Oleh: Galuh Metharia
(Aktivis Muslimah, Sleman DIY)
wacana-edukasi.com– Tidak bisa dimungkiri, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) memang kerap terjadi di tengah-tengah masyarakat. Dilansir dari iNews.id, pada Maret 2021, Komnas Perempuan mencatat ada 8.234 kasus kekerasan terhadap perempuan. Dimana kasus yang paling menonjol adalah kasus dalam rumah tangga dan ranah personal sebanyak 6.480 kasus. Jika dibandingkan dengan jumlah jutaan rumah tangga di Indonesia, angka ini tidak terlalu banyak sebenarnya. Namun, bisa jadi ini fenomena gunung es. Karena faktanya ada korban KDRT yang tidak mau melapor, sehingga pelaku tidak dihukum dan akibatnya kejadian terulang kembali sepanjang pernikahan.
Jika kita cermati, kasus KDRT terjadi bukan semata persoalan suami istri saja. Ada faktor makro yang memicu secara tidak langsung terjadinya KDRT. Dalam hal ini adalah sistem yang jauh dari tatanan yang benar. Penerapan sistem sekuler lah yang menjadi pokok pemicu problematik yang ada. Misal, tata kelola aspek ekonomi, sulitnya pemenuhan kebutuhan pokok sering kali menjadi pemicu pertengkaran yang memunculkan kekerasan dalam rumah tangga. Tata interaksi yang serba bebas sering kali menjadi sebab perselingkuhan dan perzinaan. Sistem yang jauh dari aturan agama melahirkan individu yang temperamental sehingga memperlakukan istri sewenang-wenang, atau sebaliknya istri yang tidak memperlakukan suami dengan baik dan bersikap emosional.
*Butuh Solusi Komprehensif*
Konflik suami istri dalam rumah tangga memang hal yang lumrah terjadi. Banyaknya rumah tangga yang tidak sejahtera menjadi peluang besar terjadinya KDRT. Akar masalah inilah yang harus dicegah dan dihilangkan. Maka, satu-satunya solusi hanya lah dengan mengembalikan pada tatanan yang benar. Tata aturan yang menyatu dan menyeluruh di semua aspek, baik ekonomi, politik, hukum, sistem sosial, pergaulan, dan lain-lain.
Bagi Muslim sudah jelas, Islam mempunyai aturan yang khas, sempurna, dan rinci. Dari sektor ekonomi dalam sistem Islam, negara seharusnya mempunyai kewajiban dalam pemenuhan kebutuhan pokok masyarakat, menggratiskan biaya pendidikan dan kesehatan, juga menyediakan lapangan pekerjaan yang layak bagi seorang kepala rumah tangga. Dalam sistem sosial, harus ada aturan interaksi dengan lawan jenis, tata interaksi suami istri, tata aturan dengan tetangga, tata aturan saat perempuan bekerja atau keluar rumah, begitu juga dalam aspek kehidupan yang lain.
Tata aturan Islam dijamin bisa menyelesaikan persoalan manusia dan memberi solusi yang komprehensif, termasuk dalam persoalan kasus KDRT. Aturan Islam tidak pernah mengalami perubahan sepanjang masa. Aturannya jelas, bersumber pada Al Qur’an dan Hadist, berasal dari Allah swt. yang bukan hanya sebagai Sang Maha Pencipta, namun juga Maha Pengatur dan Yang Maha Mengetahui yang terbaik untuk makhluk-Nya. Tentu saja, sangat berbeda jauh dengan sistem kapitalis sekuler, aturan buatan manusia yang terbatas, lemah, dan serba kurang.
