A Short Story’ by Sherly Agustina, M.Ag
Blurb:
Mengejutkan dan tiba-tiba, ibunda Safia menghembuskan napas terakhir. Padahal tadi malam, Safia dan keluarga masih melihat ibundanya mulai bisa bicara kembali setelah lama tak mampu bicara. Tentu saja membuat Safia senang karena harapan itu masih ada.
Sofia harus merelakan kepergian belahan dan tumpuan hati yang darahnya telah mengalir ke seluruh tubuhnya, mendidik Safia kecil hingga menjadi seorang ibu dan penulis. Asa yang melayang, harus sadar di bawah takdir-Nya. Bahwa ketentuan-Nya adalah yang terbaik.
Teringat saat almarhumah sering keluar rumah sakit karena HB-nya tiba-tiba rendah. Saat dalam lamunan, telepon berdering. Saat telepon diangkat, seseorang di seberang sana bertanya, “Katanya, ibundamu meninggal tak wajar?”
Sontak Safia bergetar, sedang berduka ada pertanyaan tak biasa.
*
Prang!!!
Tiba-tiba piring terjatuh di dapur.
“Tak ada hujan tak ada angin, kok hati berdebar tak menentu. Sejak menyiapkan hidangan untuk buah hati, pikiran melayang tak karuan. Ada apa, ya?” tanya Safia dalam hati.
“Astaghfirullah ….”
Selesai memasak, Safia ke kamar lalu melihat HP-nya. Ternyata ada pesan dari adik iparnya, Safira.
[Teh, Mamah dan Bapak ke RS. Sebelum ke RS sempat menanyakan teteh dan cucunya.]
Tak terasa ada bulir-bulir air mata menetes. Ya Allah, pantas hati ini tak tenang ternyata Bunda sakit dan ingin segera bertemu. Tiba-tiba Safia terbayang, bagaimana jika ini pertemuan terakhir dengan sang ibunda?
“Astaghfirullah.” Safia beristigfar di dalam hati.
Safia langsung mengirim pesan pada sang suami,
[Sayang, neneknya anak-anak di RS, kapan kita nengok?]
[Pandemi gini bingung ke RS-nya apalagi bawa anak-anak, liat nanti sore, ya.]
Pesan balasan Safia terima dari sang suami.
“Ya Allah, mudahkanlah hamba bertemu dengan Bunda di kala pandemi ini.” Safia berdoa dalam hati.
Tak lama, HP Safia berdering. Safia lekas mengangkat panggilan itu dan terdengat suara parau, lemah tak berdaya di seberang.
“Safia sayang, ke sini ya, pokoknya harus ke sini segera.”
Telepon dari sang bunda membuat makin menjadi gemuruh di dadanya. Tak sabar ingin segera melihat sang bunda di RS.
Tak terasa hari sudah sore, suami Safia terpaksa mengizinkan walau kondisi sulit dan rumit. Safia dan keluarga kecilnya langsung pergi ke RS, anak-anaknya dengan sang suami menunggu di loby karena anak kecil tak boleh masuk ruang pasien.
“Bunda sakit apa, Pak?” tanya Safia.
“Seperti biasa, HB rendah lagi. Bapak sudah usahakan dapat donor darah untuk transfusi. Semoga cepat, katanya malam ini,” jawab bapak Safia.
“Alhamdulillah, semoga tidak terjadi apa-apa. Bunda diam aja ya, ga bisa ngapa-ngapain? Padahal tadi masih bisa nelfon,” tanya Safia penasaran karena tubuh bundanya terbujur lemah tak berdaya, tak dapat bicara, makan, dan membuka mata.
“Sejak Magrib tiba-tiba seperti itu, Bapak juga ga ngerti.” Bapak menjelaskan sambil berlinang air mata, ada gurat kesedihan yang mendalam. Ada rasa letih yang disembunyikan, seakan-akan yang lain tak boleh tahu cukup dia saja yang tahu. Kasih sayangnya pada sang istri tercinta sungguh luar biasa, ini yang ke sekian kalinya bunda Safia masuk RS dan bapaknya sering tidak memberi tahu karena takut merepotkan anak-anaknya.
Bapak Safia seorang suami yang setia menjaga dan melayani istrinya dengan baik. Sungguh, kekasih sejati yang membuat siapa pun iri melihatnya tak terkecuali Safia, anaknya.
“Bunda, makan yuk, ini ada buah. Buka, yuk matanya, ini ada Safia, ada cucu Bunda di luar. Coba video call, ya.” Safia mencoba berkomunikasi dengan bundanya. Tiba-tiba air mata mengalir di ujung bola mata sang bunda, seakan-akan merespons ucapan Safia.
