Oleh. Yeni Marliani
wacana-edukasi.com– Terjadi lagi, umat Islam dihadapkan pada framing negatif dan ketidakadilan. Tuduhan-tuduhan yang tidak mendasar dan terkesan “dicari-cari”, semakin menunjukkan wajah islamofobia.
Direktur Keamanan Negara Badan Intelijen Keamanan Mabes Polri Brigjen Umar Effendi mengaku akan melakukan pemetaan terhadap masjid-masjid untuk mencegah penyebaran paham terorisme. Hal itu disampaikan dalam agenda Halaqah Kebangsaan Optimalisasi Islam Wasathiyah dalam Mencegah Ekstremisme dan Terorisme yang digelar MUI dan disiarkan di kanal YouTube MUI (harianaceh.co.id, 26/1/22).
Sejalan dengan itu, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Boy Rafli Amar mengatakan, masih adanya pondok pesantren yang diduga terafiliasi dengan jaringan teroris. Jumlahnya mencapai ratusan pondok pesantren di berbagai wilayah (tempo.co, 25/1/22).
“Ada 11 pondok pesantren yang menjadi afiliasi Jamaah Anshorut Khalifah, 68 pondok pesantren afiliasi Jamaah Islamiyah dan 119 pondok pesantren afiliasi Anshorut Daulah atau Simpatisan ISIS,” katanya dalam pemaparan di Komisi III DPR, Selasa 25 Januari 2022.
Di sisi lain, Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia (MUI), Buya Amirsyah Tambunan, meminta untuk menghentikan narasi yang menyudutkan kelompok tertentu, dalam hal ini pesantren. Sebab informasi yang disampaikan kepala BNPT khususnya tentang dugaan adanya ratusan pondok pesantren yang terafiliasi dengan terorisme masih dipertanyakan terkait dasar pendataan, metodologi, serta apakah merupakan hasil kajian secara mendalam dan resmi (republika.id, 28/1/22).
Tentu saja imbasnya adalah masyarakat dan kaum muslim. Akan banyak kecurigaan, ketakutan, keresahan juga stigma negatif terhadap lembaga pendidikan Islam, bahkan bisa juga terjadi kegaduhan.
Awal Mula Narasi Terorisme dan Sebab Penggunaannya
Sungguh aneh. Di negara yang mayoritas (86,88% atau setara dengan 236,53 juta jiwa) penduduknya Muslim menggejala islamofobia, berbagai serangan terhadap Islam, ajaran dan pemeluknya kerap kali terjadi. Islam distereotip sebagai kelompok teroris juga dicitrakan sebagai agama yang mengajarkan terorisme. Padahal, banyak gerakan yang bukan berasal dari Islam dan telah jelas menimbulkan banyak korban baik anggota militer juga warga sipil tidak dianggap sebagai teroris.
Terorisme dalam bahasa Arab identik dengan kata al-irhab, maknanya ‘menciptakan ketakutan’ atau ‘membuat kengerian/kegentaran’. Makna bahasa ini terdapat dalam firman Allah Swt QS. al Anfal ayat 60. Akan tetapi, makna bahasa ini mengalami transformasi makna menjadi terminologi yang baru.
Dinas Intelijen Amerika dan Dinas Intelijen Inggris dalam sebuah seminar yang diadakan tahun 1979, menyepakati bahwa terorisme adalah penggunaan kekerasan melawan kepentingan-kepentingan sipil untuk mewujudkan target politis.
Amerika menyifati sebagian gerakan sebagai ‘gerakan perlawanan rakyat’. Anggota dari gerakan ini diperlakukan sebagai tawanan perang sesuai dengan protokol Nomor 1 tahun 1977 yang ditambahkan pada konvensi Genewa.
Namun, Amerika menyifati gerakan yang bertentangan dengan kepentingan Amerika atupun agennya sebagai gerakan terorisme, nama gerakan tersebut dicantumkan dalam daftar organisasi teroris yang dikeluarkan secara periodik oleh Departemen Luar Negeri Amerika. Gerakan ini sebagian besar adalah gerakan-gerakan Islam di Mesir, Pakistan, Palestina, Aljazair, dan lain-lain.
