Oleh : Wa Ode Vivin, S.Farm (Aktivis Muslimah)
wacana-edukasi.com, OPINI– Mudik memang sudah menjadi rutinitas tahunan menjelang lebaran bagi umat muslim di Indonesia. Tradisi pulang kampung, bertemu dengan orang tua dan sanak saudara sudah menjadi urat nadi masyarakat kita. Sayangnya tahun ini negara harus kehilangan ratusan korban jiwa, efek dari kecelakaan mudik yang tidak terkontrol. 6 hari berturut-turut kecelakaan mudik dari ratusan sampai menembus ribuan korban.
Laporan dari Merdeka.com. Korlantas Polri mencatat 273 kecelakaan terjadi pada Hari Raya Idul Fitri 1444 H, Sabtu (22/4).Total 30 orang meninggal dunia akibat sejumlah peristiwa itu.
“Data kecelakaan lain pada 22 april 2023, sebanyak 273 kejadian. Dengan rincian 30 orang meninggal dunia, 45 orang luka berat dan 378 orang luka ringan,” per minggu (23/4). Jika ditotal dengan kecelakaan periode 18-21 April berjumlah 933 kejadian, maka kecelakaan selama enam hari Operasi Ketupat total 1.206 kecelakaan. Total korban jiwa sebanyak 83 orang, dengan rincian 55 orang selama periode 18-21 April 2023.
Fenomena budaya mudik menunjukkan bahwa pada umumnya orang akan kembali kepada kampung halaman, setelah melakukan perantauan. Kampung halaman adalah tempat asal mereka dilahirkan. Bahkan seringkali, kampung halaman dijadikan sebagai tempat lahir sekaligus tempat mati, meski dalam hidupnya merantau ke berbagai daerah. Keistimewaan kampung halaman inilah yang kelak melahirkan tradisi mudik orang Indonesia.
Sayangnya, tradisi tersebut kini menjadi salah satu cara menghilangkan nyawa rakyat dari keserakahan pemerintah. Anak atau keluarga yang memiliki niat baik bersilaturahmi bersama keluarga di kampung, nyaris pulang membawa jasad dirinya. Astaghfirullah.
Kecelakaan banyak terjadi, ada banyak faktor seperti infrastruktur jalan yang tidak layak, harga tiket tol yang mahal, tiket mahal, banyaknya kendaraan pribadi dan lain-lain. Dan ini terjadi berulang setiap terjadi arus mudik. Hal ini menggambarkan tidak ada penanganan yang komprehensif terhadap kelayakan jalan dana hal terkait.
Walaupun telah ada berbagai ruas jalan tol transpulau, nyatanya tak semudah dan semanis janji pembangunannya. Infrastruktur jalan tol justru rawan makan korban karena jaraknya yang terlalu panjang, tetapi minim sarana peristirahatan di titik-titik tertentu. Jalur darat yang dianggap sudah sangat memadai dengan dibangunnya jalan tol, ternyata belum mampu memperlancar arus mudik. Salah satu fakta tak terbantahkan diperlihatkan oleh kemacetan yang menghilangkan dalam jumlah yang menembus hingga ribuan.
Kenyataannya, keuntungan merupakan prioritas bagi penguasa dan pengusaha besar dalam rangka mengempeskan dompet rakyat yang telah bersusah payah menabung demi biaya mudik akibat mahalnya biaya mudik yang semakin mencekik.
Fenomena mencekiknya tarif transportasi mudik dan kemacetan jalan sejatinya berawal dari pandangan yang salah terkait tata kelola dunia transportasi. Penerapan sistem sekulerisme-kapitalisme telah meniscayakan dikesampingkannya aturan Illahi dalam mengatur kehidupan. Dampaknya, dunia transportasi dianggap tak lebih dari sekedar lahan bisnis yang menjanjikan. Dimana kepemilikan fasilitas umum transportasi bebas dikuasai swasta ataupun perusahaan. Wajar jika kemudian kenyamanan, kualitas pelayanan, tarif yang terjangkau dan keselamatan pemudik lebaran tak lagi menjadi prioritas utama dalam menyusun kebijakan.
Negara hanya berperan sebagai fasilitator dalam pelayanan publik. Sementara posisi operator diserahkan sepenuhnya pada mekanisme pasar. Alhasil, tarif mencekik angkutan mudik yang tak disertai layanan yang memadai, jadi problem berulang tiap tahun.
Hal tersebut jelas bertolak belakang dengan apa yang dapat kita temukan dalam naungan Islam. Persoalan mudik tak dipandang sekedar sebagai masalah teknis. Tapi lebih terkait dengan kebijakan publik, khususnya menyangkut pembangunan infrastruktur dan ketersediaan transportasi umum yang memadai. Islam pun telah mewajibkan kepada negara untuk memastikan pemenuhannya demi kemaslahatan seluruh rakyat. Konsekuensinya, pembangunan infrastruktur sepenuhnya menjadi tanggung jawab negara. Pelaksanaannya tidak boleh diserahkan ke tangan investor swasta maupun asing.
Prinsip bahwa perencanaan wilayah yang baik akan mengurangi kebutuhan akan moda transportasi diterapkan dengan benar. Islam memperhatikan keselamatan warga, menjadikan keamanan sebagai tanggung jawab negara, termasuk menyediakan moda transportasi dan infrastruktur yang aman dan nyaman dan haraga murah.
Maka fakta sejarah membuktikan saat Baghdad dibangun sebagai ibu kota. Setiap bagian kota dirancang sedemikian rupa untuk menampung sejumlah penduduk tertentu beserta segala fasilitas publik yang lengkap. Hingga warga tidak perlu melakukan perjalanan jauh guna memenuhi kebutuhan hidup, menuntut ilmu maupun bekerja. Semua bisa dilakukan dengan berjalan kaki.
Selain itu negara berkewajiban menyediakan kendaraan umum yang layak, nyaman, aman dan tarif yang terjangkau baik transportasi darat , laut, maupun udara. Sejarah mencatat bahwa hingga abad ke 19. Khilafah Ustmaniah tetap konsisten mengembangkan infrastruktur transportasi yang aman dan nyaman. Saat kereta api ditemukan di Jerman, segera setelahnya khalifah memutuskan untuk membangun jalur kereta api dengan tujuan memperlancar perjalanan haji maupun arus mudik ke kampung halaman.
Tahun 1900 M Sultan Abdul Hamid II mencanangkan proyek “HejazRailway”. Jalur kereta ini terbentang dari Istanbul hingga Makkah. Proyek ini mampu memangkas waktu perjalanan yang semula 40 hari tinggal 5 hari.
Inilah bukti kesempurnaan Islam dalam menjamin kenyamanan dan keamanan warga negaranya. Hingga bisa dipastikan tak akan pernah ada tarif mudik yang mencekik rakyat. Tingkat kemacetan dan kecelakaan pun dapat diminimalkan. Oleh karena itu, sudah saatnya kita kembali menerapkan aturan Islam. Agar ke depannya carut marut problematika seputar dunia transportasi tidak terulang. Wallahu’alam bishowab.
Views: 16
Comment here