Opini

Moderasi Islam Dalih Kukuhkan Sekularisme

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh: Ira Yuliana, M.Pd.

Beberapa waktu lalu dunia pendidikan dibuat ramai, setidaknya karena dua peristiwa. Jika sebelumnya dihebohkan terkait kasus jilbab di kota Padang, saat ini kembali masyarakat dihebohkan dengan kabar bolehnya guru nonmuslim mengajar di madrasah aliyah negeri (MAN) Tana Toraja, Sulawesi Selatan.

Pada dua kasus yang berbeda, tetapi jika kita menyimak berbagai pernyataan pejabat berwewenang terkait hal tersebut terdengarlah pernyatan yang mengemban spirit moderasi Islam. Hal ini kemudian menjadi menarik untuk kita analisis, mengapa akhir-akhir ini istilah moderasi beragama seolah-olah menjadi masalah pertama dan teramat penting mewarnai dunia pendidikan. Layak juga dipertanyakan mau dibawa ke mana arah pendidikan Indonesia ke depan?

Jika kita membuka kembali peraturan terkait tujuan pendidikan nasional menurut UU No. 20 Tahun 2003 pasal 3, salah satu tujuan pendidikan nasional adalah untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Spirit moderasi Islam dan beragama yang inklusif jelas-jelas bertentangan dengan tujuan pendidikan nasional ini.

Mencetak peserta didik yang bertakwa sebagaimana yang dikehendaki tentu dengan memahamkan dan mendorong peserta didik menjadi manusia yang taat. Peserta didik yang mampu menjadikan agama sebagai inspirasi dan juga aspirasi yang terlihat pada sikap dan berperilaku.

Seperti contoh pada kasus jilbab Padang, Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga menteri ini jelas bertentangan dengan tujuan Pendidikan Nasional. Meski seolah menciptakan “netralitas” dan “keadilan” dengan spirit moderasi Islam, tapi hakikatnya adalah menjauhkan pendidikan dari agama atau sering kita sebut juga dengan paham sekulerisme. Menjadikan jilbab pakaian muslimah yang diwajibkan oleh agama menjadi masalah pilihan individu dengan tidak membolehkan sekolah mewajibkan jelas adalah menanamkan sekularisme.

Meminjam kalimat KH. Cholil Nafis sebagai ketua bidang Dakwah dan Ukhuwah MUI, “mewajibkan yang wajib menurut agama Islam kepada pemeluknya saja tidak boleh. Lalu pendidikannya itu dimana?” Mewajibkan yang wajib yakni berjilbab bagi muslimah adalah bentuk pembiasaan dan pengetahun, dengan harapan kemudian menjadi kesadaran, dan ini jelas bagian dari pendidikan. Bayangkan pasca SKB tiga menteri ini guru agama Islam tidak dapat lagi mewajibkan peserta didik misalnya untuk menutup aurat saat mata pelajaran agama Islam.

Selanjutnya pada kasus yang kedua, penempatan salah satu guru PNS nonmuslim pada sekolah madrasah aliyah dengan alasan untuk mengajar mata pelajaran umum saja. Meski tidak bermasalah secara langsung dari materi pelajaran hal ini patut juga kita kritisi. Sebab guru hakikatnya bukan hanya sekadar menyampaikan materi tetapi juga sebagai pembentuk kepribadian.

Dibolehkannya guru nonmuslim mengajar pada madrasah aliyah negeri (MAN) menunjukkan bahwa kurikulum pendidikan MAN ke depan tidak lagi bersandar pada Islam dan khusus untuk membentuk peserta didik yang bertakwa serta berkpribadian Islam. Kurikulum pendidikan untuk membentuk kepribadian peserta didik yang bertakwa tidak lagi didukung oleh keberadaan guru yang mampu mewujudkannya. Lagi pada kasus ini kita melihat spirit sekularisme mewarnai dunia pendidikan saat ini.

Apa yang terjadi pada dua kasus di atas jelas tampak terlihat arah dan arus kebijakan dalam dunia pendidikan bernapaskan sekularisme. Dengan dalih moderasi Islam, inklusif beragama tampak upaya untuk semakin meminggirkan bahkan menafikan agama dari negara khususnya pendidikan dengan paham sekularisme. Padahal jelas sekularisme secara mendasar bertentangan dengan tujuan pendidikan nasional.

Jika kita bertanya mengapa hal ini dapat terjadi? Mengapa dunia pendidikan menjadi seperti ini? Jelas ini disebabkan negara ini semakin hari semakin kental dengan kapitalisme sekularisme. Sistem yang pada hakikatnya memang “mengharamkan” agama ikut campur dalam bernegara termasuk pendidikan. Jadi, mustahil tujuan pendidikan nasional dapat terwujud selama spirit yang diemban dan sistem yang diterapkan adalah sekularisme.

Jauh berbeda dengan sekularisme, Islam menjadikan aqidah sebagai asas pendidikan. Pendidikan bertujuan untuk mengukuhkan ketaqwaan dan mencetak generasi berkepribadian Islam. Kurikulum, metode pengajaran, penyiapan sarana dan prasarana, dalam sistem Pendidikan Islam harus terintegritas untuk mewujudkan hal ini. Seragam sekolah dan guru dalam hal ini kompetensi para pendidik pun demikian, akan dipastikan mendukung terwujudnya tujuan pendidikan. Pun jika ada mata pelajaran umum maka tidak berarti menjadi bebas nilai, tapi tetap hingga tingkat menengah atas harus berdasarkan aqidah Islam, perbandingan materi atau teori di luar Islam hanya akan diperoleh pada Perguruan Tinggi di mana peserta didik telah terbentuk ketaqwaan yang mumpuni hingga mampu membedakan mana teori yang salah dan mana yang benar.

Kebijakan terkait seragam sekolah akan memfasilitasi muslimah untuk semakin taat dengan menggunakan jilbab dan kerudung, hal ini akan diwujudkan dengan peraturan serta didukung dengan pemahaman hingga peserta didik akan memakainya dengan penuh kesadaran sebagai muslimah yang bertaqwa.

Maka dari sini jelaslah, bahwa hanya dengan sistem Islam peserta didik yang bertaqwa akan terwujud, tidak hanya bertaqwa tapi memiliki kepribadian Islam yakni pola pikir dan pola sikapnya mencerminkan Islam. Pada akhirnya kita juga memahami bahwa segala dalih dengan istilah moderasi Islam, inklusif beragama hanya akan mengukuhkan sekularisme dan merusak generasi bangsa.

Wallohualam bishowab

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 14

Comment here