Oleh Sri Rachmawati
Semua ini terjadi buah dari penerapan sistem sekuler. Sebuah sistem yang memisahkan antara agama dan kehidupan. Peran agama hanya sebatas pada tataran hubungan manusia dengan Tuhannya. Kehidupan bermasyarakat dan bernegara sama sekali bebas dari peran agama. Sehingga, peraturan yang tercipta adalah hasil kompromi manusia.
Wacana-edukasi.com — Beberapa waktu yang lalu, viralnya tagar #percumalaporpolisi menjadi trending topic di media sosial twitter. Hal itu merupakan buntut dihentikannya kasus dugaan pemerkosaan ketiga anak oleh ASN yang terjadi di Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan (national.okezone.com, 08/10/2021).
Sebelumnya pada 2019 yang lalu, ibu dari ketiga korban telah berusaha melaporkan kejadian tersebut kepada pihak kepolisian. Sayangnya, laporan itu hanya sampai pada tingkat kepolisian daerah, sebab Polda Sulawesi Selatan malah menghentikan proses penyelidikan atas permintaan dari Polres Luwu Timur.
Dampak dihentikannya kasus dugaan pemerkosaan anak di bawah umur tersebut diduga menjadi penyebab viralnya tagar #percumalaporpolisi. Hal itu menunjukkan kekecewaan masyarakat terhadap aparat penegak hukum, sebab aparat tak memberikan apresiasi ataupun itikad baik untuk memproses kasus tersebut.
Mirisnya lagi, pelaku pemerkosaan adalah ayah kandung dari ketiga anak tersebut yang diduga merupakan aparatur sipil negara (ASN) yang bertugas di pemerintah daerah setempat.
Menurut Ketua Indonesia Police Watch (IPW) Sugeng Teguh Santoso, tagar semacam itu menunjukkan turunnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap Polri. Sehingga dari kejadian tersebut bisa dijadikan bahan evaluasi bagi Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo (nasioanal.tempo.co, 11/10/2021).
Fungsi Kepolisian
Menurut Pasal 2 dalam Undang-Undang No 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri), dijelaskan bahwa Fungsi Kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat (tribatanews.kepri.polri.go.id, 23/09/2019)
Dari penjelasan pasal 2 di atas, salah satu fungsi aparat kepolisian yaitu penegakan hukum. Namun, terkait kasus pemerkosaan di atas, penegakkan hukum enggan dilakukan aparat. Hal ini tentu akan menimbulkan rasa tidak aman pada masyarakat. Terutama pihak korban, akan terus dihinggapi rasa tidak aman selama pelaku masih bebas berkeliaran.
Hukum dalam Sistem Sekuler
Betapa hancur hatinya si Ibu, saat kasus yang menimpa ketiga anaknya kurang mendapatkan respon dari aparat. Entah kemana lagi ia harus mengadu. Belum lagi beratnya menghilangkan dampak trauma yang dialami anak-anaknya.
Semua ini terjadi buah dari penerapan sistem sekuler. Sebuah sistem yang memisahkan antara agama dan kehidupan. Peran agama hanya sebatas pada tataran hubungan manusia dengan tuhannya. Kehidupan bermasyarakat dan bernegara sama sekali bebas dari peran agama. Sehingga peraturan yang tercipta adalah hasil kompromi manusia.
Berdasar pengalaman yang ada, berbagai regulasi yang ada seringkali berubah-ubah. Wajar saja, karena pemikiran manusia kerap berubah seiring perubahan zaman. Selain itu, pergantian kepempimpinan juga menjadi faktor penyebab terjadinya perubahan aturan yang ada.
Tak hanya suka berubah-ubah, regulasi yang dibuat syarat dengan berbagai kepentingan, yakni kepentingan antarelite oligarki kekuasaan.
Dalam realitanya, seringkali aparat mempertontonkan sebuah drama ketidakadilan. Banyak kasus yang dilakukan oleh si kaya dan si pejabat, yang jelas-jelas merugikan negara (korupsi), tapi sulit diproses hukumnya. Mereka bebas berlenggang, liburan di luar negeri, bahkan tidak tersentuh hukum sama sekali.