Karena Islam dinominasikan oleh Amerika sebagai musuhnya setelah runtuh Komunisme, maka negeri-negeri Islam menjadi wilayah terpenting yang menjadi sasaran Amerika dalam penerapan undang-undang terorisme.
Peristiwa peledakan gedung Pusat Perdagangan Dunia (WTC) di New York dan Kantor Penyelidikan Federal di Oklahoma, dimanfaatkan oleh Amerika untuk menggolkan Undang-Undang Perlawanan Terhadap Terorisme yang disetujui oleh Senat Amerika tahun 1997. Bahkan sebelum diketahui pelakunya.
Hal ini menjadi legitimasi Amerika menghimpun kekuatan negara-negara di bawah kepemimpinannya untuk memukul berbagai gerakan, partai, atau negara yang dicap teroris oleh Amerika sebagai ketentuan yang harus dijalankan negara-nagara penandatangan Undang-Undang Terorisme sebagai ketaatan pada Undang-Undang Internasional.
Ditambah lagi dengan seruan perang terhadap radikalisme. Pasca terbit dokumen Rand Corporation berjudul, “Civil Democratic Islam: Partner, Resources and Strategies”. Inti dokumen ini adalah kebijakan Amerika dan sekutunya yang mempeta-petakan sekaligus memecah-belah dan merencanakan konflik internal di kalangan umat Islam melalui berbagai pola untuk mencegah kebangkitan Islam.
Salah satu strateginya dengan membagi umat Islam ke dalam empat kelompok, yaitu fundamentalis, tradisionalis, modernis dan sekularis. Tiap kelompok ditetapkan strategi masing-masing. Sasaran utamanya adalah bagaimana menghadapi kelompok fundamentalis, yakni kelompok masyarakat Islam yang menolak nilai-nilai demokrasi dan kebudayaan Barat kontemporer, serta menginginkan formalisasi penerapan syariat Islam.
Hal ini sebab Amerika dan negara-negara kafir lainnya memahami benar bahwa penerapan syariah secara kaffah dalam formalisasi Khilafah adalah satu-satunya negara yang berkemampuan meluluhlantakkan ideologi Kapitalisme. Terlebih mereka memahami bahwa khilafah adalah ajaran Islam dan telah menjadi bagian sejarah Dunia Islam yang tidak mungkin dihapus begitu saja. Melawannya bagaikan menghalangi terbit atau tenggelamnya matahari.
Maka narasi terorisme ataupun radikalisme hingga hari ini menjadi materi yang terus digaungkan. Seolah sesuatu yang amat penting untuk diperangi tak terkecuali negeri ini yang mayoritas Muslim. Sebab penguasa hari ini mampu berkuasa atas dukungan Amerika dan sekutunya. Bagi Amerika dan sekutunya menjadi jalan mengukuhkan cengkramannya serta melestarikannya agar tetap di bawah hegemoninya. Sehingga jelas, narasi terorisme untuk menghantam Islam dan mengokohkan peradaban Barat.
Sikap Umat Islam
Dari sinilah, untuk menyikapi ini semua, tiap muslim berkewajiban memperkuat syakhsiyyah (kepribadian) Islamnya. Baik cara berpikir maupun berperilaku harus berdasar pada ajaran Islam.Tentu hal ini akan bisa dicapai dengan cara sungguh-sungguh mengkaji Islam. Lalu diamalkan sehingga di tengah masyarakat menjadi marak pengamalan Islam baik dalam hal ibadah, cara berpakaian, pergaulan, pendidikan, ekonomi, politik maupun hal lainnya. Sehingga kebaikan dan kerahmatan Islam dapat dilihat serta dirasakan secara langsung dan dapat mendorong pengamalan selanjutnya. Seperti apa yang dikehendaki Allah dari ajaran Islam yang terdapat pada QS. al-Anbiya ayat 107 dan QS. an-Nahl ayat 89.
Kemudian, tidak bisa tidak, harus gencar amar ma’ruf nahi mungkar sehingga narasi pecah-belah seperti terorisme ini tidak berjalan mulus. Tentu saja dengan bergabung dalam sebuah jamaah yang berpegang teguh pada metode syariat yang dituntut Islam, yang saling mendukung dan menolong, serta yang melakukan perjuangan mengembalikan kehidupan Islam semata-mata menjalankan perintah Allah Swt.
Wallahu a’lam.
Views: 8
Comment here