Opini

Mirisnya Nasib Guru, di Sistem Kapitalisme

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh. Riannisa Riu

wacana-edukasi.com, OPINI-– Guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa. Seluruh dunia pun telah mengakui hal itu. Ketika Jepang mengalami kehancuran setelah Amerika mengirim bom atom ke Hiroshima dan Nagasaki di tahun 1945, profesi pertama yang dikumpulkan kembali oleh negara matahari terbit itu adalah guru. Posisi guru amatlah mulia di mata masyarakat. Begitu pula dalam Islam, senantiasa ditekankan untuk menghargai dan memuliakan guru.

Sayangnya saat ini, profesi guru tampaknya tak lagi dihargai. Terbukti dengan banyaknya kasus menyedihkan yang menimpa para guru, baik honorer maupun bukan. Sebagian besar penyebabnya tentu diakibatkan oleh sistem Kapitalisme yang menjadi landasan negeri ini.

Salah satu kasus utama terkait guru yang sedang trending baru-baru ini adalah mengenai pensiunan guru TK di Sungai Bertam, Kecamatan Jaluko, Muaro Jambi, yang diminta mengembalikan uang gaji dan tunjangan hingga Rp 75 juta. BKD menganggap ada kelebihan bayar selama 2 tahun akibat kelalaian guru tersebut (TribunJambi.com, Selasa, 02/07/2024).

Sementara itu, Kompas.com, (Selasa, 14/05/2024) melansir berdasarkan catatan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), di akhir April 2024, guru menjadi kelompok profesi terbesar yang terjerat pinjaman online (pinjol) sebesar 42 persen. Banyaknya guru yang terjerat pinjol ini menjadi keprihatinan tersendiri oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbud Ristek). Solusi yang ditawarkan Kemendikbud ada dua terkait masalah ini, yakni pertama Kemendikbud melalui Ditjen GTK terus mendorong upaya optimalisasi pembukaan formasi guru ASN PPPK 2024 untuk peningkatan kesejahteraan guru di Indonesia. Kedua, Ditjen GTK akan berkoordinasi dengan para pemangku kepentingan dan Dinas Pendidikan terkait upaya peningkatan literasi keuangan para guru di seluruh Indonesia.

Berita lainnya, seperti dilansir detik.com (Selasa, 21/05/2024), Lembaga Riset Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS) dan GREAT Edunesia Dompet Dhuafa pada Mei 2024 melakukan survei terhadap 403 guru di 25 provinsi Indonesia terkait upah yang mereka dapat. Hasilnya menunjukkan bahwa sebanyak 74 persen responden memiliki gaji di bawah Rp 2 juta dan sebagian lagi di bawah Rp 500 ribu. Artinya gaji mereka masih di bawah Upah Minimum Kabupaten-Kota (UMK) 2024 terendah, dengan patokan terendah yakni kabupaten Banjarnegara dengan UMK sebesar Rp 2.038.005.

Sebanyak 89 persen guru mengaku gaji mereka pas-pasan. Meski telah melakukan pekerjaan sampingan selain menjadi guru, banyak guru yang mengaku pendapatannya belum cukup. Bahkan tercatat 79,8 persen guru mengaku memiliki utang.

Alhasil, fakta-fakta yang telah dibeberkan di atas telah menyampaikan betapa mirisnya kondisi profesi guru di bawah sistem Kapitalisme hari ini. Apalagi dengan kurikulum “Merdeka Belajar” yang diimplementasikan hari ini, benar-benar membuat guru mengalami tingkat stres yang lebih tinggi dibandingkan profesi lain. Padahal guru adalah sosok yang layak digugu dan ditiru. Masa depan generasi muda ada di pundak para guru yang tanpa kenal lelah mentransferkan ilmu pengetahuan dari masa lampau hingga ke masa kini. Sehingga problematika para guru hari ini sungguh membutuhkan sistem sahih yang mampu mengatasi seluruh penyebab stres mereka.

Seperti kasus bu Asniati di atas, betapa zalim bagi pemerintah untuk menagih kembali gaji yang telah dibayarkan kepada seorang guru yang telah mengabdikan dirinya untuk mengajar selama bertahun-tahun. Ini membuktikan ketidakseriusan dan ketidakpedulian pemerintah dalam mengurus masyarakat terutama dalam bidang pendidikan. Sementara terkait solusi untuk banyaknya guru yang menjadi korban pinjol, pemerintah pun memberikan dua solusi yang justru sama sekali tidak bisa mencabut akar permasalahan para guru di negeri ini.

