Opini

Merdeka Pemikiran untuk Bangkit dari Keterpurukan

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh : Lely Novitasari
Aktivis Generasi Perdaban Islam

wacana-edukasi.com, OPINI– Seolah nyawa ayam lebih mahal daripada nyawa manusia, pengibaratan saat melihat kondisi memprihatinkan para pengungsi Rohingya tahun ini. Betapa tidak, sudahlah mengarungi lautan lepas berbulan-bulan bukan dengan kapal pesiar tapi kapal kayu seadanya, itupun mengangkut puluhan manusia di dalamnya. Sesaat setelah sampai di tepi pantai, bukannya dapat jamuan hangat melainkan penolakan dan pengusiran.

Ada apa sebetulnya dengan umat hari ini? Baru kemarin hampir seluruh umat satu suara tentang Palestina, kenapa tidak untuk Rohingya?

Beberapa informasi yang viral di media sosial tik tok khususnya, ada oknum influenser yang begitu vokal menarasikan pengungsi Rohingya dengan sangat keji. Sesak dada melihatnya ketika ternyata banyak para followernya juga masyarakat lain ikut terprovokasi.

Realitas yang tak di mungkiri, saat generasi minim literasi akan sangat mudah terpengaruh arus informasi yang berdurasi singkat. Sebuah ironi, teknologi yang semakin canggih dan instan justru menjadi bomerang di saat umat/ generasi tidak memahami cara bijak pengunaanya dengan baik.

Literasi itu bukan sekedar banyak baca, tapi memilih bacaan yang tepat. Bukan baca komenan, status wa, atau sekedar baca di tiktok. Seharusnya umat melihat akar masalah Rohingya secara holistik (cara pandang yang menyeluruh atau secara keseluruhan) bukan sepotong-sepotong.

Propaganda di media sosial yang sangat masif hari ini, ditambah hampir 1/4 hidup manusia ada di Hp. Lalu dengan tingkat literasi rendah, bukankah umat hari ini mudah dijadikan sasaran empuk untuk menyebar dan menerima berita atau informasi hoax? Pada faktanya berhasil.

Akibatnya orang mudah terpengaruh tanpa proses filterisasi dan mengecek kembali untuk validasi. Sekalipun ada dugaan indikasi tentang dimanfaatkannya isu pengungsi Rohingya ini dengan tahun pemilu hari ini. Rasanya tak pantas masyarakat serta khususnya umat menjadikan pengungsi Rohingya sebagai kambing hitamnya.

Seperti saat aksi pengusiran pengungsi Rohingya oleh mahasiswa di Aceh, secara tidak langsung mencoreng wajah penduduk Aceh yang notabene tidak semua membenci, masih ada warga Aceh yang punya kepedulian membantu para pengungsi. Tentu pemaksaan yang dilakukan aliansi mahasiswa ini menyisakan trauma dan ketakutan – ‘Kami kira akan mati di sini’.

Sebuah paradoks, di saat umat Islam dan hampir seluruh penduduk Indonesia mulai satu suara membela Palestina, tapi sebagian besar justru ikut terprovokasi dan begitu keji tega menolak serta mengusir pengungsi Rohingya. Kenapa umat seolah punya standar ganda?

Nasionalisme Memutus Tali Persaudaraan

Baru saja gegap gempita perayaan tahun baru sebagian dirayakan oleh penduduk negeri. Ramai sebagian umat menyalakan kembang api dan memadati jalanan menuju tempat wisata ikut mengisi waktu luangnya. Seakan tidak terjadi apapun yang membuat resah hatinya. Padahal sebulan lalu, umat negeri ini banyak melakukan aksi bela Palestina. Kini, pembelaan itu mulai luntur, ditambah sistem Meta yang memfilter konten Palestina semakin menenggelamkan pemberitaan. Padahal sampai dengan hari ini masih terjadi kezholiman luar biasa dialami umat di Palestina.

Bertambah keresahan melihat umat di Palestina, di negeri ini kondisi para pengungsi Rohingya yang terusir dari negerinya berharap diterima dengan tangan terbuka, justru mendapatkan penghakiman keji dari sebagian umat Islam itu sendiri.

Para pengungsi Rohingya dianggap sama seperti zionis entitas Yahudi. Kekhawatiran muncul sebab diibaratkan sama-sama pengungsi. Ramai postingan di media sosial tiktok dengan komentar pedas memaki dan minim jiwa kemanusiaan dengan kalimat tendesius/kasar.

Jika dicermati ternyata semua problematika umat hari ini di dasari paham nasionalisme. Satu sisi belum bisa berbuat banyak untuk bela Palestina sebab sekat nasionalisme. Di sisi lain nasionalisme pula yang menjadi dasar penolakan dan pengusiran pengungsi Rohingya.

Nasionalisme berhasil memecah belah umat Islam. Mengkerdilkan potensi besar umat. Bukankah umat Islam diibaratkan satu tubuh? Selayaknya umat mendudukan masalah ini dengan kroscek ke para pakar atau ahli sejarah. Tidak asal dengar dan lihat dari info media tiktok yang berdurasi singkat, bahkan tidak menyentuh akar masalahnya.

Kebanyakan masih fokus mempermasalakan penempatan dan bagaimana mencukupi kebutuhannya, tapi kurang memperhatikan kenapa pengungsi Rohingya sampai rela dan bertaruh nyawa meninggalkan tempat tinggal di negerinya? Mencari tahu akar permasalahan dasarnya? Bukan main hakim sendiri dan menginfluense tanpa argumen kuat.