“Allah … kuatkan Bunda, Bapak, dan kami semua,” doa Safia dalam hati. Mencoba memberikan air ruqyah yang dibuat sebelum ke RS. Tak lama, transfusi bisa dilakukan. Sementara hasil lab, pihak RS akan memberi tahu besok.
Malam itu, Safia tak bisa menginap di RS karena kasian dengan anak-anak. Sebelum pulang, dia berembug dengan adik dan bapaknya.
“Kalau besok hasil lab keluar, bapak akan segera kabari dan jika pihak RS tidak bisa menangani terpaksa Bunda dibawa ke kampung halaman di Pandeglang,” ucap bapak Safia.
Kemudian Safia pamit pulang. Sesampainya di rumah, Safia istirahat. Hatinya tak tenang dengan hasil lab besok. Namun, karena cabai akhirnya Safia tertidur pulas.
Esok pagi, bapak Safia memberi kabar,
“Bunda harus cuci darah, ginjalnya bermasalah. Dokter bilang, ‘Jika keluarga tak berkenan silakan pulang dan pihak RS tak akan bertanggung jawab.'” Suara di ujung telepon memberi kabar.
“Innalillahi … sejak kapan Bunda ada penyakit ginjal? Selama ini yang Safia tahu bundanya susah makan, yang masuk akal adalah mag kronis. Semua hal berkecamuk di otaknya, Safia tak bisa berpikir jernih. Terbayang risiko dari cuci darah. Jika tidak melakukan cuci darah, bagaimana nasib sang bunda ke depannya.
Bapak Safia kembali memberi kabar, bahwa bundanya terpaksa dibawa ke Pandeglang karena di sana ada saudaranya yang bisa dimintai tolong merawat bundanya. Kalau terjadi sesuatu, semasa hidup bundanya pernah berpesan ingin dimakamkan di sana. Akhirnya Safia segera siap-siap menyusul bunda dan bapaknya ke sana.
Safia memberi kabar pada suaminya dan suaminya mengiyakan untuk menyusul keluarga istrinya itu. Bahkan berencana ambil cuti dadakan. Perjalanan dari rumah Safia ke Pandeglang kira-kira 3 jam. Sangat jauh, tapi untuk ibunda tercinta, Safia rela menempuh jarak sejauh itu.
Bapak Safia tiba di sana lebih awal, kondisi bundanya tambah buruk. Jika dijelaskan mungkin seperti orang yang sedang berjuang menahan rasa sakit karena malaikat maut akan menjemput. Bapak Safia menelepon kembali, agar Safia segera sampai.
“Teh, Bunda kritis, cepat, ya.”
Hati Safia tambah waswas tak karuan, perjalanan masih jauh. Sepanjang jalan Safia berzikir memohon keajaiban.
“Ya Allah. Bantu hamba, sembuhkan Bunda.” Safia berdoa lirih
Begitu sampai, Safia tak bisa menahan air matanya. Tiba-tiba mata sang bunda perlahan terbuka, padahal di RS tak bisa apa-apa. Tatapannya mengisyaratkan akan menitipkan sesuatu, namun tak bisa berkata apa-apa. Semua yang berkumpul menangis, haru dan saling memeluk.
“Ya Allah … jika memang sudah waktunya hamba pasrah dan ikhlas.” Safia bicara dalam hati.
“Kalau mau pergi, pergi aja jangan merasa beban. Semua urusan yang belum selesai, nanti dibantu untuk diselesaikan.” Uak Safia berbicara pada bundanya.
Di sisi lain, kain dan semua yang dibutuhkan untuk seorang yang akan meninggal sudah disiapkan. Sengaja Safia membawa baju ganti banyak, prepare jika terjadi sesuatu pada bundanya. Malam itu bunda Safia terpejam, dari dengkurannya seperti orang normal. Aneh. Bapak masih berharap ada keajaiban, terus berdoa minta pada Allah agar bundanya bisa bicara kembali dan membuka matanya. Tak lama, tiba-tiba sang bunda membuka mata kembali sambil menatap bapaknya begitu dalam dan penuh makna.
Seakan-akan berpesan,
“Wahai kekasih hati, titip anak dan cucu. Doakan dan ikhlaskan istrimu yang lemah tak berdaya ini.”
Safia tak tega melihatnya. Saking senang bapaknya memberi bundanya minum. Alhamdulillah, sang bunda mau walau sedikit.
Beberapa hari setelah kondisi menegangkan itu, atas izin-Nya kondisi bunda Safia agak membaik di luar dugaan. Safia dan keluarga besar bersyukur dan senang, walau belum bisa makan normal dan dibantu infus yang dipasang mantri kampung dan dipanggil khusus ke rumah bibi Safia.
