Opini

Menyoal Masalah Pengasuhan Anak

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh Mahganipatra (Pegiat Literasi dan Aktivis Forum Muslimah Peduli Generasi)

wacana-edukasi.com– Di alam demokrasi kapitalisme, perempuan bekerja sudah lazim terjadi. Karena sistem ini menganggap perempuan sebagai salah satu elemen pendorong perekonomian negara. Tak heran jika di wilayah yang termasuk kota-kota industri atau wilayah pedesaan yang sudah tersentuh era globalisasi, kita banyak menemukan perempuan bekerja. Biasanya, alasan yang mendorong mereka untuk bekerja beragam, salah satunya adalah untuk membantu memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga.

Tentu saja ada konsekuensi dari pilihan ini, para perempuan harus rela mengambil peran ganda. Yaitu peran sebagai wanita karir di wilayah publik sekaligus menjadi istri pengurus rumah tangga suaminya, dan ibu pengasuh bagi anak-anaknya. Seringkali peran ini, menghantarkan para perempuan pada sebuah dilema terutama ketika pengasuh atau kerabat tidak dapat diandalkan untuk mengasuh anak mereka. Mereka merasa kesulitan dalam memilih, apakah menjalankan perannya sebagai ibu yang harus tetap di rumah mengurus  rumahtangganya dengan  mengasuh anaknya sendiri, atau harus bekerja?

Dilansir dari mubadalah.id, (14/01/2022). Hal mendasar dari problem pengasuhan yang dialami perempuan, membutuhkan pembagian gender yang sama besar pada pengasuhan Ayah dan Ibu. Pengasuhan anak bukan hanya kewajiban perempuan tetapi harus ada ketersalingan peran laki-laki dan perempuan dalam mengasuh anak. Bahkan ketika laki-laki  dan perempuan sama-sama bekerja tidak bisa tinggal di rumah untuk mengurus anak. Maka masyarakat harus menciptakan pusat penitipan anak yang terpercaya dengan jam kerja yang fleksibel. Karena peran mengasuh anak juga termasuk  bagian dari kewajiban komunitas. Benarkah demikian? Mengapa pengasuhan menjadi tugas komunitas? Lalu siapakah yang harus mengasuh anak-anak?

Problem Pengasuhan Anak Buah dari Ide Feminisme

Pandangan Feminisme,  menganggap peran keibuan dan unit keluarga tradisional yang terdiri dari laki-laki sebagai kepala keluarga yang bertugas mencari nafkah. Dan perempuan bertugas sebagai pengurus rumah tangga dan pengasuh utama anak-anak, merupakan bentuk pelanggaran terhadap kesetaraan gender dan merupakan bagian dari penindasan terhadap perempuan. Mereka mengklaim bahwa perempuan yang bekerja akan lebih bahagia dan lebih sehat. Memiliki pernikahan yang lebih baik, dan anak-anak mereka akan lebih sukses.

Namun fakta yang terjadi, justru perempuan yang bekerja, mereka rawan mengalami disfungsi peran. Sehingga mengalami kelelahan, dan tingkat stress yang tinggi akibat tekanan di dunia kerja. Lebih dalam lagi ide feminisme secara sosial telah mendorong perempuan untuk egois mendefinisikan hak dan kewajiban sesuai dengan keinginan individualistik, bukan berdasarkan yang terbaik untuk perempuan, laki-laki, anak-anak  dan masyarakat. Bahkan saat memecahkan persoalan-persoalan yang mereka hadapi di tengah masyarakat justru menimbulkan kebingungan. Pembagian peran berbasis gender yang mereka usung telah  menciptakan perselisihan di dalam kehidupan pernikahan dan tanggung jawab sebagai orang tua. Sehingga hak dan kewajiban dalam memenuhi kesejahteraan anak-anak terabaikan, peran keibuan direndahkan. Perempuan juga tidak berdaya untuk memenuhi peran vitalnya sebagai ibu pengurus rumah tangga. Di sisi yang lain peran laki-laki yang bertanggung jawab sebagai pencari nafkah juga mulai terkikis. Banyak perempuanyang berperan sebagai tulang punggung keluarga yang justru hal ini menambah berat beban kehidupan yang harus ditanggung oleh para perempuan.

