Oleh D. Leni Ernita
wacana-edukasi.com, OPINI– Ratusan infrastruktur dan fasilitas publik terdampak gempa magnitudo 5,6 yang melanda Cianjur, Jawa Barat. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat, sebanyak 526 infastruktur rusak, yakni 363 bangunan sekolah, 144 tempat ibadah, 16 gedung perkantoran, dan tiga fasilitas kesehatan. Sedangkan jumlah rumah warga yang rusak sebanyak 56.320 unit.
Kepala BNPB Suharyanto mengumumkan kenaikan jumlah korban yang ditemukan tewas akibat gempa Cianjur, Jawa Barat. Berdasar data yang dihimpun BNPB hingga pukul 17.00 WIB, Rabu (23/11/2022), total korban meninggal dunia adalah 271 orang. Selain itu yang hilang 40 orang, 39 di Cugenang, satu di Warung Kondang dan sebanyak 2.043 orang mengalami luka-luka, serta sekitar 61 ribu orang lainnya mengungsi.
Sebagaimana dinyatakan gempa diduga akibat pergerakan Sesar Cimandiri yang berpusat di sekitar Sukabumi-Cianjur dan terjadi akibat patahan geser. Namun, tidak ada sedikit pun langkah antisipasi. Kebanyakan yang menjadi korban adalah yang tertimpa runtuhan bangunan.
Sungguh miris, kematian massal berulang di tengah panjangnya catatan sejarah gempa, juga berlimpahnya ilmu pengetahuan dan teknologi infrastruktur tahan gempa, serta para ahlinya bagi upaya mitigasi struktural dan nonstruktural.
Artinya, bukan gempa yang membunuh, melainkan tangan penguasa yang lalai dengan politik perumahan kapitalistik. Sungguh berbahaya jika kelalaian ini tidak segera diakhiri. Pasalnya, gempa adalah bagian dari kehidupan Indonesia sebagai konsekuensi geografisnya berada di rangkaian ring of fire (cincin api) atau circum-pacific belt.
Dengan demikian, butuh paradigma baru tentang politik tata kelola perumahan agar tragedi seperti di Cianjur tidak kembali terjadi.
Hal ini ditegaskan pihak pemerintah sendiri, yakni Kepala Pusat Gempa Bumi dan Tsunami Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Gempa itu sebenarnya tidak membunuh dan melukai, tapi bangunan yang tidak standar aman gempa yang kemudian roboh yang menimpa penghuninya itu menjadi penyebab jatuhnya korban jiwa dan luka.
Terkait desain bangunan yang tidak tahan gempa, ditegaskan ahli konstruksi bangunan sekaligus Ketua Umum Himpunan Ahli Konstruksi (HAKI).
kebanyakan yang runtuh itu yang unconfined, atau confined, tetapi tidak sempurna. Itu yang banyak runtuh kemarin akibat gempa di Cianjur,
Para ahli sangat mengkhawatirkan berulangnya kerusakan bangunan akibat gempa sebab berujung kematian massal yang sebenarnya bisa dicegah. Pengetahuan kaidah konstruksi bangunan tahan gempa yang begitu maju sudah tersedia dan bukanlah hal baru. Bahkan, tata konstruksi tahan gempa adalah bagian dari sejarah konstruksi Indonesia.
Berbagai suku di Indonesia sendiri berdiam di rumah tradisional yang diselaraskan dengan kondisi alam Indonesia yang ada di wilayah ring of fire yang memang sering mengalami gempa bumi dan letusan gunung api.
Pada saat yang sama, politik perumahan kapitalistik yang didukung sistem kehidupan kapitalisme dan abainya negara menjamin pemenuhan kebutuhan rumah, mengakibatkan biaya pembangunan rumah dan harga rumah menjadi sangat mahal. Hanya 56,75% keluarga tinggal di rumah layak, sedangkan puluhan juta lainnya hidup di hunian tidak layak.
