Opini

MoU Kemenag-Unicef, Solusi Kompromisasi Islam

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh : Lely Novitasari (Aktivis Generasi Peradaban Islam)

wacana-edukasi.com, OPINI-– Tingginya angka anak putus sekolah masih menjadi polemik di negeri plus enam dua ini. Data Badan Pusat Statistik menunjukkan, pada Juni 2023 angka putus SD mencapai 0,13 persen, SMP 1,06 persen, dan SMA 1,38 persen (Kompas). Tapi bisa jadi kondisi ini bagaikan fenomena gunung es, yang mana realitanya bisa lebih banyak lagi dari yang terdata.

Untuk menanggulangi dan memenuhi hak-hak anak di Indonesia, Kemenag melakukan kerjasama dengan Unicef yang ditandai dengan penandatangan MOU oleh Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kamaruddin Amin dan Kepala Perwakilan UNICEF untuk Indonesia Maniza Zaman.

Maniza, menegaskan pentingnya MOU ini sebagai komitmen bersama untuk melindungi hak setiap anak, tanpa memandang latar belakang atau keyakinan khususnya pada kesejahteraan dan pendidikan.

Dukungan UNICEF ini berfokus untuk memastikan agar hukum, kebijakan, dan pelayanan di Indonesia mampu memenuhi hak setiap anak terhadap layanan kesehatan, perlindungan, dan pendidikan. Dengan begitu UNICEF dapat membentuk arah kebijakan; serta menyarankan perencanan, pendanaan, dan pemberian layanan penting secara merata kepada 80 juta anak di Indonesia yang paling rentan.

Melansir dari media Unicef Indonesia sendiri, dicantumkan pada lamanya ada sekitar 4,1 juta anak-anak dan remaja berusia 7-18 tahun tidak bersekolah. Dari 46 juta remaja di Indonesia, hampir seperempat remaja yang berusia 15 hingga 19 tahun tidak bersekolah alias putus sekolah, tidak memiliki pekerjaan atau tidak mengikuti pelatihan akibat dari pendidikan yang rendah.

Memang betul faktanya pendidikan anak di negeri ini belum merata. Namun dalam kerjasama ini, apalagi melibatkan antar agama, penting untuk memastikan gambaran sejahtera yang dimaksudkan itu apa? Lalu, kerjasama antar agama seperti apakah yang dimaksud yang dapat menjadi tuntunan pendidikan pada anak?

Melihat diluncurkannya buku yang diterjemahkan dari Al-Manẓūr al-Islāmī li ḥimāyah al- Aṭfāl min al-ʿanaf wa al-mumārasāt al-ḍārah, tentang bahasan hak-hak anak dan pandangan Islam terhadap perlindungan anak, ada beberapa hal yang perlu dianalisa.

Buku ini diperuntukkan menjadi rujukan menyelesaikan problematika pada anak khususnya dalam pendidikan. Kerjasama antara Unicef dengan Kemenag yang dituangkan dalam buku lebih banyak mengomparasikan antara nilai-nilai Islam dengan HAM, serta dianggap ketentuan ini lebih relevan menjadi solusi problematika pada anak.

Deislamisasi

Dalam sub bab pekerja anak misalnya, di dalamnya melarang praktik memperkerjakan secara paksa pada anak. Mengutip pernyataan Ahmad Tholabi Kharlie Guru Besar dan Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, di Sub Bab Epilog, dengan judul membangun legitimasi teologis perlindungan anak. Disampaikan bahwa PBB dan organisasi buruh internasional mengambil posisi yang paling moderat, yaitu mencegah pekerjaan yang berbahaya bagi anak. Kemudian digambarkan dengan kondisi terkini dimana anak yang putus sekolah lalu kemudian bekerja membantu keluarga dilabeli dengan eksploitasi.

