kebijakan ini tentu akan memiliki dampak besar bagi produsen ataupun konsumen. Adanya cukai akan membuat biaya produksi minuman berpemanis akan meningkat dan berakibat pada harga jual yang mungkin akan ikut naik.

Mengonsumsi minuman berpemanis dengan berlebihan akan berisiko terhadap kesehatan. Seperti kita ketahui, seringnya mengonsumsi minuman berpemanis akan menimbulkan efek samping seperti gangguan metabolisme, kecanduan, alzheimer, demensia, obesitas, diabetes tipe 2, jantung hingga kanker. Tingginya minat masyarakat akan minuman berpemanis berpengaruh pada tingginya potensi kenaikan kasus penyakit yang disebabkan konsumsi minuman manis yang berlebihan.

Meski risiko yang ditimbulkan terbilang berbahaya namun pendapatan rata-rata penjualan minuman berpemanis di Indonesia selalu berada di tren yang meningkat dari tahun ke tahun dan diprediksi akan terus naik hingga tahun 2028. Hal inilah yang kemudian menjadi salah satu faktor munculnya kebijakan cukai, pemerintah bahkan telah menargetkan penerimaan cukai dari MBDK sebesar Rp 4,39 triliun di tahun pertama. Meski penerapan kebijakan ini akan berdampak pada besarnya pemasukan kas negara, namun tetap dikatakan bahwa tujuan utama pengenaan cukai ini sebagai upaya pengendalian.

Upaya pengendalian dan pencegahan penyakit semisal diabetes tentu memerlukan upaya yang mendasar dan menyeluruh. Penetapan cukai pada minuman berpemanis dalam kemasan tidak serta merta menyurutkan minat masyarakat terhadap minuman manis. Apalagi dalam kondisi kemiskinan yang tinggi dan rendahnya tingkat pendidikan, literasi kesehatan dan juga keamanan pangan saat ini, kondisi seperti inilah yang justru membuka celah adanya minuman manis yang beredar secara tidak terkontrol di tengah masyarakat. Di sisi lain, penetapan berbagai cukai yang menjadi sumber pendapatan negara merupakan salah satu ciri negara yang menerapkan sistem kapitalisme. Tingginya pendapatan dari penjualan minuman berpemanis tentu merupakan peluang untuk memperoleh keuntungan yang manis lagi menjanjikan. Meskipun pada faktanya, masih banyak persoalan terkait dengan kepatuhan dan besarnya peluang penyelewengan pajak. Dengan demikian makin menimbulkan keraguan akan keberhasilan upaya pengendalian dan pencegahan ini. Apalagi para pelaku industri tentu merasa dirugikan dengan adanya kebijakan tersebut, mengingat untuk memastikan aliran pemasukan, perusahaan hanya memiliki pilihan menaikkan harga atau efisiensi produksi yang biasanya berujung pada PHK. Jika PHK terjadi, lagi-lagi rakyat yang menjadi korban.

Kesehatan dan keamanan pangan merupakan kebutuhan masyarakat yang selayaknya harus dipenuhi oleh negara sebagai institusi yang memiliki tanggung jawab mengurusi urusan rakyat, sebaliknya dalam Kapitalisme yang berasaskan manfaat, segala sesuatu akan dikondisikan untuk menghasilkan keuntungan, segala aspek kehidupan pun bisa menjelma menjadi komoditas termasuk kesehatan dan keamanan pangan.

Sungguh berbanding terbalik dengan sistem Islam, negara dalam Islam berkewajiban menjaga kesehatan rakyatnya. Negara akan melakukan upaya yang menyeluruh dan mendasar untuk mencapai derajat kesehatan yang prima, baik melalui pembuatan kebijakan dan aturan dalam industri. Negara akan menyediakan sarana dan fasilitas yang memadai bahkan yang terbaik dalam layanan kesehatan. Negara juga akan memberikan edukasi kepada masyarakat dengan sungguh-sungguh terkait dengan pentingnya kesehatan dan keamanan pangan dalam prinsip hallalan thayyiban.

Negara dalam Islam tidak akan pernah menjadikan penarikan pajak sebagai cara mengatur distribusi barang ataupun sebagai sumber pendapatan. Pajak hanya boleh diberlakukan dalam kondisi tertentu, seperti saat negara mengalami kekosongan finansial, itupun hanya diambil dari orang-orang yang kaya atau mampu. Meski pajak diperbolehkan namun dalam sejarah peradaban Islam, tak sekalipun terdengar adanya pajak yang diwajibkan, yang ada hanyalah kesejahteraan dan kemakmuran serta kekayaan yang bersumber dari hasil pengelolaan sumber daya alam sebagai sumber pendapatan.

Wallahualam bis shawab

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 6

Comment here