Jika kondisi bunda Safia semakin membaik, rencananya esok akan dibawa pulang ke rumahnya di Anyer. Bundanya sudah bisa memanggil, “Pak ….”
Kemudian, tersenyum pada cucunya.
Tiba-tiba bibi Safia kerasukan, tertawa dengan keras. “Huahaaahaaa … akhirnya saya bisa membuat dia tak berdaya, tinggal selangkah lagi tunggu saja.” Suara dari tubuh sang bibi. Segera Ahmad, adik Safia, diibantu yang lain meruqyah sang bibi. Keluarga Safia terbiasa meruqyah, kalau tidak bundanya, ya, bibinya yang sering kerasukan. Makhluk yang berada di tubuh bibinya mengatakan bahwa dia menginginkan nyawa bunda Safia karena dendam. Tentu Safia dan keluarganya tak mudah percaya karena banyak sekali tipu daya setan.
Lumayan lama sang bibir kerasukan dan terjadi dialog yang alot. Akhirnya makhluk itu mengatakan,
“Ampuuun … ampuuun.”
Lalu suara itu menghilang.
Bagi keluarga Safia, apa pun yang terjadi adalah bagian dari kehendak-Nya. Jika Allah tak berkehendak, maka tak akan terjadi. Tugas manusia beriman kepada Allah dan melakukan apa yang bisa dilakukan.
Agar benar-benar tuntas, malam itu adik Safia membawa ahli ruqyah untuk membantu. Kebetulan orang tersebut teman bundanya Safia.
“Insya Allah mamah segera pulih,” ucap orang tersebut.
Safia dan keluarganya mengaminkan dan mengucapkan terima kasih. Alhamdulillah, sang bunda makin membaik walau masih lemah tak berdaya. Malam itu, keluarga Safia menemani sang bunda yang sakit perut luar biasa. Buang air besar berkali-kali hingga beberapa kali harus ganti diaper. Karena lelah, Safia sekeluarga tertidur pulas.
Saat Safia bangun, azan subuh sudah berkumandang. Sang bunda seperti merasakan sesak di dada, Safia pun kaget. Sementara di sana ada bapak dan adiknya Safia.
“Bunda kenapa?” tanya Safia.
“Nggak tahu dari malam begini,” jawab bapak Safia.
“Bukannya tadi malam Bunda tidur pulas setelah pup?” Safia bertanya kembali.
“Ngga, begini dari malam, pas tengah malam Bapak terbangun.” Bapaknya menjawab, terlihat gelisah dan cemas.
Safia panik, segera minta adiknya menelepon Mantri yang kemarin. Tapi ternyata sulit, banyak kendala.
“Ya Allah, apakah ini sudah waktunya? Jika iya, hamba hanya bisa pasrah,” ucap Safia lirih.
Safia dan adiknya tak henti mengaji dan mendoakan bundanya. Tak lama, bunda Safia tidak lagi merasa sesak. Safia kaget dan bertanya pada adiknya,
“Coba cek nadi dan detak jantungnya?”
“Udah nggak ada …,” jawab adik Safia pasrah.
“Innalillahi … kami pasrah jika ini sudah takdir indah dari-Mu. Bunda, selamat jalan, tenang di sana. Kami semua menyayangimu,” ucap Safia.
Hari itu bunda Safia dimandikan dan anak-anaknya ikut memandikan, lalu disalatkan. Tak disangka yang menyalati banyak sekali hingga jemaah sampai ke luar masjid.
Siangnya, dimakamkan seperti pesan bundanya semasa hidup jika ingin dimakamkan di kampung halamannya.
“Entah, apakah air mata ini sudah kering, kepala rasanya mau pecah. Lelah dan sedih yang tak terkira semua bercampur aduk, tapi harus tunduk di bawah takdir Sang Maha Pemberi Hidup dan Mati,” lirih Safia.
Di atas pusara bundanya, Safia bersimpuh memohon ampun pada-Nya. Memohon maaf pada sang bunda yang telah tiada, maafkan Safia ….
**
Sepulang ziarah, telepon Safia berdering. Seseorang meneleponnya, yang ternyata saudara Safia.
“Turut berduka cita, ya. Katanya, ibundamu meninggal tak wajar?”
Sontak Safia bergetar, sedang berduka ada pertanyaan tak biasa. Berusaha menjawab dengan tenang walau sedang berduka,
“Terima kasih bela sungkawanya, mohon maaf itu tidak benar. Mohon doanya dan saya mewakili Bunda mohon maaf jika ada salah dan khilaf. Kematian itu pasti, semua takdir illahi. Kita hanya bertugas beriman dan mempersiapkan diri untuk bertemu Rabbul ‘Izzati,” ucap Safia dengan tegas.
The End
Views: 13
Comment here