Penulis: Kunthi Mandasari (Pegiat Literasi)
Kontroversi ucapan “semoga Sumbar menjadi Provinsi yang mendukung Pancasila” dari Petinggi partai yang berkuasa berbuntut panjang. Pernyataan tersebut dianggap menyerang loyalitas masyarakat Sumatera Barat terhadap model negara saat ini. Bukan tanpa alasan jika masyarakat Minang meradang. Karena faktanya ada tiga tokoh penyumbang Pancasila, yaitu Moh. Hatta, Muhammad Yamin dan H. Agus Salim. Selain itu, nilai-nilai Pancasila juga sudah lama diterapkan di tanah Minang.
Tak ingin bola panas semakin bergerak liar, PDIP menggaungkan kampanye “Puan berdarah Minang” sebagai penangkal. Sebagaimana dilansir dari wartaekonomi.co.id, (05/09/2020), sejumlah kader Banteng rame-rame angkat suara membela putri Megawati Soekarno Putri tersebut. Salah satunya, Arteria Dahlan. Anggota DPR dari Fraksi PDIP ini yakin, Puan tidak bermaksud menghina orang Sumbar.
“Harusnya orang Minang, menjaga Puan, beliau aset, sekaligus kebanggaan orang Minang. Harus kita jaga. Kan harusnya orang Minang bangga, khususnya perempuan Minang, punya Ketua DPR pertama kalinya yang perempuan, dan perempuan Minang pula,” kata Arteria dalam keterangan resminya, kemarin.
Pembelaan juga datang dari Ketua DPD PDIP Sumbar, Alex Indra Lukman. Menurutnya, Puan tidak bermaksud menyakiti orang Minang. Pernyataan itu tak lebih dari instruksi kepada kader banteng agar memperjuangkan nilai-nilai Pancasila. Terlebih, pernyataan itu sebenarnya muncul saat rapat internal.
Meski pembelaan dari kader separtai bermunculan, sampai saat ini Puan belum angkat bicara soal ucapannya yang menuai polemik ini. Pengamat politik Universitas Paramadina Hendri Satrio menilai, sikap PDIP seperti itu justru akan membuat persoalan ini akan berlarut-larut. “Ini bisa berkepanjangan polemiknya. Kan pilkada-nya aja Desember. Pasti digoreng terus sampai pilkada,” ulasnya, saat dihubungi Rakyat Merdeka, tadi malam.
Menurut Hendri, keliru jika mengkampanyekan Puan memiliki darah Minang bisa menyelesaikan ini. Seharusnya, jika menganggap dirinya negarawan, Puan lebih baik minta maaf langsung ke orang Minang. Terlebih warga Sumbar terkenal keramahtamahannya. Pendiri lembaga survei Kedai Kopi ini menganggap penting persoalan Puan dan Sumbar. Mengingat, jabatan Ketua DPR yang saat ini melekat.
Munculnya pernyataan tersebut seolah menjadi indikasi ketakutan partainya akan kalah oleh politik identitas. Mengingat hasil dari beberapakali pemilihan di Sumbar mengalami kekalahan. Padahal jika dilihat dari sejarah hubungan antara Soekarno dan masyarakat Sumbar sangat erat. Namun hubungan tersebut berakhir dengan luka sejak Soekarno mengerahkan kekuatan militer di Sumbar dalam menumpas pemberontakan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) pada akhir tahun 1950-an. Menurut Edy Utama, Budayawan Minang, pengerahan kekuatan militer itu menjadi awal perpecahan yang menimbulkan luka dan trauma mendalam di masyarakat Sumbar kepada Sukarno yang berimplikasi kepada PDIP, representasi dari Soekarno (bbc.com, 08/09/2020).
Narasi saling menyudutkan saat menjelang pemilihan merupakan hal yang wajar demi mendulang suara. Meski syariat Islam senantiasa disudutkan dan diharamkan menjadi penentu dalam demokrasi, tetapi disisi lain Islam mampu menjadi pendongkrak partai kontestan politik. Mengingat mayoritas penduduk negara ini adalah kaum muslim. Begitu pula Sumbar yang masih kental nuansa keislamannya. Melakukan berbagai cara untuk memperoleh suara kaum Muslim menjadi keharusan.
Bahkan dalam beberapa kesempatan tokoh politik menyamakan dengan sejumlah sosok khalifah. Hal ini jelas menandakan bahwa mereka pun sadar akan kerinduan umat terhadap pemimpin Islam yang mana pernah memberikan kesejahteraan, keadilan dan pengayoman. Hal ini pun dilakukan semata-mata untuk menaikkan nilai jual dalam pemilihan. Meskipun begitu masyarakat sudah terlalu cerdas dan tidak mudah terkecoh. Masyarakat justru semakin terpantik untuk mencari tahu dan membandingkan antara kepemimpinan model demokrasi dengan Islam.
