Opini

Menyoal PP No 26/2023 Tentang Ekspor Pasir Laut

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh : Sahabat Wakasi

wacana-edukasi.com, OPINI– Belum lama ini telah ditetapkan oleh pemerintah dalam Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut (PP Nomor 26 Tahun 2023) Bab IV tentang Pemanfaatan Pasal 9 ayat (2) huruf d, yang memperbolehkan untuk ekspor pasir laut atau sedimen lain berupa lumpur sepanjang kebutuhan dalam negeri terpenuhi dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Tentunya menjadi isu panas setelah selama 20 tahun ekspor pasir laut telah dilarang sesuai Surat Keputusan (SK) Menperindag Nomor 117/MPP/Kep/2/2003 tentang Penghentian Sementara Ekspor Pasir Laut tertanggal 28 Februari 2003. Para ahli berpendapat bahwa pengerukan dan penambangan pasir laut baik sebelum 2003 sampai saat ini tidak mengubah fakta bahwa melakukannya hanya akan berdampak pada kerusakan lingkungan, baik pada terumbu karang hingga mengakibatkan abrasi. Ini mengindikasikan; Pertama, Dalam artian pengembangan teknologi pengerukan dan penambangan pasir laut dalam 20 tahun terakhir ini tidak ramah lingkungan. Bertolak belakang dengan alasan demi ‘kesehatan laut’. Logika ini jika diikuti maka amat berbahaya. Sama halnya dengan logika kedua ‘daripada negara dirugikan’. Bagaimana bisa untuk mengamankan aset laut dengan mengeruk dan menjualnya daripada menambah patroli laut?

SDA merupakan salah satu faktor terbesar yang menopang kekuatan ekonomi sebuah negara yang tentunya harus diiringi dengan kebijakan yang tepat perihal pemanfaatan, pengelolaan, pendistribusian hingga pelestariannya. Diriwayatkan oleh Tirmidzi, dari Abyad bin Hamal al-Mazni:

“Bahwasanya ia mendatangi Rasulullah saw seraya meminta sebidang (ladang) garam, maka beliau memberikan kepadanya. Tatkala hal itu diberikan, salah seorang laki-laki yang berada di dalam majlis berkata: ‘Apakah engkau mengetahui apa yang telah engkau berikan kepadanya? Sesungguhnya yang engkau berikan itu laksana (memberikan) air yang mengalir’. Berkata Rasul: ‘(Kalau demikian) maka ambil kembali darinya’”

Maka pemilikan akan SDA harus dikategorikan dengan jelas mana yang boleh dikelola masyarakat swasta, mana yang harus dimiliki dan dikelola oleh negara. Sedangkan dalam konteks ini adalah tanah termasuk pasir laut, berdasarkan hadis diatas, maka ini dimiliki dan dikelola oleh negara untuk diberikan kepada rakyat sesuai yang dibutuhkan. Negara dilarang memperjualbelikannya kepada rakyat, apalagi kepada asing. Sehingga dibutuhkan regulasi kebijakan yang tepat, bukan hanya sekedar kebijakan untuk menguntungkan segelintir pihak atau yang bukan seharusnya diuntungkan. Negara harus menjamin masyarakat kebutuhannya terpenuhi seluruhnya.

Jika seluruh masyarakat sudah dimakmurkan tanpa terkecuali, barulah ekspor boleh dilakukan. Dengan catatan sedikitpun tidak ada yang boleh dirusak atau dirugikan. Jika satu pihak atau aspek saja menunjukkan kerusakan/kerugian, maka ekspor tersebut harus dibatalkan dan dihentikan. Sama halnya dengan ekspor pasir laut ini, meskipun rakyat telah makmur seluruhnya, ini tetap tidak boleh dilakukan. Karena nyatanya tanah/pasir laut harus dimiliki negara untuk diberikan kepada rakyat yang membutuhkan. Sehingga mengekspornya adalah pelanggaran hukum dan merusak ekosistem, serta menguntungkan proyek-proyek kapitalis.

Isu berkomplotnya korporatokrasi dengan politisi lama terendus, hingga terlahir PP 26/2023. Melihat kebutuhan negara Singapura sebagai negara pengimpor pasir laut terbesar di dunia, sedangkan Malaysia sebagai negara penyetok sudah mulai berhenti menyetok pasir laut untuk Singapura. Begitupun Cina sebagai calon yang juga akan diuntungkan mengingat Cina sedang sibuk membuat pulau buatan untuk kepentingan pangkalan militer dalam prosesnya menguasai Laut Cina Selatan tentunya akan diuntungkan dalam pembukaan keran ekspor pasir laut ini. Jika dilihat dari berbagai aspek seperti jarak suplai, kualitas pasir dan harga jual, sudah jelas Singapura akan memilih pasir Indonesia, terutama Riau, dibanding dengan pasir negara penyuplai lainnya. Indonesia dapat menerapkan One Gate System dalam penjualan pasir laut dengan patokan harga berkisar 18-21 dolar Singapura per kubik. Tentunya ini sesuai target berdasarkan Keputusan Menteri KKP No 82/2021 tentang harga patokan pasir laut di dalam dan luar negeri. Padahal keuntungan yang terlihat menggiurkan (melihat milyaran kubik dibutuhkan oleh negara importir) ini tidak seberapa dibanding kerusakan alam yang akan dialami oleh Indonesia. Seperti yang dialami oleh Pulau Nipah dan Sebatik yang hilang sebab pasir lautnya diekspor untuk keperluan reklamasi Singapura. Indonesia harus menanggung kerugian akibat hilangnya pulau, kerusakan ekosistem dan dana besar harus dikeluarkan untuk konservasi alam.

