wacana-edukasi.com, SURAT PEMBACA- Maraknya Impor pakaian bekas sebetulnya telah terjadi sejak lama. Hal ini menunjukkan adanya kebutuhan rakyat akan suply pakaian untuk memenuhi kebutuhan pakaian yang bermerk dengan harga murah karena gaya hidup hedon dan brandedmind. Di sisi lain, juga memperlihatkan potret kemiskinan yang terjadi di tengah rakyat yang membutuhkan pakaian dengan harga murah.
Ketua Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (Akses) Suroto menanggapi kebijakan Presiden Joko Widodo yang melarang bisnis pakaian bekas impor atau thrifting. Bisnis tersebut dianggap sangat mengganggu industri tekstil dan merugikan para pengusaha dalam negeri. Suroto menilai pelarangan tersebut sifatnya reaktif. “Dilakukan setelah industri tekstil kita telah tiada dan itu dilakukan karena sudah menggerus pasar para importir pakaian yang legal selama ini juga sudah monopolistik juga,” pungkasnya. Dilansir Tempo.co, Sabtu (18/03/2023)
Bisnis yang sudah berjalan lama ini, sangatlah aneh bila sekarang dipermasalahkan. Apalagi dengan alasan mengganggu UMKM, karena pada umumnya UMKM hanya memperpanjang rantai produksi. Apakah hal ini bentuk pembelaan pada importir kain yang notabene hanya segelintir orang? Atau membela pengusaha importir pakaian branded yang merasa dirugikan? Dan lucunya lagi, yang dipersoalkan hanya yang masuk secara ilegal, itu artinya yang legal boleh? Bukankah hal ini juga membahayakan UMKM?
Berbagai kondisi tersebut memperlihatkan bahwa sejatinya negara tidak berupaya untuk menuntaskan permasalahan sesuai dengan akar masalah. Juga tingginya angka kemiskinan, seharusnya inilah yang wajib lebih dulu dientaskan. Yang terlihat melalui kebijakan ini tidak lain hanya pencitraan dari sikap membela pengusaha dan para kapital merk-merk branded. Inilah wajah buram kapitalisme yang dijadikan asas dalam mengurusi perdagangan, baik Internasional maupun nasional.
Sungguh berbeda dengan pemimpin dalam Islam. Pemimpin wajib membela kepentingan rakyat dan menjamin kesejahteraan rakyat. Islam dalam menyelesaikan permasalahan konsumsi pada aspek individu dan masyarakat. Masyarakat didorong untuk memiliki gaya hidup yang khas, dan hidup seadanya sesuai kebutuhan, bukan malah menjadikan materi sebagai tujuan. Negara pun melakukan edukasi gaya hidup yang berorientasi takwa agar individu atau masyarakat tidak jatuh pada hedonisme, konsumerisme, dan materialistik. Dalam perkara ini negara wajib menjadi perisai yang melindungi pola konsumsi pada rakyatnya.
Allah Swt. berfirman dalam surah Al-A’raf ayat 26, “Wahai anak cucu Adam! Sesungguhnya Kami telah menyediakan pakaian untuk menutupi auratmu dan untuk perhiasan bagimu. Tetapi pakaian takwa, itulah yang lebih baik. Demikianlah sebagian tanda-tanda kekuasaan Allah, mudah-mudahan mereka ingat.” Wallahua’lam!
Oleh: Eva Ariska Mansur (Anggota Ngaji Diksi Aceh)
Views: 8
Comment here