Oleh: Karisah
Aktivis Muslimah Peduli Generasi
wacana-edukasi.com, OPINI– Kebijakan penguasa dalam berbagai hal semakin hari semakin tak tentu arah, seakan tumpang tindih solusi yang diberikan, belum diperhatikan sampai pada akar permasalahan mendasarnya. Inilah realita sistem buatan manusia yaitu kapitalisme, sistem kufur yang condong hanya memberikan keuntungan bagi segelintir individu/kelompoknya saja.
Baru ini ada pernyataan yang menggelitik para kaum ibu. Dimana pernyataan ini datang dari tokoh yang sudah dikenal oleh masyarakat banyak. Dalam seminar Nasional Pancasila yang mengusung tema, “Gerakan Semesta Berencana Mencegah Stunting, Kekerasan Seksual Pada Anak dan Perempuan, Kekerasan Dalam Rumah Tangga, serta Mengantisipasi Bencana”, yang bertempat di Jaksel.
Pernyataannya menyinggung ibu-ibu yang gemar mengikuti pengajian, yang dianggap justru berpotensi menelantarkan anak dan keluarga akibat sering datang ke pengajian.
Menanggapi hal ini, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI), KH. Muhammad Cholil Nafis, angkat suara. Ia menggugat pernyataan tokoh tersebut, “Soal tak senang ngaji tak apalah, tapi tak usah usil dengan ibu-ibu yang rajin ngaji sampai kapan pun. Ungkapnya melalui cuitan di Twitter beberapa waktu lalu.
Tambahnya lagi, ia mengaku memaafkannya .”Saya memaafkan, tak ada ceritanya ibu-ibu rajin ngaji itu jadi bodoh dan tidak kreatif. Ngaji itu melatih hati dan mengkaji melatih pikiran, keduanya banyak yang bisa memadukan sekaligus.” Ujarnya.
Beragam komentar warganet pun bersliweran untuk meresponnya. Seperti, kenapa mempersoalkan ibu-ibu pergi ke pengajian? Kenapa tidak sekalian ibu-ibu sosialita atau ibu-ibu yang pergi dugem diperingatkan?
Mirisnya, negara Indonesia yang mayoritas penduduknya muslim, namun dalam beberapa hal justru orang Islam itu sendiri yang menghina dan mengkerdilkan sesama orang Islam yang semangat belajar tentang ajaran agamanya. Bahkan tidak jarang dilakukan oleh beberapa oknum yang memiliki kedudukan.
Efek dari mengadopsi pemahaman sistem kapitalisme-sekular, menjadikan agama hanya sebatas ritual semata. Ajaran Islam tidak dijadikannya sebagai pedoman hidup, alhasil memandang mereka yang memahami Islam secara kaffah dianggap berseberangan dan tidak sejalan dengan UU Konstituional. Bahkan tak jarang mudah menyematkan dengan stereotif terlalu fanatik, radikal serta pemecah belah bangsa sampai yang paling kejam dianggap memiliki paham terorisme.
Bukankah masih banyak permasalahan di negeri ini yang perlu diatasi dengan penanganan serius dan tuntas dari penguasa? Seperti fenomena stunting pada anak, naiknya angka kemiskinan, maraknya kriminalitas serta menumpuknya problematika urgen lainnya.
Fokus Menyelesaikan Problematika Secara Tuntas
Para pemegang amanah sebagai pelayan masyarakat memiliki kewajiban untuk bersegera menyelesaikan problematika masyarakat dengan tuntas sampai ke akarnya. Karena itu adalah kewajiban sebuah negara untuk mensejahterakan kehidupan rakyatnya.
Sejarah pernah mencatat ada sebuah peradaban yang mucul di tengah-tengah dua Imperium besar dan mampu mengungguli keduanya. Peradaban itu ialah peradaban Islam, dimana Islam dijadikan sebagai sistem negara yang dikenal dengan sebutan Daulah Islamiyah.
Aturan Islam itu berasal dari Allah Swt. yang menciptakan alam semesta beserta isinya, serta memberikan pedoman hidup untuk setiap makhlukNya yaitu di dalam Al Qur’an dan As Sunnah. Dengannya manusia diberikan petunjuk dalam memaknai tujuan hidup secara hakiki.
Menanggapi pernyataan tokoh yang menganggap ikut pengajian berakibat menelantarkan anak, justru sangat bertolak belakang dengan sudut pandang Islam, bahwa di jelaskan di dalam hadist Nabi Saw., “Menuntut ilmu itu hukumnya fardlu’ain bagi setiap muslim dan muslimah”. Maka datang ke pengajian merupakan bagian dari ikhtiar mencari ilmu. Kenapa dipermasalahkan?
Mengutip kitab Nidzomul Islam yang ditulis oleh Syaikh Taqiyuddin an Nabhani, bahwa kebangkitan manusia itu tergantung pada pemikirannya tentang hidup, alam semesta dan manusia itu sendiri.