Demikian pula saat muncul problem pengasuhan anak yang tidak mampu dipenuhi oleh perempuan bekerja. Para pegiat Feminisme memandang bahwa tugas pengasuhan ibu bersifat kultural dan biologis sehingga peran pengasuhan bisa dialihkan kepada laki-laki. Karena pengasuhan anak bersifat praktik maternal. Yaitu pola pengasuhan yang mampu memenuhi kebutuhan dasar anak, tidak membebankan standar kesempurnaan pada anak, hanya membantu anak untuk berefleksi dan taat pada peraturan yang ada.

Bahkan, ketika ibu dan ayah sama-sama bekerja, dan tidak bisa tinggal di rumah untuk mengurus anak. Akhirnya masalah pengasuhan anak diserahkan kepada komunitas  masyarakat agar ikut bertanggung jawab. Masyarakat dituntut untuk menciptakan pusat penitipan anak sesuai dengan jam kerja yang fleksibel demi menjaga dan mempertahankan kesejahteraan hidup anak. Membina  dalam pertumbuhan dan perkembangan anak, serta pelatihan dan sosialisasi agar anak tumbuh menjadi warganegara yang taat hukum dan patuh terhadap norma sosial. Sungguh aneh, akankah komunitas mampu meraih dan membentuk  keluarga bahagia dan sejahtera?

Hak dan kewajiban Pengasuhan dalam Islam

Di dalam Islam tidak mengenal sikap diskriminasi terhadap satu golongan tertentu. Semua orang memiliki kedudukan yang sama dihadapan Allah Swt baik, laki-laki maupun perempuan kedudukan mereka setara. Mereka wajib bekerja sama dalam menciptakan keluarga dan masyarakat yang harmonis, bahagia, dan berhasil. Masing-masing pihak harus setia, bijaksana, dan saling bergantung satu dengan yang lainnya.

Dalam hal pengasuhan, orang tua memiliki kewajiban untuk mengasuh, memelihara, dan mendidik anak. Saat usia anak masih kecil dan belum mumayyiz (belum bisa membedakan yang baik dan buruk), jika  anak  tidak dirawat dengan baik, akan berakibat buruk terhadap diri dan masa depan anak. Bahkan bisa mengancam eksistensi jiwa mereka.

Dalam konsep ilmu piqih, ada beberapa fase dalam masa hadhanah (pengasuhan) diantaranya: fase pertama, masa menyusui, menyapih hingga anak berusia tujuh tahun atau delapan tahun dikenal dengan istilah belum mumayyiz. Pada periode ini seorang ibu berhak terhadap anaknya dan memiliki kewajiban melaksanakan hadhanah (pengasuhan). Sehingga ibu dapat menjamin tumbuh kembang anak serta keamanannya.

Fase kedua, adalah periode mumayyiz. Walaupun seorang anak belum balig namun anak dianggap sudah mampu menetapkan pilihan hidup, dengan siapa mereka akan hidup dan tinggal bersama ibu atau ayahnya. Seorang anak dinilai sudah memiliki hak untuk memilih kecenderungan mereka akan tinggal dengan siapa. Apakah ibu atau ayahnya (jika ayah dan ibunya bercerai).

Jika terjadi perselisihan dlm keluarga, atau kedua orang tua tidak mampu mengasuh. Maka sistem Islam akan memberikan hak pengasuhan anak sesuai dengan urutan yang telah ditetapkan oleh hukum syara. Negara berhak menentukan kepada siapa saja hak pengasuhan anak diberikan. Jadi hak pengasuhan anak di dalam Islam tidak akan pernah diserahkan kepada sembarang orang apalagi komunitas masyarakat.

Wallahu a’lam bish-showab

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 72

Comment here