Perekrutan ASN PPPK bukanlah solusi tuntas problematika para guru. Untuk sebagian besar guru yang berhasil direkrut menjadi ASN mungkin akan menjadi sejahtera untuk sementara waktu, namun hal ini pun tidak menjadi jaminan selesainya problematika tersebut. Survei muslimahnews.net membuktikan bahwa masih banyak guru di berbagai daerah yang tidak mungkin menjadi ASN PPPK akibat berbagai kendala. Artinya, menjadikan guru sejahtera dengan solusi perekrutan ASN PPPK bisa jadi hanyalah waham semata.

Demikian pula dengan solusi kedua. Upaya peningkatan literasi keuangan para guru mungkin hanya akan berdampak pada sebagian kecil guru saja. Sebab hal yang menyebabkan guru rata-rata menjadi pelanggan pinjol adalah tidak idealnya pendapatan yang diperoleh. Termasuk setelah bekerja sampingan sekalipun pendapatan mereka masih belum cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Tentunya hal ini pun terutama dirasakan oleh para guru honorer yang memperoleh pendapatan di bawah UMK terendah. Sehingga memang ada kesenjangan antara gaji pokok guru ASN dengan honorer terutama di daerah. Untuk problematika terkait hal ini, pemerintah masih belum memberikan solusi yang tepat, bahkan jauh dari kata tuntas.

Posisi guru dan pendidikan di mata sistem kapitalisme demokrasi sekuler hari ini tidak lain daripada pion pencari keuntungan semata. Pendidikan semata-mata berorientasi kerja setelah lulus dari kurang lebih enam belas tahun pendidikan. Otomatis posisi guru hanya menjadi pekerja rodi pengasuh siswa hingga mereka mencapai usia kerja. Tanpa mampu mendidik sesuai aqidah islamiyah maupun menanamkan adab yang benar kepada mereka.

Hal seperti ini bisa terjadi dikarenakan konsep utama yang digunakan untuk membuat segala aturan pendidikan saat ini berlandaskan pada sekularisme, yakni tidak adanya campur tangan Allah Ta’ala/Sang Pencipta dalam kehidupan di luar ritual agama, termasuk pendidikan. Sekularisme telah menyebabkan pendidikan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan ilmu ataupun materi. Sehingga kurikulum yang dihasilkan pun jauh dari Islam, hanya berfokus pada keuntungan semata. Berujung pada tidak adanya keberkahan ilmu yang diperoleh baik oleh para guru maupun siswa, seperti pada penggalan hadits berikut ini:

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam bersabda, “Siapa menuntut ilmu yang seharusnya ditujukan hanya mengharap wajah Allah ‘Azza wa Jalla, namun ternyata ia tidak menuntut ilmu kecuali untuk mendapatkan sedikit dari kenikmatan dunia, maka ia tidak akan mencium bau surga pada hari kiamat.” (HR Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Ibnu Hibban, Shahih Ath-Targhib, no 105)

Guru hari ini dituntut untuk mampu kreatif demi pendidikan siswa, namun siswa dibiarkan bebas terkontaminasi pemikiran rusak liberal sekularisme di luar sekolah dan rumah. Sungguh, posisi guru saat ini bagaikan buah simalakama. Mengambil langkah disiplin terhadap siswa salah, namun membiarkan siswa berjalan sendiri di tengah liberalisme dan pendidikan berorientasi kerja pun salah. Guru seolah berjuang sendirian tanpa dukungan, baik dari pemerintah, sistem Kapitalisme sekuler yang membiaskan tujuan pendidikan, maupun dari siswa dan orang tua siswa yang juga tidak memahami fungsi pendidikan di sekolah. Wajarlah jika keberkahan ilmu hari ini telah lenyap bersama dengan hilangnya kemuliaan guru di bawah gempuran Kapitalisme sekuler.

Islam memiliki pengaturan tersendiri terkait pengupahan pekerja. Hukum syara telah menjelaskan bahwa pekerja (ajir) adalah orang yang bekerja dan mendapat upah atas hasil kerjanya itu atau gaji. Guru pada dasarnya sama dengan pekerja yang dipekerjakan dan wajib diupah oleh negara. Sehingga terhadap guru bisa diberlakukan hukum ijarah seperti sabda Rasulullah saw yang diriwayatkan Ad-Daruquthni, dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu:

“Apabila salah seorang di antara kalian mengontrak seorang pekerja, hendaknya ia memberitahukan upahnya kepadanya.”