Jadilah, mitigasi struktural (berupa pembangunan konstruksi tahan gempa) dan nonstruktural (berupa rencana tata ruang wilayah berdimensi kegempaan dan law enforcement) menjadi sekadar konsep indah di atas kertas.
Oleh karenanya, bukan gempa yang membunuh, melainkan tangan-tangan rezim sistem demokrasi kapitalisme yang lalailah yang menyebabkannya.
Apabila ditelisik, akar kelalaian pengurusan kehidupan masyarakat, khususnya pemenuhan hajat hidup perumahan, berawal dari adanya rezim berkuasa sebagai pelaksana sistem kehidupan sekuler kapitalisme. Ini karena sistem kehidupan paling berperan dalam pembentukan watak rezim.
Sementara itu, sistem kehidupan sekuler terpancar dari akidah rusak yang kompromistis dan mengabaikan kebenaran sebagai asasnya. Tidak heran jika rezim mengabaikan kebenaran ilmu pengetahuan dan peringatan pakar bahwa Indonesia berada di wilayah rawan gempa yang sangat berbahaya apabila infrastruktur tidak berkonstruksi tahan gempa.
Dalam sistem kapitalisme, kebenaran hanya akan diambil selagi berfaedah secara materi sebagai nilai paling menonjol dalam peradaban yang dibentuk oleh sistem kehidupan batil ini. Bahkan, materi menjadi satu-satunya nilai yang diakui.
Sekularisme dan kapitalisme sebagai akar masalah juga terlihat dari visi negara yang nihil dari aspek ri’ayah (pengurusan) umat. Tata kelola pemerintahan yang baik menurut pandangan sekularisme berwujud keberadaan negara sebagai regulator bagi kepentingan korporasi. Fungsi yang tidak sehat menjadi tuntutan negara demokrasi dengan konsep good governance-nya. Oleh karenanya, tidaklah heran apabila kebijakan negara tidak lagi tulus untuk kemaslahatan masyarakat.
Artinya, kelalaian rezim ini bersifat sistemis. Upaya tambal sulam apa pun pada persoalan bersifat sistemis hanyalah solusi palsu yang akan memperpanjang kesengsaraan publik.
Sungguh, telah datang peringatan Allah ‘Azza wa Jalla, “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia. Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS Ar-Ruum: 41)
Politik perumahan Islam merupakan sekumpulan syariat dan peraturan administrasi yang bersifat mubah, termasuk pemanfaatan riset dan teknologi terkini. Ia merupakan bagian integral dari pelaksanaan seluruh sistem kehidupan Islam. Kehadiran penguasa sebagai pelaksana syariat kafah menjadikan khalifah berkarakter penuh kepedulian dan tanggung jawab.
Hal ini tampak pada visi pengurusan hajat hidup publik yang begitu menonjol. Model sistem Khilafah didukung penuh oleh sistem kehidupan Islam secara keseluruhan, khususnya sistem ekonomi dan politik Islam yang seluruhnya berlandaskan akidah Islam yang sahih.
Adapun negara, keberadaannya adalah sebagai pihak yang bertanggung jawab penuh atas jaminan pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat. Tidak saja dari aspek kuantitas, melainkan juga kualitasnya. Pendirian bangunan hanya akan diizinkan apabila sudah memenuhi kriteria keamanan, termasuk aspek rencana tata ruang wilayah dan berkonstruksi tahan gempa. Di samping itu, juga harus memenuhi tuntutan syariat, khususnya segi fungsi dan model bangunan rumah, serta kriteria kesehatan dan kenyamanan.
Rancangan tata ruang wilayah sendiri diformulasikan selain berdasarkan aspek kemaslahatan dan segi kebenaran sains, juga harus berlandaskan pada politik dalam dan luar negeri Khilafah yang bervisi mewujudkan rahmatan lil ‘aalamiin.
wallahu ‘alam biashowwab
Views: 38
Comment here