Dengan hadir ke pengajian/majelis ilmu, maka umat Islam akan terbuka pemikirannya untuk semakin mengenal Tuhannya, menguatkan aqidahnya, belajar untuk selalu berbuat baik terhadap sesamanya, dan juga mengenal simpul besar/ uqdotul kubro, kehidupan ini dari mana, untuk apa dan akan kemana.
Sejatinya hidup itu dari Allah, untuk beribadah kepadaNya dan berharap bisa pulang kesurgaNya Allah SWT.
Allah Ta’ala berfirman di dalam Al Qur’an Surat Adz-Dzariyat: 56, yang artinya:
“Aku (Allah) tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.”
Seorang ibu yang sejatinya menjadi jantungnya rumah tangga, maka dengan mereka hadir di majelis ilmu merupakan ikhtiarnya untuk mendapatkan ilmu. Tak hanya untuk dirinya sendiri yang bisa menjadikannya sholeha, tapi juga mengalirkan pahala untuk kedua orang tuanya, juga belajar menjadi ibu yang baik, memberi pengasuhan dan perhatian terhadap anak-anaknya dengan pemikiran yang diajarkan dalam agama Islam.
Bahkan diajarkan untuk mencontohkan & mendidik agar anak-anaknya kelak beriman dan bertakwa serta menjadi pembela agamanya, bermanfaat dalam membangun peradaban manusia ke depan.
Ibu-ibu yang sering datang ke pengajian, juga diajarkan untuk menjadi istri yang bukan cuma taat pada Allah dan RosulNya, tapi juga selalu berusaha menjadi istri sholeha untuk suaminya. Itulah sejatinya arti dari “beriman dan bertakwa dalam kehidupan berumah tangga”.
Di dalam Al Qur’an disebutkan orang menuntut ilmu akan ditinggikan derajatnya oleh Allah Swt. Terdapat di surat Al Mujadalah: 11.
Yang artinya : “Wahai orang orang yang beriman! Apabila dikatakan kepadamu,”Berilah kelapangan di dalam mejelis-mejelis,” maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan “Berdirilah kamu”, maka berdirilah, niscaya Allah akan mengangkat (derajat) orang orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat. Dan Allah Maha Teliti atas apa yang kamu kerjakan.”
Mempelajari Islam secara kaffah bukan hanya menambah pemahaman untuk diri manusia, melainkan dapat membuka pemikirannya bahwa Islam bukan sekedar agama ritual namun juga sebagai agama siyasah (politik). Islam memiliki aturan lengkap mulai dari bangun tidur sampai bangun negara.
Sayangnya pemahaman ini kurang didapat saat berada di bangku sekolah formal. Dimana hanya mengajarkan bahwa Islam sebagai agama ritual yang memerintahkan untuk sholat, puasa, zakat, dan pergi haji. Tak dimungkiri semua ini pengaruh dari sistem pendidikan yang masuk dalam kurikulum sekolah-sekolah umum. Dimana sejarah peradaban Islam yang gemilang tak semua dijelaskan.
Padahal banyak contoh dalam sejarah peradaban Islam yang bisa dijadikan pedoman hidup sampai hari ini, seperti kehidupan seorang ibu, Ummul Mu’minin istri tercinta Rosulullah Saw, Khodijah binti Khuwait r.a. Seorang istri yang istimewa, pandai berbisnis, kaya dan juga pandai mengurus rumah tangganya, anak anaknya dan yang memberikan hartanya dan segala yang dipunya untuk perjuangan dakwah Islam.
Lalu, ada Ummul Mu’minin Aisyah binti Abu Bakar r.a. Wanita suci yang diumumkan dari 7 lapis langit, wanita cerdas dan penghafal ribuan hadist.
Kemudian ada juga Hafsha binti Umar r.a. Seorang wanita yang ahli puasa, sholat dan menjadi penjaga Al Qur’an. Selain itu, masih banyak lagi wanita/ istri-istri tangguh yang baik pada keluarganya dan juga taat kepada Allah dengan memperjuangkan Islam dalam hidupnya.
Kepemimpinan Islam
Tegaknya negara yang menerapkan sistem Islam, akan dipimpin oleh seorang Khalifah, yang menjalankan hukum-hukum Allah. Kehidupan yang berjalan dengan aturanNya menjadi sejahtera, penuh dengan keberkahan dari Sang Pencipta Kehidupan.
Sedangkan sistem Kapitalisme sejak awal kelahirannya sudah cacat sebab ide yang berasal dari kecerdasan akal manusia itu terbatas. Sampai kapanpun sistem buatan manusia ini tidak akan memberikan solusi tuntas. Layakkah sistem kapitalisme dipertahankan?
Islam yang menawarkan solusi tuntas terbukti bisa diwujudkan, pilihannya mau atau tidak menerapkannya dalam sistem bernegara? Mau atau tidak memperjuangkan kehidupan Islam rahmatan Lil’alaamiin yang mampu menyelamatkan negeri dari keterpurukan?
Wallahu a’ alam bissowab.
Views: 33
Comment here