Oleh : Umul Asminingrum, S. Pd. (Praktisi Pendidikan)
wacana-edukasi.com– Akhir-akhir ini konsep moderasi begitu gencar disuarakan. Konsep ini sudah merambah ke berbagai lini. Masuk ke berbagai departemen dengan membawa dampak yang cukup membahayakan bagi kemurnian ajaran Islam itu sendiri. Moderasi juga menyasar berbagai aspek hukum dalam Islam mulai dari akidah, fikih, politik dan lain sebagainya.
Berbagai diskusi dan pembahasan terkait Moderasi Beragama kerap dilakukan oleh ormas Islam. Seperti yang baru-baru ini dilakukan oleh PS IPP ITB-AD Jakarta dan Lazizmu bekerjasama dengan pimpinan cabang Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah kota Sungai Penuh, Jambi. Diskusi tersebut membahas bedah buku Zakat Untuk Korban Kekerasan Terhadap Terhadap Perempuan dan Anak, dimana secara spesifik membahas ‘Zakat Untuk Korban; Perspektif Pendampingan dan Lintas Iman’. Diskusi tersebut dilakukan secara Hybird dengan narasumber yang pusparagam, mulai dari lintas keilmuan, lintas generasi hingga lintas agama (Republika.co.id, 16/11/2021).
Yulianti Muthmainnah selaku ketua PS IPP ITB-AD Jakarta dan penulis buku menyampaikan, perlunya pembahasan mengenai hal ini sebagai upaya untuk mendorong lembaga-lembaga keagamaan yang berwenang mengeluarkan fatwa supaya zakat bisa dialokasikan kepada korban kekerasan terhadap perempuan dan anak. Ia beralasan bahwa kasus kekerasan seksual kerap banyak menimpa perempuan.
Penulis memandang bahwa hadirnya buku tersebut sebagai ijtihad kontemporer yang dibedah selama 16 minggu, dimana pada Jumat 16 November lalu memasuki seri pembedahan ke 12. Rangkaian pembedahan selama 16 minggu tersebut terinspirasi dari 16 minggu kampanye anti kekerasan perempuan.
Komisioner Komnas perempuan tahun 2010-2019 Sri Nurherwati, mengatakan bahwa lahirnya buku ini ibarat mengetuk pintu di tengah tantangan dan hambatan dalam melakukan pendampingan terhadap korban. Diantara tantangan dan hambatan tersebut adalah minimnya akses layanan hukum dan kesehatan. Sistem akses keadilan terhadap perempuan korban kekerasan seksual, dapat dimulai dari pengakuan hak dan akses perempuan korban memperoleh zakat. Selain berharap adanya terobosan hukum ia pun mengapresiasi adanya karya buku zakat.
Gagasan ini juga di dukung oleh Nevey V. Ariani selaku Direktur Posbakum Aisyiyah. Ia memaparkan bahwa zakat dan shalat merupakan sesuatu yang tidak bisa dipisahkan. Menurutnya, shalat menjadi sarana dan wujud hubungan antara manusia dengan Tuhan. Sedangkan zakat lebih pada hubungan antara sesama manusia.
Menurutnya korban kekerasan berhak mendapatkan zakat karena termasuk dalam kategori “riqab” atau orang-orang yang teraniaya. Sebagai seorang muslim di era saat ini kita tidak harus memaknai konsep “riqab” secara tekstual semata. “Riqab” dalam buku tersebut termasuk orang-orang yang tereksploitasi secara ekonomi. Sehingga korban eksploitasi seksual dapat dikategorikan sebagai “riqab” dan berhak menerima zakat.
Sekilas memang nampak bagus apa yang menjadi gagasan penulis tersebut. Namun, apakah solusi memberikan zakat kepada korban kekerasan perempuan dan anak, sebagai upaya dukungan moril serta jalan keluar terbebasnya kekerasan perempuan dan anak adalah solusi yang tepat?
Kapitalisme Induk Kekerasan Terhadap Perempuan
Sebagaimana diketahui bahwa sistem Kapitalisme-sekuler yang diterapkan di negeri ini melandaskan segala kebijakan dan hukum tidak berdasarkan Al Quran dan As Sunah. Sekularisme yang memisahkan agama dari kehidupan telah menjadikan akal manusia menuntun segalanya. Agama hanya digunakan untuk mengatur ranah ibadah ritual sementara, sedangkan ranah sosial diatur dengan suara mayoritas.
Alhasil masyarakat bahkan sebagian ulama juga dibiarkan menempuh jalan pintas dalam menafsirkan Al Quran menggunakan perspektif akal dan hawa nafsunya. Hal yang demikian ini dipandang sebagai kebebasan berpendapat yang yang harus dijamin dalam sistem Kapitalisme-sekuler. Bahkan dibawah jubah moderasi yang kini menjadi proyek Barat untuk menancapkan nilai-nilai Barat di benak kaum muslimin.
