Oleh : Halizah Hafaz Hutasuhut S.Pd (Aktivis Dakwah dan Praktisi Pendidikan)
wacana-edukasi.com, OPINI– Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara menjadi tuan rumah pembekalan bela negara Pertukaran Mahasiswa Merdeka Program Kesadaran Bela Negara. Seperti yang dikutip dalam instagram umsumedan, acara ditandai dengan kuliah umum Kapusdiklat Kementerian Pertahanan RI, Brigjen TNI Ketut Gede Wetan Pastia yang digelar di auditorium kampus UMSU, Jalan Kapten Mukhtar Basri, Medan, Selasa (1/11). Kuliah umum diikuti sekitar 390 mahasiswa yang berasal dari Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara, Universitas Prima Indonesia dan Universitas Panca Budi.
Program Pertukaran Mahasiswa Merdeka merupakan program pertukaran mahasiswa selama satu semester dari satu klaster daerah ke klaster daerah lainnya yang memberikan pengalaman kebhinekaan dan sistem alih kredit maksimal sebanyak +/- 20 sks. Program Pertukaran Mahasiswa Merdeka ini menampilkan invovasi baru salah satunya dengan modul nusantara yang berisi empat rangkaian kegiatan yaitu kebhinekaan, inspirasi, refleksi dan kontribusi sosial. Program Pertukaran Mahasiswa Merdeka merupakan bagian dari kebijakan Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM). Pada program ini, mahasiswa diberi kesempatan untuk mengikuti perkuliahan secara langsung di universitas lain antarpulau di seluruh Indonesia dengan dana (UKT, biaya hidup, akomodasi, dan transportasi) sepenuhnya ditanggung oleh Dikbud.
Program MBKM yang diusung Mendikbud-Ristek Nadiem Makarim ini merupakan bukti dari program moderasi beragama sebagai upaya deradikalisasi dikalangan pemuda. Sebab menurut Nadiem, moderasi beragama sangat penting diajarkan karena termasuk salah satu dari tiga “dosa besar pendidikan” di Tanah Air adalah intoleransi beragama. Dengan adanya program pertukaran mahasiswa merdeka yang termasuk bagian dari MBKM akan mengenalkan mahasiswa kepada ajaran agama lain sehingga tidak menganggap agamanya paling benar. Nadiem sebagai pengusung moderasi beragama di lingkup pendidikan, semakin terlihat kebijakan sekulernya (memisahkan agama dari kehidupan) ketika menetapkan peta jalan pendidikan nasional.
Pada draft Peta Jalan Pendidikan Indonesia 2020-2035 yang dikeluarkan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, hilang kata “agama” dari draft visi pendidikan Indonesia tersebut. Ini menjadi perhatian serius. Islam seharusnya dijadikan faktor mendasar bahkan esensial dalam pendidikan di Indonesia. Padahal ketika melihat pendidikan sekuler yang telah lama diterapkan di negeri ini nyatanya gagal membawa nilai-nilai kebaikan. Sungguh miris membayangkan para pemuda, generasi calon pemimpin umat jauh dari nilai-nilai Islam dan tidak mengenal ajaran Islam. Mereka akan menjadi generasi berkarakter moderat, yaitu inklusif, toleran dan sekuler.
Generasi inklusif adalah generasi yang tidak mau atau enggan menampakkan keislamannya karena tidak ingin dianggap beda dengan lingkungan sekitarnya. Generasi moderat akan sangat toleran terhadap kemaksiatan. Bersikap tidak peduli dengan kerusakan dan kemaksiatan disekitarnya. Mereka menjadi pribadi-pribadi yang individualis dan minimalis. Padahal karakter seorang muslim yang dituntut Islam adalah peka ketika melihat kemaksiatan. Sebagaimana yang tertuang dalam HR. Muslim, “Jika diantara kamu melihat kemungkaran maka ubahlah dengan tanganmu, dan jika kamu tidak cukup kuat untuk melakukannya, maka gunakanlah lisan, namun jika kamu masih tidak cukup kuat, maka ingkarilah dengan hatimu karena itu adalah selemah-lemahnya iman.”
Sekali lagi, moderasi agama khususnya moderasi Islam adalah upaya Barat melemahkan kaum muslimin dengan cara menjauhkan mereka dari pemahaman Islam yang lurus dan benar. Itupun yang mereka lakukan diakhir masa Daulah Utsmaniyah. Dengan lemahnya umat dari pemahaman Islam maka lemah pula dalam menjaga daulah. Hingga ketika daulah hancur dan posisi kepemimpinan digantikan langsung oleh kapitalis Barat, barulah mereka tersadar. Dan jalan yang ditempuhpun sama, menyasar kalangan muda dengan merusak pemikiran dan nilai-nilai Islam yang dianutnya.