Anehnya, kenapa diambil contoh tentang kisah Nabi Muhammad ketika mengikuti pamannya berdagang di masa kecil seolah itu eksploitasi? Bahkan dijadikan cerita-cerita mengakar dalam tradisi Islam yang diaggap mengakibatkan ketidakmudahan untuk melarang anak-anak menghasilkan uang dengan cara bekerja. Seolah Islam mengajarkan mengeksploitasi anak demi cuan. Benarkah?

Kenapa seolah deislamisasi? Hari ini adanya fakta meningkatnya fenomena anak putus sekolah harusnya dicari akar masalahnya. Bahwa sebagian besar masyarakat negeri ini ekonominya menengah ke bawah berimbas pada pendidikan yang belum bisa dijangkau beberapa lapisan masyarakat. Tentu efek dominonya bisa berakibat pada kesenjangan sosial yang semakin lebar.

Anak yang memilih berkerja kebanyakan alasannya mereka ingin membantu keluarga agar cukup makan dan memenuhi kebutuhan. Persoalannya ini ulah siapa? Apakah sistem syariat Islam?

Kenapa diambil contoh Nabi Muhammad masa kecil membantu bekerja pamannya? Maksudnya apa? Lagipun apakah Nabi Muhammad masa kecilnya dipaksa untuk angkat barang berat? Nabi Muhammad kecil diajarkan dengan melihat contoh langsung bagaimana cara berdagang, bukan untuk menjadi pekerja paksa. Bukankah pembelajaran terbaik itu dengan melihat langsung bagai mana praktiknya tidak hanya teori?

Kemudian di dalam bukunya ada sambutan dari Menteri Agama yang isinya mengutip contoh-contoh dari kitab suci Islam, serta menggarisbawahi pentingnya memenuhi hak anak atas perlindungan dari segala bentuk kekerasan dan praktik berbahaya. Di antaranya disampaikan syariat khitan pada anak perempuan yang dianggap tidak relevan bahkan membahayakan secara medis. Jika dilakukan sembarangan bukan oleh ahlinya dan dilakukan saat sudah dewasa bisa jadi iya membahayakan. Tapi jika dilakukan sesuai tuntunan syariat Islam yakni dilakukan oleh orang yang profesional serta fasenya pada masa bayi, apakah ini membahayakan?

Dalam bukunya juga mengkaji peran teologis yakni orang tua, tokoh agama di masyarakat juga negara dalam melindungi anak. Digambarkan perlindungan dan pemenuhan hak anak sudah menjadi tanggung jawab negara. Wajibnya negara memberikan perlindungan dan pemenuhan tersebut dengan kongkret, baik di level regulasi, intervensi administratif, perencanaan dan penganggaran, hingga pemantauan dan evaluasi. Pertanyaannya, sudahkah peran sentral yang utama yakni negara dalam pemenuhan hak anak itu dijalankan alias terealisasi nyata?

Menggelitik, peryataan bahwa negara itu dapat memetakan tantangan, larangan, dan solusi ke depan lewat hukum syariat agama Islam yang dikompromisasikan dengan Hak Asasi Manusia (HAM). Hak asasi manusia yang dimaksud itu apa? Sebelumnya ada penyalahgunaan HAM terkait ajaran Islam yang disampaikan orangtua ke anaknya untuk menutup aurat dianggap paksaan. Apakah standar HAM itu sesuai dengan syariat Islam?

Lalu dalam bukunya dijelaskan konteks pembagian harta waris dengan konsep kesetaraan yang dituntut terasa ambigu, yakni dianggap hak anak perempuan dengan laki-laki itu harus setara. Jika yang dimaksud semua dapat hak waris tentu dapat, tapi tentu dalam Islam telah ada standar takarannya. Anak laki-laki mendapat setengah bagian setara dengan dua anak perempuan. Jelas tidak bisa sama bagiannya.

Belum lagi terkait pernikahan anak-anak yang dianggap bagian dari penyebaran virus HIV Aids. Pertanyaannya kenapa fenomena pernikahan anak dianggap Islam yang menjadi biang keladinya? Bukankah pergaulan bebas itu yang menjadi sebab adanya virus HIV Aids? Meningkatnya fenomena remaja hamil di luar nikah, bahkan ratusan pelajar sekolah yang dispensasi nikah karena hamil menjadi momok nyata dari adanya pergaulan bebas. Kenapa syariat Islam yang dijadikan kambing hitam terkait pernikahan anak?

