Opini

Menyoal Pasal Penghinaan, Suara Rakyat Jangan Dibungkam

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh : Ikhtiyatoh, S.Sos

(Pemerhati Kebijakan Publik)

wacana-edukasi.com, OPINI–Pesatnya perkembangan teknologi, membawa manusia pada dunia informasi yang lebih cepat, luas dan bebas. Kecepatan penerimaan informasi juga turut mengubah masyarakat lebih kritis. Terlepas dari kritis yang solutif ataukah sekadar membawa ‘hawa panas’. Pada akhirnya, interaksi manusia di dunia maya terasa lebih riil dari dunia nyata. Ketergantungan manusia pada sosmed menjadikan dunia maya selalu ramai komentator. Pemikian baik atau buruk, bahasa sopan atau penuh cacian saling bersahut-sahutan.

Nyatanya, sosmed sudah menjadi sarana menyampaikan curahan hati dan keluh kesah setiap pengguna. Hingga tak jarang, interaksi antara pengguna sosmed berlanjut di dunia nyata. Hanya dengan menggerakan jemari di atas benda berlayar pipih, mampu menciptakan berbagai emosi. Kondisi di atas, tampaknya juga dirasakan oleh para pengambil kebijakan. Semakin banyak rakyat yang berani mengkritisi suatu kebijakan hingga pemerintah merasa perlu membuat regulasi terkait pasal penghinaan terhadap pejabat negara, pemerintah dan lembaga negara.

Kontroversi KUHP

Pengesahan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) dianggap sebagian masyarakat sebagai prestasi yang patut dibanggakan. Alasannya, Indonesia akhirnya terlepas dari UU Kolonial dan memiliki KUHP buata sendiri. Akan tetapi, KUHP baru juga menimbulkan kontroversi dan dinilai banyak pihak sebagai upaya membungkam suara rakyat. Pasal-pasal yang termuat di dalamnya berpotensi besar mengarah pada pemerintahan otoriter. Padahal, masyarakat ramai-ramai mengkritik dan menolak saat masih berupa RKUHP.

Adanya KUHP terbaru menjadi pertanda suara rakyat semakin dikerdilkan. Suara rakyat hanya dipakai saat pemilu dan pemilukada. Selebihnya, pemerintah lebih mendengar ‘bisikan’ dari orang-orang di sekitar istana dalam membuat regulasi. Tak terkecuali KUHP baru yang mengandung pasal-pasal karet dan multitafsir. Di dalamnya terdapat pasal penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden, pasal makar dengan maksud menggulingkan pemerintah serta pasal penghinaan terhadap pemerintah dan lembaga negara.

Selain itu, demonstrasi tak berizin bisa mendapat sanksi pidana atau denda. Ketentuan ini pun turut disorot, mengingat, demonstrasi yang dilakukan selama ini cukup dengan pemberitahuan kepada pihak berwajib. Ditambah lagi, ada pasal penyebaran paham yang bertentangan dengan Pancasila. Pasal ini diduga kuat menghambat laju dakwah Islam. Kenapa? Karena, untuk saat ini saja syariat Islam terus diserang dengan dalih moderasi beragama. Patut dipertanyakan, dimanakah Indonesia yang mengklaim menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi?

KUHP juga memiliki korelasi dengan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). UU tersebut melarang siapapun dengan sengaja dan tanpa hak membuat, mendistribusikan serta mentransmisikan suatu informasi yang mengandung unsur penghinaan atau pencemaran nama baik yang bisa menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan melalui teknologi informasi. Sementara itu, definisi penghinaan atau pencemaran nama baik tidak jelas ukurannya hingga pasal ini dipakai tergantung siapa yang menilai.

Perpaduan antara KUHP dan UU ITE membuat bingung masyarakat. Bagaimana jika pejabat negara nyata melakukan tindak pidana ataupun kedzaliman? Bagaimana jika pemerintah dan lembaga negara membuat regulasi yang menyengsarakan dan abai akan hajat hidup rakyat? Bagaimana cara rakyat untuk menginformasikan bahwa apa yang dilakukan para pejabat negara, pemerintah atau lembaga negara itu salah? Atau lebih tepatnya, siapa kiranya yang boleh memberikan kritik kepada pemerintah dan kebal terhadap jeratan pasal KUHP dan UU ITE?

Bersikaplah Dewasa

Ketika seseorang bersiap menjadi pejabat negara, seharusnya juga siap akan konsekuensi dari jabatan yang melekat. Setiap kebijakan yang lahir, tentu berpotensi menimbulkan pro dan kontra. Kontroversi di tengah masyarakat seharusnya menjadi bahan evaluasi sejauh mana regulasi tersebut mengakomodir suara hati rakyat. Jika banyak rakyat yang mengeluh karena hak sipil dikekang, maka sudah seharusnya diuji lagi. Sayangnya, yang terjadi tidak demikian. Akhirnya, demokrasi cenderung melahirkan regulasi untuk kepentingan kelompok tertentu.

