Opini

Menyoal Pelanggaran Konstitusi

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh : Hani Handayani (Pemerhati Kebijakan Publik)

wacana-edukasi.com– Wacana penundaan Pemilihan umum (Pemilu) presiden muncul dari segelintir elit politik yang tergoda untuk menunda pemilu sampai 2027 atau 2028. Jelas ini di luar nalar, karena jelas ini bertentangan dengan konstitusi negara Indonesia.

Namun, presiden menanggapi wacana segelintir elit tersebut dengan tegas bahwa semua orang wajib taat dan patuh pada konstitusi, UUD 1945.

Mengutip dari merdeka.com konstitusi berasal dari Bahasa Latin yaitu constitutio. Istilah ini berkaitan dengan kata ius atau jus yang memiliki arti hukum atau prinsip. Sehingga konstitusi bisa diartikan sebagai suatu pernyataan mengenai susunan dan bentuk negara. Dimana dipersiapkan sebelum maupun sesudah negara yang bersangkutan berdiri.

Secara harfiah menurut bahasa Indonesia, konstitusi memiliki arti Undang-Undang Dasar,ini diterjemahkan dari istilah constitutio menjadi Undang-Undang Dasar.

Sementara, Konstitusi negara Indonesia adalah UUD 1945 yang menjadi hukum dasarnya. Termasuk dalam penyelenggaraan pemilu yang telah diatur dalam UUD 1945 Pasal 22E ayat (1) menyebutkan, Pemilu presiden dan wakil presiden, anggota DPR RI, DPD, serta DPRD provinsi atau kabupaten/kota dilaksanakan lima tahun sekali.

Begitu pun masa jabatan presiden diatur dalam pasal 7 UUD 1945, menyebutkan masa jabatan presiden dan wakil presiden dibatasi paling banyak dua periode dengan lama masa jabatan lima tahun setiap satu periode.

Yusril Ihza Mahendra sebagai Pakar Hukum Tata Negara berpendapat ketika terjadi penundaan, maka jabatan-jabatan kenegaraan yang harus diisi dengan pemilu juga berakhir. Alhasil, terjadi kevakuman kekuasaan, hal ini karena jabatan berakhir setelah lima tahun. Presiden sampai anggota DPRD sudah menjadi mantan pejabat. Maka upaya mempercepat atau menunda pemilu bisa dikatakan melanggar konstitusi negara apapun alasannya.

Ya, begitulah dalam sistem demokrasi kebebasan berpendapat, akhirnya membuat segelintir elit pejabat seenaknya membuat pernyataan walaupun itu bertentangan dengan konstitusi.

Konstitusi dalam sistem demokrasi sangat memungkinkan mengalami perubahan dengan berbagai amandemen kebangsaan dan kenegaraan yang terjadi. Adanya paham konstitualisme yang merupakan paham sekaligus panduan tentang urgennya pembatasan kekuasaan negara atau pemerintah melalui konstitusi. Akhirnya membuat konstitusi negara bisa digugat dan diganti.

Jelas ini menggambarkan lemahnya konstitusi dalam sistem demokrasi saat ini, karena konstitusi negara berasal dari pemikiran elit politik yang memiliki kekuasaan untuk membuat aturan. Maka, atas nama kepentingan elit, konstitusi bisa diubah. Lantas masihkah berharap pada konstitusi buatan manusia?

Ketika konstitusi buatan manusia tidak layak untuk dijadikan landasan hukum dalam menjalani kehidupan ini, seyogianya hukum dari Allah Swt sebagai penciptaan manusia layak dijadikan konstitusi saat ini. Konstitusi dalam Islam berlandaskan Al Qur’an dan hadis.

Al Qur’an yang bersumber dari Allah Swt dan telah terjamin kemurnian hingga saat ini. Hal ini Allah Swt berfirman: “Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al-Qur’an , dan sesungguhnya Kami benar -benar memeliharanya” (QS Al-Hijr: 9) dan Allah pun menantang orang-orang yang meragukan Al Qur’an di dalam surah Al-Baqarah ayat 23, “ (Dan) Jika kalian (tetap) meragukan Al Qur’an yang kami wahyukan kepada hamba kami (Muhammad Saw), maka buatlah satu surat (saja) yang semisal Al-Quran dan ajaklah para penolong selain Allah, jika kalian orang -orang yang benar’.

Begitupun dengan kedudukan hadis Allah Swt. Berfirman “ Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia Dan apa yang dilaranya maka tinggalkanlah” (QS Al Hasyr: 7)
Maka, saat seorang muslim telah meyakini syahadat yang diucapkannya berarti harus meyakini hanya Allah satu-satunya pembuat syariat. Bersumbernya konstitusi dalam sistem Islam dari Al Qur’an dan hadis maka, perubahan konstitusi tidak akan pernah terjadi. Dalam Islam pembuatan konstitusi tidak diserahkan pada manusia yang memiliki keterbatasan dan lemah dalam berpikir.

Pembuatan hukum hanya hak Allah semata dan Allah memerintah manusia untuk menjadikan konstitusi Islam sebagai landasan dan standar dalam setiap perbuatan, sebagaimana Allah Swt berfirman “(Dan) orang-orang mu’min serta mu’minah, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu keputusan tidaklah patut bagi mereka untuk memiliki pilihan (yang lain) tentang hukum urusan mereka” (QS Al Al Ahzab : 36)

Walhasil, syariat Islamlah yang menjadi standar baku dan tetap, manusia tak bisa mengutak-atik atau mengubahnya sesuai kepentingan semata. Tidak seperti sistem demokrasi yang bisa diubah sesuai kesepakatan dan suara terbanyak.
Wallahu a’lam

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 24

Comment here