Oleh : Ummu Pian (Relawan Media)
wacana-edukasi.com– Hukuman mati selalu menjadi kontraversial. Kalangan yang kontra menganggap hukuman mati merupakan bentuk pengingkaran terhadap hak asasi manusia, yakni hak hidup. Sementara pihak yang pro berpersepsi dan meyakini bahwa hukuman mati bisa memberi efek jera dan sebagai preventif terhadap maraknya kejahatan.
Pro kontra hukuman mati kembali mencuat, dengan adanya opini dan desakan Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jawa Barat yang menuntut Herry Wirawan (36) atas hukuman mati karena perbuatan keji memerkosa 13 santriwati di Madani Boarding School, Bandung Jawa Barat sejak 2016 hingga 2021. Tuntutan kepada Herry dengan hukuman mati disebut Kejati untuk memberikan efek jera bagi pelaku (Tirto.id,11/01/2022).
Demikian pula Ketua Komisi VIII DPR Yandri Susanto mendukung sikap jaksa menuntut berat pelaku. Ia berharap hakim mengabulkan tuntutan jaksa sehingga memberikan efek jera terhadap pelaku. Kalau itu menjadi tuntutan jasa kita apresiasi karena tuntutan itu seiring dan sejalan dengan kemauan masyarakat yang memang mengutuk perbuatan Herry terhadap anak santrinya, ujarnya kepada wartawan (Tirto.id,11/01/2022).
Tak ketinggalan, Wakil Ketua MPR pun turut mengkritisi ketua komnas HAM yang tidak setuju dengan pemberlakuan hukuman mati terhadap Herry Wirawan. Ia mengatakan mereka harus menghormati dan melaksanakan prinsip konstitusi bahwa Indonesia adalah negara hukum (Tribunnews, 15/01/2022).
Tak hanya pelaku kejahatan seksual, koruptor kelas kakap juga mendapat desakan untuk dihukum mati. Meski Direktur Indonesia Judicial Research Sosiaty (IJRS), Dio Ashar Wicaksana tidak setuju dengan kasus koruptor ASABRI dihukum mati sebagaimana tuntutan jaksa. Menurutnya tindak pidana korupsi dalam kasus ASABRI tidak masuk kategori tindak pidana dalam keadaan tertentu. Kemudian hukuman mati juga tidak relevan karena tidak berdampak pada penurunan angka kriminal atau tindak pidana juga tidak membuat efek jera pada pelaku tindak pidana korupsi.
Pro dan kontra terhadap hukuman yang dituntut oleh JPU berupa hukuman mati bagi pelaku korupsi ataupun tindak kejahatan seksual, menunjukkan bahwa penilaian manusia akan senantiasa bertentangan sehingga sulit untuk mendapat keadilan yang hakiki.
Kepercayaan masyarakat terhadap penegak hukum kian hilang. Peristiwa kejahatan yang dialami masyarakat enggan dilaporkan kepada pihak berwajib karena setiap masyarakat menuntut keadilan, justru pengurusannya sangatlah berbelit-belit dan bahkan kadang tak membuahkan hasil dalam proses pengadilan.
Pelaku kejahatan berat pun misalnya kasus korupsi hukumannya sangatlah ringan, sanksi penjara yang diberikan sekitar 2 samapi 3 tahun. Begitu pula dengan kejahatan seksual yang justru menyisakan trauma fisikologis, bukannya dijatuhi hukuman berefek jera, malah dianggap tidak sesuai dengan HAM dan UUD KUHP. Sementara pihak korban berjatuhan tanpa mendapatkan keadilan.
Ini membuktikan bahwa sistem hukum dalam demokrasi tidak bisa diharapkan serta tidak mampu menumpas segala tindak pidana kejahatan akibat tumpang tindihnya undang – undang buatan akal manusia. Pertanyaannya kenapa masyarakat masih berharap dengan sistem yang sudah terbukti kegagalannya. Semestinya masyarakat menyadari sistem gagal tidak akan membawa kebaikan bagi rakyatnya, yang ada justru kehancuran.
Inilah wajah buruk demokrasi. Selain tidak mampu memberi solusi bagi rakyat dan negara juga tidak mampu menciptakan lingkungan aman bagi rakyatnya. Semakin hari kejahatan menjamur dimana-mana, akibat penanganan yang tidak maksimal, bahkan tidak sedikit berkas kasus yang ada tidak terjamah.
Dalam sistem demokrasi kedaulatan ada di tangan rakyat, sehingga dalam pembuatan hukum diserahkan sepenuhnya kepada manusia. Halal haram bukan menjadi ukuran. Semua dilihat dari segi manfaat. Konsekuensinya hukum bisa berubah-ubah sesuai kepentingan pembuat kebijakan.
Sehingga wajar dalam sistem demokrasi, kita dapati yang salah ditutupi, yang benar disingkirkan dari ranah kekuasaan. Perkara yang salah seakan-akan dibenarkan dan yang benar disalahkan, sehingga hukum berpotensi dijadikan bahan komoditas yang bisa diperjual belikan oleh mereka yang berkepentingan. Bagi pemilik modal yang tersandung kasus, bisa bebas. Bagi yang miskin, pasrah dengan putusan yang berikan oleh penegak hukum. Moralitas digadaikan demi duit dan agama dicampakkan dari ranah kehidupan sehari-hari.
Demokrasi biang kerusakan dan sumber berbagai permasalahan kejahatan yang tidak layak kita pertahankan, maka seharusnya rakyat beralih pada sistem yang mampu memberi solusi tuntas sampai akar-akarnya. Tentu tidak ada lain kecuali hanya satu yaitu sistem Islam kaffah.
Islam memiliki aturan yang paripurna meliputi aspek kehidupan manusia. Tidak ada satu pun permasalahan yang luput dari solusi. Dalam Islam, pemerkosaan dijatuhi hukuman zina (sanksi atas perzinaan) bagi pelaku yang sudah menikah maka pelakunya dirajam sampai mati. Jika pelakunya belum menikah, maka dijilid dengan seratus dera. Hukuman ini adalah sangatlah efektif dan solutif karena ciri khas sanksi dalam Islam sebagai jawabir dan zawajir .
Dikatakan jawabir karena sanksi Islam bertujuan untuk menebus dosa bagi pelakunya di dunia. Sebagaimana sabda Nabi SAW yang artinya, “‘barang siapa yang melakukan pelanggaran batas ( hukum Allah ) lalu dijatuhi sanksi maka itu merupakan kafarat (penebus dosa). (HR Ibnu Majah dan Ibnu Hiban ).
Dikatakan zawajir sebab sanksi Islam akan mencegah berulangnya tindakan kriminal tersebut, baik oleh pelakunya maupun mencegah orang lain agar tidak terjerumus untuk melakukan tindak kejahatan yang sama. Karena timbulnya rasa takut setelah menyaksikan pelaksanaan sanksi tersebut.
Maka dengan mengembalikan sistem sanksi yang berasal dari Allah SWT, urgen untuk diterapkan di tengah-tengah masyarakat, guna mengatasi kasus kejahatan secara tuntas. Kehidupan masyarakat pun terjaga dari berbagai kejahatan kriminalitas. Semua ini bisa terwujud kecuali hukum Allah diterapkan secara kafah dalam sistem Daulah Islam . Walahu ‘Alam Bhisowab.
Views: 6
Comment here