Penulis: Mahrita Julia Hapsari (Aktivis Muslimah Banua)
Wacana-edukasi.com, OPINI– Kasus kecurangan dalam distribusi pangan kembali mencuat. Baru-baru ini, dalam inspeksi mendadak di Pasar Lenteng Agung, Jakarta Selatan, pada 8 Maret 2025, Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman menemukan bahwa kemasan Minyakita yang seharusnya berisi 1 liter ternyata hanya berisi 750 mililiter. Pelaku memanfaatkan situasi untuk meraup keuntungan lebih dengan mengurangi takaran tanpa menurunkan harga (Okezone.com).
Tak hanya itu, praktik serupa terjadi di sektor lain. Pada 19 Februari 2025, sebuah SPBU di Sukabumi ketahuan mengurangi takaran bahan bakar sebesar tiga persen per liter, menyebabkan kerugian hingga Rp1,4 miliar bagi konsumen (Kompas.com). Dua kasus ini hanyalah puncak gunung es dari bagaimana rantai distribusi dalam sistem kapitalisme sarat dengan praktik kecurangan yang merugikan rakyat.
Fenomena ini membuktikan bahwa dalam kapitalisme, distribusi pangan berada di tangan korporasi, bukan negara. Negara hanya bertindak sebagai regulator, bukan pelaksana utama dalam menjamin kebutuhan rakyat. Bahkan ketika terjadi kecurangan, sanksi yang diberikan cenderung lemah daln tidak menjerakan. Akibatnya, korporasi tetap mendominasi rantai distribusi, mengambil keuntungan sebesar-besarnya meski dengan cara yang merugikan rakyat.
Lalu, apakah ada sistem yang lebih baik? Islam memiliki solusi yang sangat berbeda dalam mengatur distribusi pangan dan menjamin kesejahteraan rakyat.
Distribusi Pangan dalam Kapitalisme: Untung di Atas Segalanya
Kapitalisme berasaskan liberalisme ekonomi, di mana mekanisme pasar dijadikan satu-satunya alat untuk mengatur distribusi barang dan jasa. Dalam konsep ini, negara tidak berperan aktif dalam menyediakan pangan, melainkan hanya bertugas mengatur regulasi dan menciptakan kondisi bisnis yang kondusif bagi pelaku usaha. Ini mengakibatkan beberapa hal.
Pertama, korporasi menguasai pasar
dari hulu hingga hilir, rantai distribusi pangan dikuasai oleh segelintir korporasi. Mereka mengendalikan harga, pasokan, dan bahkan akses terhadap bahan pokok. Negara hanya memberikan regulasi tanpa kendali penuh atas pasokan pangan.
Kedua, kecurangan berulang karena lemahnya sanksi. Kapitalisme menempatkan keuntungan sebagai prioritas utama. Dalam kondisi seperti ini, kecurangan seperti pengurangan takaran atau penimbunan stok menjadi hal yang sering terjadi. Sanksi yang lemah semakin mendorong pelaku usaha untuk terus mencari celah guna meraup keuntungan.
Ketiga, negara bertindak sebagai fasilitator, bukan pelayan rakyat. Negara lebih fokus pada bagaimana menciptakan iklim bisnis yang baik bagi para kapitalis daripada memastikan rakyat mendapatkan hak mereka. Alih-alih bertindak sebagai pelayan rakyat, negara dalam sistem kapitalisme lebih cenderung berfungsi sebagai regulator yang mempermudah bisnis besar berkembang.
Distribusi Pangan dalam Islam
Berbeda dengan kapitalisme, Islam menempatkan pemimpin sebagai raa’in (pengurus rakyat) yang bertanggung jawab memastikan kebutuhan rakyat terpenuhi, termasuk dalam rantai distribusi pangan. Rasulullah ﷺ bersabda:
“الإِمَامُ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ”
“Imam (pemimpin) adalah pengurus rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Dari hadis ini, jelas bahwa negara dalam Islam bukan sekadar regulator, melainkan pelaksana utama dalam penyediaan dan distribusi pangan. Hal ini didasarkan pada prinsip-prinsip berikut.
Pertama, negara mengelola distribusi pangan secara langsung. Negara dalam Islam tidak boleh menyerahkan distribusi pangan kepada korporasi yang berorientasi pada keuntungan. Pemerintah wajib mengelola sendiri rantai distribusi, memastikan pasokan yang cukup dan harga yang stabil. Jika terjadi krisis, negara harus segera bertindak dengan cadangan pangan yang dikelola oleh baitul mal (An-Nizham Al-Iqtishadi, Taqiyuddin An-Nabhani).
Kedua, pelarangan monopoli dan penimbunan. Islam melarang praktik monopoli dan penimbunan barang (ihtikar) karena keduanya merugikan masyarakat. Nabi Muhammad ﷺ bersabda: “Tidaklah orang yang melakukan ihtikar (penimbunan barang) kecuali ia berdosa.” (HR. Muslim). Negara bertugas memastikan tidak ada segelintir pihak yang mengendalikan pasar demi keuntungan pribadi.
Ketiga, sanksi tegas bagi pelaku kecurangan. Dalam sistem Islam, setiap bentuk kecurangan dalam distribusi pangan akan dikenai sanksi yang tegas. Institusi qadhi hisbah bertugas mengawasi pasar dan menindak langsung pelaku kecurangan. Jika ada yang melakukan kecurangan seperti mengurangi takaran atau menipu konsumen, mereka dapat dihukum dengan sanksi yang menjerakan, bahkan bisa dilarang berdagang.
Keempat, mekanisme pasar yang berbasis syariah. Islam mengatur pasar agar berjalan dengan adil tanpa eksploitasi. Harga dalam Islam ditentukan oleh mekanisme pasar yang alami, bukan oleh permainan korporasi. Negara berperan dalam menjaga keseimbangan antara permintaan dan penawaran dengan intervensi yang sesuai syariat.
Kelima, kepemilikan umum untuk sumber daya vital. Dalam Islam, sumber daya yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak—seperti minyak, gas, air, dan hutan, laut, padang rumput, dll—termasuk dalam kepemilikan umum. Tidak boleh ada pihak swasta yang menguasai dan memonopoli bahan-bahan tersebut demi keuntungan pribadi.
Khatimah
Kasus kecurangan dalam distribusi pangan yang terus berulang membuktikan bahwa kapitalisme gagal menjamin kebutuhan rakyat. Sistem ini memberi kebebasan bagi korporasi untuk menguasai rantai distribusi, sehingga rakyat sering kali menjadi korban praktik bisnis curang. Negara dalam kapitalisme hanya bertindak sebagai regulator, bukan pelayan yang benar-benar mengurus kepentingan rakyat.
Sebaliknya, Islam memiliki sistem ekonomi yang jelas dalam mengatur distribusi pangan. Negara tidak boleh menyerahkan distribusi pangan kepada korporasi, melainkan harus bertanggung jawab penuh dalam memastikan pasokan dan harga yang stabil. Dengan mekanisme yang berbasis syariat, Islam mampu menciptakan pasar yang adil, bebas dari kecurangan, dan benar-benar melayani rakyat.
Sudah saatnya umat menyadari bahwa kapitalisme bukan solusi. Islamlah yang memiliki sistem sempurna dalam menjamin ketahanan pangan dan menutup celah bagi para kapitalis rakus. Hanya dengan menerapkan Islam secara kaffah, kebutuhan rakyat bisa benar-benar terpenuhi tanpa harus tunduk pada kepentingan korporasi.
Views: 16
Comment here