Menurut Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono, potensi sedimentasi Indonesia saat ini mencapai 28 miliar kubik. Jika harga per kubik adalah 21 dolar Singapura, maka potensi kekayaan yang didapat adalah Rp 6,49 kuadriliun sebelum dihitung pengeluaran modal, hilangnya pulau dan konservasi akibat alam yang rusak. Dalam hal keuntungan, ekspor pasir laut ini juga jelas tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan pengelolaan SDA lain seperti nikel, bauksit, emas, perak, minyak bumi dan batu bara. Rasulullah saw bersabda:

“Kaum Muslim berserikat (memiliki hak yang sama) dalam tiga hal: air, rumput dan api” (HR Ibnu Majah).

Berdasarkan rujukan ini, pengelolaan SDA di dunia Islam hanya akan membahas masalah; bagaimana memperoleh SDA, mengelola dan mendistribusikannya di tengah-tengah masyarakat. Tidak ada bahasan bagaimana berbagi keuntungan dengan asing dengan menelantarkan hak rakyat dan merusak ekosistem. Menurut aturan Islam, kekayaan alam atau SDA seperti mineral adalah bagian dari kepemilikan umum. Kepemilikan umum ini wajib dikelola oleh negara. Hasilnya diserahkan untuk kesejahteraan rakyat secara umum. Sebaliknya, menjadi haram hukumnya jika menyerahkan pengelolaan kepemilikan umum kepada individu, swasta apalagi asing, terutama asing yang memusuhi Islam.

Bukan berarti SDA tersebut patutnya diekspor, tetapi lebih ke pemilikannya diatur sebagai kepemilikan umum dan pengelolaannya dikelola oleh negara tanpa campur tangan swasta dan asing untuk kemudian didistribusikan kepada rakyat. Berdasarkan mineral potential index, cadangan mineral membuat Indonesia sebagai salah satu penghasil pertambangan mineral terbesar di dunia. Indonesia tercatat memiliki cadangan gas sebanyak 135,55 trillion standard cubic feet (TSCF). Cadangan gas tersebut tersebar di beberapa lokasi dengan pembagian P1 atau terbukti 99,06 TSCF, P2 atau cadangan potensi sebesar 21,26 TSCF dan P3 (cadangan harapan) sebanyak 18,23 TSCF. P1 99,06 trillion x Rp 4,250/m³= mencapai 421 kuadriliun P2 21,26 trillion x Rp 6,000/m³= mencapai 127 kuadriliun. Sedangkan cadangan komoditas nikel sebanyak 3,57 miliar ton dengan produksi tambang per tahun 17 juta ton bijih. Umur cadangan berdasarkan produksi bijih 184 tahun. 3,57 miliar ton x Rp 369,797,400/ton= mencapai 136,9 kuintiliun. Belum cadangan SDA lain yang jika dikelola sendiri oleh negara akan menghasilkan kekayaan yang melimpah yang mampu mengentaskan kemiskinan di Indonesia.

Tetapi nahas, realita saat ini adalah bahwa SDA yang menguasai hajat hidup orang banyak ini justru dikuasai asing. Berapa kuadriliun ton emas yang dibawa AS dari Freeport sedangkan saudara kita di Papua sang penghuni asli gunung mas itu harus hidup dalam kemiskinan? Di sepanjang tahun 2022 saja penghasilan PT Freeport-McMoran Inc mencapai USD 341,07 triliun yang 37 persen hasil pendapatannya berasal dari Indonesia, yakni senilai USD 8,43 miliar atau setara Rp 126,39 triliun bersih dari penjualan tembaga, emas dan perak Indonesia. Di tahun 2022 Indonesia mendapat Rp 54,15 triliun. Akan sangat berbeda jumlahnya jika Indonesia mampu mengolah SDA ini sendiri tanpa AS, bukan? Belum keuntungan yang dikeruk oleh BP, ExxonMobil, Chevron Pasific Indonesia dan Shell. Sistem kerjasama Barat kapitalis yang cenderung menjajah ini harus segera dihentikan. Begitupun kerjasama ekspor pasir laut yang keuntungannya berbeda jauh dengan SDA lain, tetapi kerugian alamnya mengancam negeri.

Dari serangkaian fakta di atas, PP 26/2023 ini harus dibatalkan, karena merusak lingkungan dan merugikan rakyat. Juga merupakan hasil persekongkolan penguasa dan pengusaha untuk mencari keuntungan. Menguntungkan kapitalis dan negara kapitalis, sebagai akibat dari korporatokrasi yang jauh dari pelayanan kepada rakyatnya. Sedangkan penguasa seharusnya adalah pelayan bagi rakyatnya. Daripada ekspor pasir laut, lebih baik mengelola SDA lain dengan tangan sendiri untuk dibagikan kepada rakyat. Kemunculan PP 26/2023 ini adalah akibat sistemik dari negara korporatokrasi yang menunjukkan gagalnya negara sebagai pemimpin, sehingga harus segera diganti sistem yang melemahkan peran negara ini dengan syariah dan khilafah yang mampu membawa umat ke arah kesejahteraan, serta menjamin umat hidup dalam kemuliaan Islam. Masyarakat harus segera menuntut pembatalan PP ini dan fokus untuk perubahan menuju tegaknya syariah kaffah dan khilafah. Dengan demikian kekhawatiran akan distribusi kekayaan alam yang tidak merata sesuai hak rakyat dapat terelakkan. Rakyat dan penguasa hidup berkah dengan ridho Allah Swt.

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 18

Comment here