Seharusnya, pemerintah menyadari setiap warga negara memiliki hak sekaligus kewajiban mengawasi jalannya roda pemerintahan. Kritik terhadap kebijakan penguasa merupakan upaya masyarakat melakukan pengawasan. Di saat bersamaan, rakyat berasal dari berbagai kalangan dan latar belakang pendidikan. Hal ini tentu mempengaruhi pemikiran ataupun gaya bahasa saat menyampaikan kritik. Rakyat yang tidak tamat SD tentu memiliki pola pikir dan gaya bahasa berbeda dengan mereka yang mengenyam pindidikan di perguruan tinggi.

Di antara masyarakat memiliki bahasa yang kasar dan vulgar hingga ketika marah dengan kebijakan pemerintah kemudian mengeluarkan kata-kata kotor. Sanksi pidana tidak menyelesaikan masalah, bahkan menambah beban sel tahanan yang sudah overload. Dalam posisi seperti ini, sudah seharusnya pemerintah bertindak lebih dewasa. Menerima dan merespon positif apa yang disampaikan rakyat, mengingat, beban rakyat sudah berat. Kritik yang terlontar atas kebijakan tak lain karena ada asa, pemerintah lebih peduli ‘wong cilik’.

Jika pemerintah memiliki kesadaran seperti di atas, maka sanksi pidana terhadap suatu penghinaan dan pencemaran nama baik dianggap sebagai jalan terakhir. Andaipun pemerintah menganggap rakyat tidak etis dalam menyampaikan pendapat, maka menjadi tanggung jawab pemerintah memberikan edukasi. Ajarkan rakyat bagaimana cara menyampaikan keluh kesah bahwa mereka tidak baik-baik saja. Bagaimanapun juga, tak seharusnya rakyat diminta bungkam atas kondisi yang menyengsarakan, bukan?

Manusia, Makhluk Mulia

Manusia merupakan makhluk paling mulia dibanding makhluk lainnya. Kemuliaan manusia tergantung pada akalnya, apakah akal tersebut digunakan untuk hal positif ataukah negatif. Artinya, meskipun tidak bersekolah, manusia tetap melakukan proses berfikir selama memiliki alat indra yang sehat guna melihat fakta kemudian dikaitkan dengan kejadian atau informasi sebelumnya. Terlepas dari apakah hasil pemikirannya dangkal ataukah cemerlang.

Kehidupan manusia memiliki berbagai macam permasalahan yang membutuhkan pemecahan atau solusi. Sementara itu, solusi tidak akan muncul jika tidak dilakukan proses berfikir. Alhasil, jika manusia dipaksa untuk tidak berfikir atau bungkam terhadap apa yang terjadi di depan mata, maka sama halnya menurunkan derajat manusia. Semakin ditekan pemikiran tersebut, justru akan menjadi bom waktu yang bisa meledak kapan saja.

Hampir setiap masalah yang terjadi pada manusia berhubungan dengan kebijakan negara. Terkait dengan kebutuhan primer yaitu urusan perut misalnya, fitrahnya manusia menginginkan kemudahan akses barang kebutuhan pokok dengan harga terjangkau. Jika kebijakan yang ada belum mampu memenuhi keinginan tersebut, maka berpotensi terjadi gelombang protes. Siapapun yang mengelola dan memimpin negeri ini, sama saja kondisinya. Alangkah elok jika pemerintah menerima kritik sebagai bahan introspeksi guna memperbaiki pelayanan publik.

“Sebaik-baik pemimpin kalian adalah mereka mencintai kalian dan kalian mencintai mereka, mereka mendo’akan kalian dan kaian mendo’akan mereka. Dan sejelek-jelek pemimpin kalian adalah mereka yang membenci kalian dan kalian membenci mereka, mereka mengutuk kalian dan kalian mengutuk mereka ….“ (HR. Muslim)

Merealisasikan regulasi yang dibuat berdasarkan akal semata akan melahirkan ketimpangan dalam kehidupan manusia. Sebagai seorang muslim, wajib meyakini kesempurnaan hanya milik Allah SWT. Artinya, harapan terpecahkannya berbagai problem kehidupan manusia hanya dengan satu jalan yaitu menjalankan aturan Pencipta Alam Semesta dalam semua aspek kehidupan. Penerapan hukum Islam secara menyeluruh lebih memungkinkan terealisasinya kesejahteraan, ketentraman serta melahirkan peradaban yang lebih mulia.

Wallahu ‘alam bish showab.

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 24

Comment here