*Islam Menyikapi Kasus KDRT*
Dalam hal menyikapi kasus KDRT, harus dibedakan dulu antara pukulan yang bersifat kriminal (jarimah) dan pukulan mendidik (ta’dib). Jika konteksnya ta’dib (mendidik) dengan syarat-syarat khusus yang diizinkan syariat, maka hal ini tidak bisa dianggap KDRT. Jumhur ulama sepakat, membolehkan pukulan ringan dengan maksud mendidik (ta’dib). Namun, hal ini mensyaratkan kondisi khusus, yakni jika istri membangkang (nusyuz). Artinya ta’dib ini dibolehkan jika istri tidak bisa dibimbing dan diarahkan dalam hal kebaikan, bukan karena ringan tangan, temperamental, atau melampiaskan emosi kepada istri. Dalam konteks ta’dib ini bukanlah bersifat keharusan tetapi pilihan. Tata cara untuk men-ta’dib istri pun ada aturannya.
Sebagaimana dalam Al Qur’an, Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
_”Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dari hartanya. Maka perempuan-perempuan yang saleh, adalah mereka yang taat (kepada Allah) dan menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada, karena Allah telah menjaga (mereka). *Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan nusyuz, hendaklah kamu beri nasihat kepada mereka, tinggalkanlah mereka di tempat tidur (pisah ranjang), dan (kalau perlu) pukullah mereka.* Tetapi jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari alasan untuk menyusahkannya. Sungguh, Allah Maha Tinggi, Maha Besar.” (QS. An-Nisa’ :34)._
Islam jelas mengajarkan seorang suami untuk menggauli dan memberikan hak istri dengan cara yang makruf. Adapun tahapan jika istri membangkang (nusyuz) adalah dengan cara dinasihati terlebih dahulu dengan cara yang lembut dan kata-kata yang baik. Jika tidak bisa dinasihati, maka cara kedua adalah dengan dilakukan hijr, dipisahkan dari tempat tidur. Kalau dengan dua cara ini masih tidak bisa, maka barulah langkah terakhir, yakni ta’dib.
Adapun ta’dib juga ada ketentuannya, diantaranya tidak memukul di tempat yang dilarang dan membahayakan, seperti wajah, pelipis, perut, jantung, dan organ vital lainnya. Tidak boleh memukul dengan kekuatan penuh sehingga menyakitkan dan menimbulkan bekas luka, merusak anggota tubuh, bahkan menimbulkan kematian. Jika menggunakan alat pun dilarang yang mengakibatkan rasa sakit, hanya diperbolehkan seperti siwak atau sikat gigi. Meskipun memukul dengan konteks mendidik (ta’dib) itu boleh, tetapi lebih baik adalah dengan cara menasihati, memaafkan, dan tidak memukul. Demikian menurut pendapat ulama yang masyhur.
Namun, kebanyakan fakta KDRT yang terjadi di kalangan masyarakat saat ini adalah berupa tindakan jarimah (kriminal), bentuk penganiayaan bukan bersifat mendidik. Maka, tindakan ini dalam Islam termasuk kezaliman dan bisa dilaporkan kepada pihak yang berwenang untuk diproses melalui peradilan. Jelaslah, Islam tidak menormalisasi kasus kekerasan, termasuk KDRT. Demikianlah Islam merinci dengan jelas mana pukulan mendidik dan pukulan KDRT dengan segala konsekuensi yang tegas.
Idealnya, rumah tangga dalam peradaban Islam tidak mengenal KDRT yang merujuk pada suami yang sewenang-wenang terhadap istrinya. Karena suami di bawah aturan Islam tau benar status qawwam yang dilekatkan pada dirinya merupakan kewenangan yang Allah swt. berikan kepada laki-laki untuk menjaga amanah istri dengan baik. Jika suami menyalahgunakan kewenangan ini, maka hisabnya akan berat di Yaumil Akhir kelak. Individu yang taat seperti ini, tentunya akan lahir di bawah sistem Islam. Dimana setiap aspek kehidupan hanya diatur oleh aturan syariat, bukan yang lain. Mengganti sistem sekuler (pemisahan agama dari kehidupan) dan kembali pada sistem Islam adalah satu-satunya cara untuk mengatasi segala problematik umat saat ini.
Wallahu A’lam Bish Shawab.
Views: 22
Comment here