Oleh : Ummu Kahfi
wacana-edukasi.com, SURAT PEMBACA– Negeriku sedang tidak baik-baik saja. Bencana alam terus mengintai negeriku. Seperti baru-baru ini, terdapat bencana lahar dingin Semeru yang mengakibatkan sekitar 493 jiwa harus mengungsi. Ribuan rumah di Sumbawa terendam banjir. (www.cnnindonesia.com)
Hujan sejak Kamis malam hingga Jumat (6-7/7/2023) pagi mengakibatkan banjir dan longsor di beberapa titik di wilayah selatan Kabupaten Malang, Jawa Timur. Jalur selatan Malang-Lumajang putus akibat longsor yang kemudian disusul putusnya jembatan di perbatasan kedua daerah itu. Data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Malang menyebutkan, banjir, antara lain, melanda Desa Sitiarjo dan Sidoasri di Kecamatan Sumbermanjing Wetan serta Desa Pujiharjo di Kecamatan Tirtoyudho. Sementara longsor terdapat di Desa Lebakharjo, Kecamatan Ampelgading. (www.kompas.id.com)
Realita ini, seharusnya mampu membangun sikap mental tanggap bencana pada diri semua pihak. Khususnya para penguasa yang menjadi pengurus rakyat. Namun, sayangnya, setiap terjadi bencana penguasa nyaris selalu terbelakang. Pada banyak kasus, pemerintah kalah cepat dengan LSM, ormas, atau masyarakat biasa.
Adapun bantuan dari penguasa sering kali datang belakangan, hingga nyaris tak menyentuh persoalan rakyatnya. Anehnya lagi, penguasa justru menjadikan turun lapangan sebagai bagian dari membangun citra diri juga partainya, menuju jelang pemilu tiba. Karenanya, banyak masyarakat yang lebih memilih untuk tidak terlalu berharap banyak pada penguasa.
Mitigasi Seadanya Buah dari Penerapan Sekuler-Kapitalis
Bencana yang hadir di negeri ini, banyak menelan korban. Banyaknya korban menunjukkan mitigasi tidak benar-benar berjalan dan terkesan seadanya. Seperti bencana yang sudah lama terjadi pada Aceh atau gempa dan likuifaksi di Palu-Donggala, Sulawesi Tengah menjadi salah satu peringatan atas banyaknya korban jiwa. Termasuk korban selamat pun harus hidup di pengungsian selama bertahun-tahun tanpa harapan bisa memperoleh tempat hunian yang layak dan nyaman. Begitu pun kondisi di daerah lainnya yang terkena atau terdampak bencana, umumnya masyarakat menyelesaikan persoalannya secara swadaya. Sedangkan penguasa menolong seadanya, dan berkilah dengan alasan kekurangan dana.
Inilah potret mitigasi dalam sistem sekuler-kapitalis. Kentalnya paradigma pembangunan sekuler-kapitalis menjadikan para penguasa tidak memiliki keinginan serius dalam menyolusi kebencanaan sejak dari akarnya. Bahkan, sering kita dapati banyak kebijakan penguasa yang justru menjadi penyebab munculnya bencana hingga berpotensi mendatangkan bencana baru berikutnya.
Seperti contohnya, penggundulan hutan dan alih fungsi lahan terutama di zona penyangga (hutan) hingga Walhi menyebut 35 persen hutan kita rusak, bahkan hilang. Juga proyek-proyek industrialisasi di berbagai daerah, pembangunan fisik yang terus dilakukan tanpa menimbang lahan tersebut termasuk resapan air atau bukan, serta penanganan daerah aliran sungai yang timbul tenggelam, dan sebagainya. Semuanya kebijakan ini dibuat, tentu karena keberpihakan penguasa kepada kepentingan para pemilik modal.
Keseriusan dalam Membangun Mitigasi hanya Ada dalam Sistem Khilafah
Mitigasi adalah upaya untuk mencegah terjadinya bencana, sekaligus menghindarkan atau mengurangi dampak dari bencana. Hal yang mendasar yang seharusnya di lakukan pertama kali oleh penguasa adalah dengan cara menerapkan kebijakan yang tidak merusak lingkungan dan tidak membiarkan hal-hal yang bisa mengundang azab Allah Swt.
Allah Swt berfirman :
“Dan apabila dikatakan kepada mereka, ‘Janganlah berbuat kerusakan di bumi!’ Mereka menjawab, ‘Sesungguhnya kami justru orang-orang yang melakukan perbaikan.’” (QS Al-Baqarah: 11)
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS Ar-Rum : 41)
Dalam hal penetapan kebijakan yang akan menolak kepentingan para pemilik modal dan segala maksiat yang akan mengundang azab Allah, tentu hanya akan didapatkan pada sistem Khilafah saja. Sebab hanya dalam sistem Khilafahlah, setiap kebijakan akan dikembalikan kepada hukum syara. Termasuk dalam pengelolaan alam (SDA), Syariat menetapkan untuk pengelolaan SDA adalah kewajiban negara dan hak bagi seluruh masyarakat. Para pemilik modal tidak boleh memiliki dan mengelola SDA secara pribadi. Jadi tidak akan ada lagi, pembangunan atau pengalihan fungsi lahan yang menjadi sebab awal muncul bencana.
Wallahu’alam bi shawwab
Views: 16
Comment here