Mengingat politik dalam sistem demokrasi sering diwarnai kecurangan serta dikenal berbiaya mahal. Banyak pemimpin yang terjebak kasus suap jabatan, korupsi untuk modal pemilihan, kampanye hitam dan masih banyak lainnya. Terlebih dalam pemilihan juga tidak berjalan sesuai dengan semboyan yang selalu digadang-gadangkan. Saling sikut dan menghalalkan cara pun lumrah dilakukan. Bahkan ketika akhirnya terpilih lupa dengan janji-janjinya itu adalah hal yang biasa. Inilah yang membuat masyarakat akhirnya merasa jemu.
Hal ini tentu berbeda jauh dengan Islam. Politik atau siyasi dalam Islam dimaknai sebagai pengurusan terhadap umat. Maka tujuan adanya pemimpin sebagai pelayan umat. Memastikan setiap hukum syara’ diterapkan dan memenuhi hak-hak setiap individu. Terutama kebutuhan mendasar seperti sandang, pangan, dan papan. Serta menyediakan layanan kesehatan yang layak, pendidikan yang murah dan bila perlu gratis serta penjagaan jiwa.
Pemilu pun ada dan dibolehkan dalam Islam. Sebab, kekuasaan itu ada di tangan umat (as-sulthan li al-ummah). Serta menjadi salah satu prinsip dalam sistem pemerintahan Islam (Khilafah). Pelaksanaannya dari pihak umat kepada seseorang untuk menjadi khalifah (Zallum, 2002: 41; Al-Khalidi, 1980: 95).
Sehingga seseorang tidak akan menjadi penguasa (khalifah), kecuali atas dasar pilihan dan kerelaan umat. Di sinilah pemilu dapat menjadi salah satu cara (uslûb) bagi umat untuk memilih siapa yang mereka kehendaki untuk menjadi khalifah. Namun, perlu dipahami, bahwa Pemilu hanyalah cara (uslûb), bukan metode (tharîqah). Cara mempunyai sifat tidak permanen dan bisa berubah-ubah, sedangkan metode bersifat tetap dan tidak berubah-ubah (An-Nabhani, 1973: 92).
Dalam masalah pemilihan dan pengangkatan khalifah dalam syariat Islam. Ada metode (tharîqah) yang tetap dan hukumnya wajib; ada pula cara (uslûb) yang bisa berubah dan hukumnya mubah. Dalam hal ini, hanya ada satu metode untuk mengangkat seseorang menjadi khalifah, yaitu baiat yang hukumnya adalah wajib (Abdullah, 1996: 130-131). Dalil wajibnya baiat adalah sabda Rasulullah saw.:
Siapa saja yang mati, sedangkan di lehernya tidak ada baiat, maka dia mati seperti mati Jahiliah. (Hadis sahih. Lihat: Shahîh Muslim, II/240; Majma‘ Az-Zawâ’id, V/223-224; Nayl al-Awthâr,VII/183; Fath al-Bâri, XVI/240).
Rasulullah saw. mencela dengan keras orang yang tidak punya baiat, dengan sebutan “mati Jahiliah”. Artinya, ini merupakan indikasi (qarînah), bahwa baiat itu adalah wajib hukumnya (Abdullah, 1996: 131).
Adapun tata cara pelaksanaan baiat (kayfiyah ada’ al-bai’ah), sebelum dilakukannya akad baiat, merupakan uslûb yang bisa berbeda-beda dan berubah-ubah (An-Nabhani, 1973: 92). Dari sinilah, Pemilu (intikhabat) boleh dilakukan untuk memilih khalifah. Sebab, Pemilu adalah salah satu cara di antara sekian cara yang ada untuk melaksanakan baiat, yaitu memilih khalifah yang akan dibaiat. Sekali lagi perlu diingat, bahwa ushlub diperbolehkan berubah-ubah, tetapi thoriqoh tidak boleh berubah.
Sayangnya kaum Muslim banyak yang belum menyadari betapa mudahnya sistem Islam. Sehingga terjebak dalam politik pragmatis yang menawarkan perubahan semu. Sudah seharusnya sistem demokrasi yang terbukti gagal segera dicampakkan kemudian diganti dengan syariat Islam. Hanya dari sistem Islam inilah akan lahir para pemimpin negarawan. Layaknya Umar yang tidak keberatan ketika dikritik kebijakannya oleh perempuan terkait ketetapan mahar. Umar yang menyadari kealpaannya pun tidak segan untuk meminta maaf di hadapan banyak orang. Beginilah sikap negarawan sejati yang sudah langka. Apalagi di sistem demokrasi. Oleh karenanya, apabila kita merindukan sosok layaknya Umar, maka sudah seharusnya kita tidak alergi terhadap syariat Islam dan turut serta memperjuangkan penerapannya.
Wallahu a’lam bishshawab.
Views: 2
Comment here