Jika melihat ke belakangan ini tentang wacana Kemenag menjadi kementerian semua agama yang tidak lagi identik dengan Islam, apakah ini termasuk bagian dari wacana moderasi beragama? Bahkan di buku kerjasama Unicef dengan Kemenag terus diwacanakan kompromisasi antara syariat Islam dengan konteks kekinian. Dimana jika ada syariat Islam yang dianggap tidak relevan dengan zaman, maka harus disesuaikan.

Sebagaimana pendekatan yang dibangun lebih pada pendekatan akomodatif (menyesuaikan) dibandingkan dikotomis (pembagian) antara hukum Islam dan hak asasi manusia, seperti perkawinan anak, sunat perempuan, pelecehan seksual, kekerasan terhadap anak di dalam rumah tangga, kekerasan di sekolah, eksploitasi anak, dan perdagangan anak yang tertulis dalam sub bab buku kerjasama Unicef dan Kemenag.

Tidak hanya itu, bersama Unicef, PSGA (Pusat Studi Gender dan Anak) UIN Alauddin telah membina 100 guru dan melibatkan 10.000 santri dalam upaya perlindungan anak. Bahkan kolaborasinya dengan United Nations Children’s Fund (Unicef) sebuah organisasi internasional di bawah naungan PBB telah berjalan sejak pertengahan 2022. Program ini diperuntukkan untuk membangun pesantren ramah anak dan telah diuji coba di 5 kabupaten/kota di Sulawesi Selatan. (Sumber UIN-alaudin(dot)ac(dot)id)

Adanya program Pesantren ramah anak, dengan mengkompromikan syariat Islam apakah tidak berbahaya?

Semisal jika ada hukum-hukum Islam yang dianggap sepihak oleh penguasa atau kemenag tidak relevan dengan zaman itu apakah harus disesuaikan? Kalau bukan moderasi beragama lalu apa? Akan sangat berbahaya sebab secara tidak langsung moderasi beragama berarti meragukan sebagian hukum-hukum Allah itu baik bagi pemeluknya.

Lantas, apakah kerjasama MOU Unicef dengan Kemenag mampu menjadi solusi mendasar ataukah solusi tambal sulam? Realitanya di sisi lain ada banyak persoalan yang masih dihadapi anak Indonesia hari ini, seperti stunting, kekerasan, kemiskinan dll. Oleh karena itu, sangat jelas MOU ini kurang relevan dengan persoalan yang dihadapi anak Indonesia hari ini. Sebab adanya kompromisasi dalam bingkai sistem hari ini, yakni kapitalisme-sekuler tidak akan pernah sejalan dengan syariat Islam.

Realitanya sistem kapitalisme-sekuler ini tidak mempunyai bukti kongkrit yang mampu mewujudkan jaminan kesejahteraan, termasuk layanan pendidikan secara nyata sampai hari ini. Kegagalan sistem pendidikan sekuler sedari awal menjadikan agama tidak mendapatkan perhatian secara semestinya. Agama (baca:Islam) hanya diambil sebagian, bahkan pernah ada visi pendidikan yang tertuang dalam draft Peta Jalan Pendidikan Nasional (PJPN) 2020—2035 itu tidak tercantum lagi frasa agama.

Ketika ada protes, Kemendikbud kemudian merevisi draft rumusan PJPN.
Namun, hal itu tetap tidak menghapus fakta adanya upaya pengerdilan agama dalam PJPN. Terlihat jelas pada draf PJPN tersebut tetap tidak memuat frasa agama. Yang ada sekadar frasa akhlak mulia dan budaya.

