Opini

Menyoal Krisis Dokter Umum di Sultra

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh : Khaziyah Naflah (Freelance Writer).

wacana-edukasi.com, OPINI– Jasa profesi dokter (dokter umum maupun spesialis) sangat dibutuhkan karena tugasnya yang sangat strategis dalam pelayanan dan peningkatan derajat kesehatan di tengah-tengah masyarakat. Namun, jika rasio dokter umum jomplang dari kata ideal dengan jumlah penduduk, jelas akan mengganggu layanan kesehatan. Inilah yang terjadi di daerah Sulawesi Tenggara yang kini dalam belenggu krisis dokter umum.

Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Sultra, dr. La Ode Rabiul Awal mengungkapkan, dokter umum di Sultra tercatat hanya 1.649 orang, sedangkan jumlah penduduk Sultra sebesar 2.700.000 jiwa, hal ini jelas tidak sebanding bahkan mengalami kejomplangan.

Bahkan standar WHO rasio ideal 1 dokter : 1.000 pasien, maka kebutuhan ideal dokter umum sekira 2.700 orang untuk memenuhi rasio WHO tersebut. Namun, estimasinya berbeda, 2.700.000 jiwa penduduk Sultra dibagi 1.000 maka hasilnya 2.700. Sedangkan jumlah dokter umum yang ada saat ini sekitar 1.649 dokter. Itu artinya, Sultra masih membutuhkan sekitar 1.051 dokter umum untuk mencukupkan angka 2.700 dokter umum tersebut (kendaripos.fajar.co.id, 21/02/2023).

Problem krisis dokter seyogianya bukan hanya pada dokter umum saja, namun krisis dokter spesialis pun juga masih menjadi problem negeri ini. Pasalnya, krisis dokter ini telah terjadi diberbagai daerah, bahkan menurut Dirjen Tenaga Kesehatan Kementerian Kesehatan (Kemenkes), drg Arianti Anaya, Indonesia menempati posisi ketiga dalam hal kekurangan dokter dari rasionya yang lebih kecil dari standar pihak WHO (investor.id, 06/02/2023).

Kapitalisasi Dunia Pendidikan

Bidang kesehatan memang seharusnya mendapat perhatian besar dari pemerintah, baik daerah maupun pusat. Sebab, bidang kesehatan merupakan salah satu kebutuhan pokok masyarakat yang wajib dipenuhi oleh nya, termaksud dalam menyediakan infrastruktur yang mendukung terciptanya pelayanan kesehatan yang bagus seperti laboratorium, apotek, pabrik-pabrik obat, sekolah-sekolah kedokteran dan lainnya, tanpa terkecuali para pelayan dan dokter yang mumpuni di dalamnya.

Namun, hal tersebut sangat sulit untuk diwujudkan di dalam negeri ini, termaksud penyediaan dokter, baik umum maupun spesialis di berbagai daerah-daerah, termaksud Sulawesi Tenggara yang berimbas pada adanya krisis dokter. Jika ditelisik adanya biaya pendidikan yang sangat tinggi turut menjadi penyumbang terjadinya krisis dokter, selain itu juga akibat sistem pelayanan yang masih harus dibenahi oleh pemerintah.

Jamak diketahui jika biaya pendidikan hari ini sangat mahal, tanpa terkecuali biaya pendidikan kedokteran. Melansir dari ruangmom.com, biaya kesehatan di salah satu Universitas Padjadjaran UNPAD berkisar Rp.180 juta sampai Rp. 430 juta selama 12 semester.

Inilah wajah buruk sistem kehidupan di alam kapitalis liberal, suatu bentuk tanggung jawab yang harusnya dipenuhi oleh negara kepada rakyat justru semua itu dikapitalisasi, tanpa terkecuali pendidikan. Akibatnya, pendidikan kedokteran tersebut sungguh sangat sulit dijangkau oleh rakyat miskin yang memiliki keinginan untuk menjadi dokter.

Namun inilah paradigma kepemimpinan kapitalis sekuler yang memisahkan agama dari kehidupan dan berasas pada materi/keuntungan semata, serta menjauhkan peran negara sebagai periayah urusan umat. Negara hanya bertindak sebagai regulator semata, sedangkan pelaksanaan dan tanggung jawab menyediakan pelayanan masyarakat seringkali mengandeng korporasi atau bahkan menyerahkan seluruh urusan tersebut kepada mereka. Akibatnya Para korporasi dan Barat jelas memanfaatkan peluang tersebut untuk meraup keuntungan sebanyak-banyaknya yang jelas berimbas pada kapitalisasi dalam dunia pendidikan maupun kesehatan.

Hal tersebut juga berimbas terhadap berbagai problem pendidikan dan kesehatan yang tak kunjung selesai hingga saat ini salah satunya krisis dokter di daerah Sulawesi Tenggara.

Pelayanan Kesehatan Tanggung Jawab Negara

Inilah salah satu konsekuensi mengemban sistem kapitalis sekuler di negeri ini. Sistem yang telah cacat sejak lahir yang menimbulkan berbagai permasalahan demi permasalahan yang datang silir berganti tanpa adanya solusi tuntas terhadap berbagai masalah tersebut. Sebab, sistem ini juga berasal dari akal manusia yang terbatas, dan serba kurang, bahkan lebih mudah disetir dengan hawa nafsu dalam membuat sebuah kebijakan.

Hal ini berbeda jika Islam yang diterapkan dalam sistem kehidupan manusia saat ini. Islam menuntun penguasa untuk bertanggungjawab memenuhi kebutuhan rakyatnya, salah satunya kebutuhan akan kesehatan dan pendidikan. Hal tersebut sebagai salah satu bentuk riayatul suunil ummah yang wajib dijalankan oleh pemimpin/khalifah, sabda Rasulullah ” Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari).

Negara memiliki kewajiban untuk memenuhi kebutuhan akan kesehatan bagi rakyatnya, termaksud infratruktur penunjang keberhasilan dalam pelayanan kesehatan tersebut, seperti pembangunan rumah sakit, puskesmas (polindes), laboratorium medis, apotik, pabrik obat-obatan, tempat penelitian, dan sekolah-sekolah kedokteran atau kebidanan yang ditujukan untuk mencetak para dokter-dokter dan bidan, serta perawat yang mumpuni dalam bidangnya.

Pendidikan tersebut diberikan secara murah, bahkan gratis kepada seluruh rakyat yang ingin mengenyam pendidikan tersebut. Bahkan, jika ada rakyat yang ingin melakukan sebuah penelitian tentang kesehatan, maka negara pun wajib untuk menunjang dan membiayai penelitian tersebut untuk kemajuan dalam dunia kesehatan. Negara juga memastikan jika kesehatan tersebut dapat diakses oleh seluruh rakyat per individunya, baik muslim maupun non muslim, baik pusat maupun daerah tidak ada diskriminasi, mulai sarana dan prasarana hingga para pelayan dan dokternya.

Biaya untuk mewujudkan sistem kesehatan tersebut diambil dari harta yang tersimpan di dalam baitul mal yang termaksud dalam pos pemasukan harta milik umum, seperti hasil sumber daya alam yang melimpah. SDA dalam Islam tidak boleh diswastanisasi atau diprivatisasi. Pengelolaannya diwajibkan dikelola oleh negara saja, dan hasilnya untuk kesejahteraan rakyat salah satunya menyediakan pendidikan gratis setinggi-tingginya setiap warganya. Wallahu A’alam Bissawab.

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 16

Comment here