Dengan nilai-nilai yang ditanamkan oleh Barat, umat khususnya para pemuda yang akan menjadi pemimpin masa depan, akan kehilangan jati dirinya. Visi akhirat hilang, misi menjadi umat terbaikpun sudah jauh dari pikiran. Capaian dunia di depan matalah yang ingin mereka raih. Dengan pandangan yang hanya berorientasi pada dunia saja, mudah bagi Barat membeli jiwa-jiwa mereka sehingga makin memudahkan Barat dalam menguatkan hegemoni mereka ditengah kaum muslimin.
Di sisi lain, moderasi beragama juga merupakan upaya depolitisasi yang menjauhkan Islam politik dari kehidupan. Umat dan kaum muda pun mencukupkan diri pada ibadah mahdloh semata (minimalis). Tidak peduli akan wajib dan butuhnya penerapan syariah dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Lebih miris lagi, mereka phobia terhadap ajaran Islam, turut menolak dan menghalang-halangi upaya penegakan syariah Islam kaffah dengan mengatasnamakan perang melawan radikalisme.
Padahal setiap muslim wajib meyakini Islamlah satu-satunya agama yang benar. Menganggap muslim yang meyakini hal tersebut sebagai muslim radikal dan ekstrem yang mengancam kerukunan, sama saja menuduh Islam sebagai ancaman. Tentu ini adalah tuduhan keji dan menyesatkan. Penerapan Islam kaffah dalam seluruh aspek kehidupan, baik oleh individu, masyarakat, maupun negara, telah Rasulullah praktikkan sejak beliau mendirikan Daulah (Negara) Islam yang pertama di Madinah.
Dalam kitab Syakshiyyah Islamiyah juz 2 dijelaskan bahwa Rasululah saw. menerapkan hukum Islam secara keseluruhan kepada semua warga negara Daulah tanpa pandang bulu, baik muslim maupun nonmuslim. Hanya saja, ada aturan private berupa keleluasaan kepada nonmuslim untuk melakukan hal hal terkait tata cara ibadah, pernikahan, dan makanan/minuman sesuai keyakinan agama mereka. Akan tetapi bagi Nasrani, misalnya, tidak boleh menyiarkan agama mereka sehingga tidak boleh ada simbol-simbol kenasranian seperti pohon Natal atau atribut keagamaan lainnya di tempat-tempat umum.
Hal itu karena mereka hidup di naungan Daulah Islam yang berdasarkan akidah Islam dan menjalankan syariat Islam. Tentu tidak mungkin agama selain Islam lebih menonjol atau setidaknya sama dengan Islam. Begitulah cara Islam menjaga dan melindungi agama dan keyakinan nonmuslim yang menjadi warga negara Daulah Islam yang disebut kafir dzimi. Mereka tidak diganggu dalam hal ibadah dan tidak dipaksa meninggalkan agama mereka. Rasulullah saw. memerintahkan untuk memperlakukan mereka dengan perlakuan baik. Di antara perlakuan tersebut adalah tidak boleh memfitnah agama mereka, membebani mereka dengan hanya membayar jizyah, serta tidak boleh mengambil harta mereka selain jizyah, kecuali disebutkan dalam syarat-syarat perdamaian.
Ini adalah bukti bahwa Islam adalah agama yang sangat toleran dan tidak mengancam siapapun, baik muslim maupun nonmuslim. Mengenai pendidikan, Islam memandang pendidikan sebagai penyangga peradaban sekaligus mekanisme untuk memastikan kelangsungan tersedianya kader-kader terbaik dalam jumlah yang besar. Pendidikan dalam Islam, termasuk pendidikan tinggi, diselenggarakan untuk mencetak generasi unggul yang berkontribusi untuk memberi manfaat sebesar-besarnya bagi umat. Potensi generasi diarahkan dalam mendukung terwujudnya Islam rahmatan lil ’aalamiin.
Kesadaran akidah generasi muslim akan dibangun agar anugerah potensi dan kelebihan yang Allah berikan menjadi amanah yang mendekatkan dirinya pada ridha Allah dan menjauhkan diri dari tujuan yang rendah, seperti sekadar mengejar eksistensi diri dan kebahagiaan dunia. Dengan demikian, sudah selayaknya kita menolak seluruh program moderasi beragama dalam pendidikan, karena selain mengaburkan syariat Islam yang agung, hal ini akan mengokohkan hegemoni Barat atas umat Islam. Wallahu’alam.
Views: 13
Comment here