Di saat sistem pendidikannya minim atau bahkan niragama, atau sekedar pertimbangan pasar dan ekonomi, jelas akan sangat berbahaya dan berpotensi mencetak generasi yang bisa mengancam negeri ini melalui berbagai perilakunya kelak yang tidak lagi memperhatikan standar agama (Islam) berupa halal dan haram.

Mungkin bisa mencetak SDM generasi yang unggul secara sains dan teknologi demi tuntutan pasar global tapi jika tidak paham agama, bukankah bisa berpotensi di kemudian hari menjadi momok buruk seperti yang nampak hari ini? Tingginya budaya korupsi saat menjabat, adanya oknum-oknum yang bertindak zalim pada sesama. Siapa yang bisa menyadarkan kalau bukan keyakinan tentang agama (Islam). Bahkan KPK ditemukan banyak yang pungli.

Jika telah sangat jelas solusi yang ada di sistem pendidikan sekuler yakni melalui rencana MOU Unicef dan Kemenag tidak memberikan solusi tuntas, kenapa tidak mengambil Islam secara totalitas?

Islam memberikan jaminan akan terwujudnya perlindungan yang hakiki pada anak, baik dalam kesejahteraan, keamanan, hak pendidikan dan lainnya. Syariat Islam yang menyeluruh mewajibkan negara untuk mewujudkan peran sentral negara secara maksimal.

Semisal memproteksi akses dunia internet dari konten pronoaksi sampai perlindungan anak dari cryber crime. Sebab negara mempunyai otoritas tertinggi dibanding keluarga ataupun masyarakat.

Tidak hanya memastikan akses pendidikan merata di berbagai pelosok negeri, bahkan memberikan kesejahteraan ekonomi, kesehatan itu sampai ke individu-individu. Penerapan Islam mampu memberikan jaminan perlindungan terhadap anak dalam semua aspek kehidupan.

Dalam sejarahnya Islam mampu membangun kesadaran iman itu tercermin dari masyarakatnya. Yakni masyarakat yang memiliki perasaan, pemikiran dan aturan yang sama. Saling melindungi, nasihat-menasihati jika ada anak maupun orang dewasanya yang melakukan perbuatan amoral. 13 abad lamanya sistem Islam mampu menjadi mercusuar peradaban manusia.

Lahirnya banyak ilmuwan dan penemu dari kaum muslim yang tidak hanya ahli dalam satu bidang (Polymath: ahli dalam berbagai bidang). Banyak ilmuwan yang ahli dalam ilmu Al Qur’an dan Hadist juga filsafat, tapi juga ahli dalam ilmu matematika, kedokteran, saint, astronomi dll. Bahkan banyak karya buku para ilmuwan muslim menjadi rujukan orang-orang Eropa dalam sains dan teknologi.

Inilah bukti sistem pendidikan Islam mampu mencetak generasi yang tidak hanya cerdas tapi juga ahli agama. Menjadikan karya mereka bukan untuk komersialitas melainkan membangun peradaban manusia, sebab mereka paham konsep amal jariyah yang orientasinya itu sampai ke akhirat.

Negara sebagai instrumen tertinggi mengakomodir pelayanan terhadap masyarakat dengan sistem Islam, baik di sistem ekonominya, pendidikannya maupun kesehatan juga pemanfaatan SDA untuk kemaslahatan masyarakatnya juga anak-anak generasi.

Dalam hadist Rasulullah Saw. disampaikan : “Jauhilah dan takutlah kamu berbuat zalim. Sungguh kezaliman itu merupakan kegelapan pada Hari Kiamat.” (HR. Bukhari dan Muslim). Dari Hadist ini siapapun orangnya dikondisikan untuk berbuat baik terhadap sesama, sekalipun pejabat.

Demikianlah tidak hanya peran teologi yang memberikan perlindungan pada anak melainkan sebuah sistem turut andil dan berperan besar dalam mencetak dan mengkondisikan anak-anak memiliki keimanan, ketakwaan juga kecerdasan yang dioptimalkan untuk kebaikan sebuah peradaban manusia.

Wallahu’alam bishowab

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 6

Comment here