Secara logika kalau di negerinya aman dan sejahtera hidupnya, mungkinkah para pengungsi Rohingya berbondong-bondong meninggalkan rumah tempat tinggalnya?

Bukti paham nasionalisme yang diwariskan para penjajah Inggris ke negeri-negeri muslim berhasil mengakar ke jiwa kaum muslim hingga memecah belah umat. Melemahkan kekuatan kaum muslimin dalam memahami agamanya hingga minim empati untuk menolong saudara-saudaranya.

Mengutip curahan hati pengungsi Rohingya, Zuhra yang tinggal di Malaysia, dari youtube channel Nicko Pandawa dengan tema; Meluruskan Hoax Rohingya! Kak Zuhra menyampaikan alasan kenapa para pengungsi lari ke Indonesia dan Malaysia, bahwa mereka memilih “kami tak nak pergi, tak apa kami pilih hidup sebagai pelarian yang penting ini negeri Islam”.

Pil pahit seolah harus dirasakan umat saat ini, sebab sistem yang diterapkan justru semakin menguatkan paham nasionalisme yakni kapitalis-sekular. Berharap di sistem hari ini akan terus menyandera umat dalam kenestapaan panjang. Buah Nasionalisme yang memupus ukhuwah/ tali persaudaraan di antara umat Islam.

Terbayang betapa menyeramkan jika fitnah dajjal itu datang. Kondisi hari ini saja terkait disinformasi pengungsi etnis Rohingya sudah membuat sebagian umat mudah dan ikut terprovokasi, tega menuduh serta menjelekkan sesama umat Islam dan sesama manusia. Maka, PR besar bagi umat Islam seluruhnya, agar menjadikan generasi tidak mudah terprovokasi dan instan dalam bersikap tanpa berpikir panjang.

Naik Level, Merdeka dari Penjajahan Pemikiran

Saat ini memang belum ada negara Islam. Meskipun ada negeri yang mayoritas penduduknya beragama Islam tapi faktanya jelas kondisi hari ini sangat tidak ideal sebab Islam sekedar dijadikan untuk mengurus ranah privasi. Sebagian umat yang belum paham memprioritaskan diri sendiri dibanding saudara seakidahnya.

Sebagai umat Islam, pentingnya merealisasikan keimanan dengan melaksanakan segala perintahNya dan menjauhi laranganNya. Tidak hanya di lisan tapi juga diwujudkan dengan perbuatan. Semisal tidak lagi ikut menyebarkan hoax tentang pengungsi Rohingya, wajib menunjukkan pembelan, pertolongan dan sikap yang nyata atas segala problematika yang dihadapi umat Islam di Palestina, India, Suriah juga Rohingya serta di segala penjuru dunia.

Umat juga harus punya kesadaran untuk lebih memahami agamanya hingga ia paham hakikat hidupnya. Tidak terbawa oleh mindset/ pemikiran barat yang sekedar mencari kebahagiaan duniawi.

Selain itu, perlu lebih mengenali sejarah agamanya, seperti bagaimana kondisi umat Islam di masa lalu, serta mencari tahu kenapa umat Islam hari ini berbeda? Bahkan terpuruk di segala aspek hidup. Pentingnya mengambil pelajaran dari sejarah mengambil hikmah kehidupan.

Dari kesadaran bahwa realitanya umat tidak bisa menolong dengan tuntas jika sistemnya masih berlandaskan sistem buatan manusia yakni sekularisme-kapitalis. Dimana semua keputusan dan kebijakan masih dipertimbangkan berdasarkan manfaatnya.

Maka sangat jelas tidak ada solusi lain selain dari sistem Islam itu sendiri. Umat sangat memerlukan Khilafah (negara yang menerapkan sistem Islam) untuk memerdekakan umat Islam secara fisik maupun keimanannya seperti halnya menjaga agar setiap muslim tepat dalam bersikap dengan mengamalkan hadis Nabi Saw;

“Perumpamaan sesama kaum mukminin dalam menjaga hubungan kasih sayang dan kebersamaan seperti satu tubuh, jika satu anggota merasakan sakit, maka akan membuat seluruh tubuhnya terjaga dan merasakan demam.” (HR Muslim No. 2586).

Dengan Khilafah yang mampu menyelamatkan kaum muslim yang tertindas di belahan bumi manapun, memberikan pembelaan tidak sekedar kecaman, niscaya keamanan dan kesejahteraan tidak hanya dirasakan umat Islam tapi juga umat lain yang masuk ke wilayah Khilafah.

Khilafah telah terbukti 13 abad lamanya, bahkan dicontohkan oleh Nabi Saw. sebagai manusia terbaik yang di lahirkan di dunia ini menerapkan Islam dalam naungan negara. Dengan segala sistem/peraturan yang datang dari Pencipta manusia niscaya kebaikan untuk semua makhlukNya.

Khilafah sebagai riayatul su’unil ummah (mengurusi urusan umat), meminimalisir kepentingan individu ataupun kelompok. Khilafah justru akan mendorong umat untuk saling tolong menolong atas dasar keimanan. Apakah umat sanksi terhadap apa yang disampaikan Nabi saw. tentang Islam sebagai satu-satunya sistem kepemimpinan yang mampu memerdekakan manusia dari penjajahan pemikiran dan fisik?

Wallahu’alam bishowab.

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 10

Comment here