Berbeda bila si miskin pelakunya. Kisah nenek Asyani (63), pada 2015 yang lalu membuat geram masyarakat Indonesia. Ia yang dituduh mencuri 38 papan kayu jati di lahan Perhutani di Desa Jatibanteng, Situbondo yang divonis hukum 1 tahun. Benar-benar hukum di negeri ini tumpul ke atas, tajam ke bawah.
Alhasil masyarakat menjadi kurang respek, minim kepercayaan bahkan mungkin sebagian rakyat tak percaya lagi kepada aparat penegak hukum, akibat tidak dijunjungnya penerapan hukum yang berkeadilan.
Bagaimana dengan Sistem Islam?
Islam bukanlah sekedar agama, yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan. Lebih dari itu Islam merupakan sebuah sistem kehidupan yang juga mengatur kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Uniknya dari sistem Islam ialah selalu menyertakan peran pencipta (Allah) dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat maupun bernegara. Allah Swt bukanlah sebagai pencipta manusia, alam semesta dan kehidupan saja. Namun, Dia juga sebagai al-Mudabbir (pembuat aturan).
Peraturan hidup yang dibuat oleh Allah tentunya sesuai dengan fitrah manusia, karena Dialah yang mengetahui kelemahan, kelebihan, dan kebutuhan manusia serta hal lain yang terkait manusia. Selain itu, akal manusia akan terpuaskan dan hati maupun jiwa akan terasa tenteram.
Oleh karena itu, sistem Islam akan melahirkan berbagai regulasi dan peraturan hukum yang didasari atas keimanan atau ketakwaan pada Allah dan bebas dari berbagai kepentingan politik pribadi ataupun kelompok elite oligarki.
Sebagaimana firman Allah dalam Surat Al-Maidah ayat 50 :
أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ ۚ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ
“Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?”
Dalam surat Al-Maidah ayat 50 di atas, Allah SWT menegaskan kepada orang-orang yang beriman bahwa hukum siapa yang lebih baik, apakah hukum Allah ataukah hukum jahiliyah (hukum selain Allah, yakni buatan manusia). Tentunya bagi orang-orang yang yakin pada Allah, hukum Allah-lah yang pantas untuk diterapkan dalam kehidupan dibanding dengan yang lain.
Sistem Islam akan melahirkan aparat penegak hukum yang benar-benar menjunjung keadilan. Siapapun pelakunya, maka akan diperlakukan sama. Jauh dari gambaran penegakkan hukum saat ini, yakni tebang pilih, tajam ke bawah serta tumpul ke atas. Sebab, semuanya didasari karena iman dan kesadaran akan dimintai pertanggunjawaban di hari akhir kelak.
Ada sebuah kisah terkenal terkait penegakkan hukum Islam dalam sejarah. Yakni kisah seorang yahudi yang mencuri baju perang sang Khalifah Ali bin Abu Thalib. Namun, karena khalifah tak mampu mendatangkan saksi selain istri dan kedua anaknya yang mengetahui baju perangnya, maka kesaksian mereka itu tidaklah sah alias batal. Sehingga, hakim Syuraih memenangkan si Yahudi dibanding Khalifah Ali. Kedudukannya sebagai khalifah, tak lantas menjadikan Sayyidina Ali menang di pengadilan. Si Yahudi pun merasa kaget, tak menyangka bila ia yang dimenangkan. Akhirnya ia pun masuk Islam berkat keadilan dalam penegakkan hukum Islam.
Kisah di atas hanyalah salah satu kisah dari sekian kisah yang menggambarkan betapa penegakkan hukum dalam Islam dibangun atas keadilan, bukan atas kepentingan apapun. Pada akhirnya, masyarakat menaruh kepercayaan yang yang besar pada aparat atas pernerapan hukum tersebut.
Penutup
Kasus pemerkosaan ataupun berbagai kasus lainnya di negeri ini membutuhkan good will aparat hukum untuk memprosesnya dengan memberikan rasa keadilan pada semua pihak. Namun, dalam sistem sekuler saat ini mustahil hal itu dapat terwujud. Hanya dengan sistem Islamlah keadilan mampu diwujudkan.
Wallahu’alam bi al shawab
Views: 10
Comment here