Negeri muslim dituntut mengkritisi ajaran agamanya sendiri bahkan menafsir ayat-ayat yang berkaitan dengan ibadah sesuai perspektif moderasi yang mengatasnamakan kemaslahatan manusia. Penafsiran Al Quran surat at-Taubah ayat 60 yang mengatakan zakat bisa diperuntukkan bagi korban kekerasan terhadap perempuan dan anak adalah salah satu buktinya.
Pengusung moderasi beragama memandang bahwa persoalan kekerasan perempuan dan anak merupakan persoalan marginalitas kaum perempuan oleh laki-laki, karena ketidakberdayaan perempuan. Perempuan dan anak selalu menjadi korban atas tindak kekerasan seksual dan menjadi pihak yang dirugikan. Sehingga pengusung moderasi membuatkan dalil agar korban tersebut mendapatkan zakat karena termasuk “riqab”.
Kembali kepada Islam Kafah
Padahal dipahami perkara ibadah termasuk didalamnya zakat adalah perkara tauqifiy yang harus diambil apa adanya sesuai yang tercantum dalam nash syariat, Al Quran dan Sunnah. Karena itu ayat-ayat yang berkaitan dengan ibadah tidak boleh dikaitkan dengan illat atau sebab disyariatkan hukum sama sekali. Akan tetapi harus diterima dan dilaksanakan dengan penuh ketundukan. Allah Swt berfirman :
إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ ۖ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
Artinya:
“Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, para amil zakat, orang-orang yang dilunakkan hatinya (mualaf), untuk (memerdekakan) para hamba sahaya, untuk (membebaskan) orang-orang yang berutang, untuk jalan Allah dan untuk orang-orang yang sedang dalam perjalanan (yang memerlukan pertolongan), sebagai kewajiban dari Allah. Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana” (QS. At Taubah : 60).
Ayat tersebut dengan jelas mengatakan bahwa yang berhak menerima zakat adalah delapan asnaf (golongan). Para muffasir telah menjelaskan makna masing-masing golongan penerima zakat ini termasuk untuk lafadz الرِّقَابِ yaitu budak, baik mukatab yakni budak yang terikat dengan tuannya untuk menebus dirinya ataupun ghairu mukatab. Tidak ada satupun muffasir kredibel (muktabar) yang menyatakan bahwa الرِّقَابِ bisa dimaknai korban kekerasan terhadap perempuan dan anak.
Kesempurnaan Islam yang benar dan dijamin oleh Allah Swt, kini diutak atik sedemikian rupa oleh segelintir manusia dengan dorongan hawa nafsunya atas nama moderasi. Karena itu moderasi dalam menafsirkan ayat-ayat Al Quran hanya mengantarkan pada pemahaman yang berbeda tidak sesuai nash yang sudah ditetapkan oleh Allah Swt. Hal ini tentu akan menyesatkan umat Islam.
Padahal Islam telah menuntun umatnya dalam menafsirkan nash Al-Quran. Yakni dibutuhkan ilmu tafsir atau metode penafsiran. Ilmu tafsir merupakan tsaqofah Islam dan salah satu cabang dari ilmu-ilmu Islam yang bersumber dari Al Quran dan Hadist. Penafsiran Al Quran tidak boleh bertentangan dengan ke dua sumber tersebut.
Seorang muffasir di dalam Islam dalam menafsirkan seluruh perkara harus tunduk kepada apa yang dituntun kan oleh Allah Swt yang berupa syariat bukan tunduk pada akal hawa nafsu atau pendapat yang menjadikan sebagian acuan.
Allah Swt mengancam keras orang-orang yang menafsirkan Al Quran berdasarkan akal dan hawa nafsunya atau pendapat yang tidak disertai ilmu . Dari Ibnu Abbas Ra, bahwa Rasulullah Saw bersabda:
“Barangsiapa yang berbicara tentang Al Quran tanpa disertai ilmu maka hendaklah bersiap-siap mengambil tempat duduknya dari api neraka”. Abu Musa berkata hadis ini Hasan shahih.
Begitulah Islam mengatur semuanya agar menjadikan Al Quran dan As Sunah sebagai sumber untuk menjalani kehidupan secara keseluruhan dan sempurna. Menerapkan aturan Islam sesuai nash-nash syariah. Semua itu hanya mungkin terwujud dalam bingkai negara yang menerapkan Islam kafah. Bukan dalam negara yang menerapkan sistem kapitalisme.
Wallahu’alam bishshawab.
Views: 15
Comment here