Cara penentuan standar gaji pekerja atau pegawai dalam Islam ini berbeda dengan standar sistem Kapitalisme yang menggunakan UMR (upah minimum regional) sebagai batas taraf hidup terendah masyarakat sehari-hari (living cost). Islam menghargai manfaat tenaga maupun jasa yang diberikan oleh pegawai. Sehingga penentuan upah akan dilakukan oleh seorang ahli yang mampu menentukan upah. Bukan oleh Khalifah atau negara, bukan pula oleh budaya atau kebiasaan masyarakat.

Jasa guru dan tenaga pengajar lainnya amatlah berharga di dalam Islam. Karena peran mereka sangat penting dalam mendidik siswa sebagai generasi muda yang akan menjadi pilar peradaban masa depan. Mencurahkan waktu dan tenaga bukan saja untuk mentransfer ilmu, namun juga melakukan pembentukan karakter sekaligus mengajarkan adab yang baik kepada murid-muridnya. Oleh karena itu, gaji guru di masa kekhalifahan Islam dahulu sungguh luar biasa. Tentu tidak sebanding dengan di masa sekarang. Pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab, setiap guru digaji sebesar 15 dinar per bulan (jika harga emas per gram Rp 1 juta, maka 15 dinar sama dengan Rp 63,75 juta). Apalagi tidak akan ada perbedaan antara guru pegawai tetap atau honorer seperti saat ini. Islam menjamin setiap guru mendapat upah dan tunjangan yang layak sesuai beban kerja mereka.

Selain gaji tersebut, sistem Islam juga telah menjamin kebutuhan hidup masyarakat yang umum secara gratis. Seperti biaya penelitian pendidikan dan kesehatan. Sehingga guru tidak perlu menghabiskan gajinya demi biaya-biaya tersebut. Negara tidak perlu takut akan kehabisan uang karena biaya untuk menggaji setiap pegawai negara akan berasal dari Baitul Mal.

Ketika guru digaji dengan layak dan sesuai haknya, maka pasti mereka pun akan berupaya sebaik mungkin untuk melaksanakan tugasnya sebagai pengajar dan pendidik. Secara otomatis tingkat stres yang dialami para guru akan berkurang bahkan akan turun hingga ke tingkat minimal dan kasus penagihan kembali gaji seperti kasus Bu Asniati tidak perlu terjadi. Para guru pun akan mampu menghidupi keluarga mereka secara layak dan tidak perlu mencari pekerjaan sampingan apalagi sampai berhutang pada pinjaman online (pinjol) demi memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Selain permasalahan upah, negara juga memiliki kewajiban untuk menjadi pengurus umat (raain) yang harus menjamin pendidikan dengan standar Islam. Oleh karena itu, menjadi kewajiban bagi negara untuk meringankan beban guru dan tenaga pengajar lainnya dengan membuat atau menghadirkan kurikulum yang sahih sesuai dengan tujuan pendidikan di sistem Islam. Sebab hanya dengan cara inilah maka pendidikan akan benar-benar tersampaikan kepada generasi.

Oleh karena itu, sistem pendidikan Islam adalah satu-satunya sistem yang mampu menopang antusiasme dan semangat para guru dalam perjuangan mencerdaskan umat. Kurikulum shahih yang diselenggarakan oleh sistem Islam akan mampu mengarahkan siswa kepada jalan takwa yang senantiasa mendekatkan diri mereka kepada Allah. Sehingga di sistem inilah, guru akan mampu menunjukkan performa terbaiknya sebagai pendidik generasi. Sebab seluruh jerih payah dan perjuangan mereka telah dijanjikan bayaran langsung di akhirat oleh Sang Penguasa Alam, Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dengan sistem ini pulalah guru tak perlu merasa berjuang sendirian, sebab segala stres yang mereka derita telah diringankan oleh negara Islam secara langsung.
Namun sistem pendidikan Islam ini hanya akan terlaksana di bawah Institusi Negara Khilafah Islamiyah dan tidak akan pernah terlaksana di bawah sistem Kapitalisme sekuler demokrasi seperti saat ini. Wallahu’alam bisshawwab.

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 24

Comment here