Oleh: Sri Retno Ningrum (Pegiat Literasi)
wacana-edukasi.com– Baru-baru ini media sosial diramaikan tuntutan agar MUI dibubarkan. Tagar #bubarkanMUI beredar luas setelah Densus 88 menangkap Komisi Fatwa MUI, Ahmad Zain an-Najah pada Selasa (19/11/2021) lalu terkait dugaan keterlibatan terorisme (Republika.com, 20/11/2021).
Sementara itu, fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) menyikapi tuntutan di media sosial terkait pembubaran Majelis Ulama Indonesia (MUI) di media sosial. Sekretaris fraksi PPP, Achmad Baidowi menilai tuntutan tersebut mengada-ngada. “Fraksi PPP menilai tuntutan pembubaran MUI di media sosial, menyusul penangkapan salah satu pengurus Komisi Fatwa Ahmad Zein an-Najah (AZA) oleh Densus 88 sangatlah berlebihan dan mengada-ngada.” Baidowi menambahkan dugaan keterlibatan AZA dalam kasus terorisme tak mewakili kelembagaan mewakili aksi individu. Hal itu dibuktikan dengan lebih banyak pengurus MUI yang tak sependapat dengan aksi terorisme (Republika.com, 19/11/2021).
Perlu diketahui bahwa MUI merupakan lembaga swadaya masyarakat uang mewadahi para ulama, zuama dan cendekiawan Islam untuk membimbing, membina, dan mengayomi umat Islam di Indonesia. MUI berdiri pada 17 Rajab 1395 H atau 26 Juli 1975 M di Jakarta. MUI bertugas membantu pemerintah dalam melakukan hal-hal yang menyangkut kemaslahatan umat Islam, seperti: mengeluarkan fatwa dalam kehalalan sebuah makanan, penentuan kebenaran sebuah aliran dalam Islam dan hal-hal yang berkaitan dengan hubungan seorang muslim dengan lingkungannya (Wikipedia).
Adapun terkait tuntutan pembubaran MUI menunjukkan bahwa ada pihak-pihak yang selalu mencari kesempatan untuk memberangus suara kritis para ulama, apalagi bila MUI bersikap kritis membela ajaran Islam dan mengoreksi setiap kebijakan pemerintah. Hal itu terlihat dari kritik MUI terhadap pemerintah terkain Permendag No. 21 Tahun 2021 mengenai kebijakan pengatur impor miras. MUI menilai aturan tersebut merusak moral anak bangsa karena semakin banyak miras yang beredar di masyarakat serta dengan aturan tersebut dapat mengurangi pendapatan negara. Tak hanya itu, MUI gencar melakukan pembelaan terhadap Islam, misalnya pada kasus penistaan agama yang melibatkan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) sebagai pelakunya. MUI meminta aparat kepolisian untuk segera menindak Basuki Tjahaja Purnama. MUI juga mengeluarkan fatwa tentang keharaman keberadaan Ahmadiyah karena merupakan aliran yang sesat.
Selain itu, tak bisa dipungkiri bahwa tuntutan pembubaran MUI yang marak terjadi tidak lepas dari buah diterapkannya sistem kapitalisme yang berasal dari Barat (kafir penjajah). Barat tidak menginginkan kaum muslim memiliki wadah seperti MUI yang membantu kaum muslim untuk menjalankan syariah Allah. Sebaliknya, Barat menginginkan kaum muslim jauh dari agamanya meski mereka mengeluarkan dana yang tidak sedikit. Sebagaimana firman Allah SWT dalam surah Al-Anfal ayat 36:
اِنَّ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا يُنْفِقُوْنَ اَمْوَالَهُمْ لِيَصُدُّوْا عَنْ سَبِيْلِ اللّٰهِ ۗفَسَيُنْفِقُوْنَهَا ثُمَّ تَكُوْنُ عَلَيْهِمْ حَسْرَةً ثُمَّ يُغْلَبُوْنَ ەۗ وَالَّذِيْنَ كَفَرُوْٓا اِلٰى جَهَنَّمَ يُحْشَرُوْنَۙ
“Sesungguhnya orang-orang kafir itu, menafkahkan harta mereka untuk menghalangi (orang) dari jalan Allah. Mereka akan menafkahkan harta itu, kemudian menjadi sesalan bagi mereka, dan mereka akan dikalahkan. Dan dalam neraka jahanamlah orang-orang kafir itu dikumpulkan.”
Sungguh, tuntutan pembubaran MUI tak pantas untuk dilakukan. Terlebih di sistem kapitalis-sekuler yang diterapkan di negeri ini menjadikan kaum muslim tidak lagi mengambil Islam sebagai way of life (solusi permasalahan kehidupan). Sehingga keberadaan para ulama sangat diperlukan. Fatwa-fatwa yang dikeluarkan MUI menjadi panduan bagi umat Islam untuk melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan. MUI pun ibarat bintang yang menjadi penerang dalam kegelapan. Sebagaimana Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya kedudukan seorang alim sama seperti kedudukan bulan di antara bintang-bintang. Sesungguhnya ulama itu pewaris para nabi.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi).
Oleh karena itu, sudah seharusnya kita melepaskan diri dari cengkraman kafir penjajah yakni dengan meninggalkan sistem kapitalisme kemudian beralih pada sistem Islam atau khilafah. Karena dengan khilafah, niscaya Barat (kafir penjajah) tidak akan dapat menyusun strategi untuk melemahkan bahkan menghancurkan umat Islam. Lebih dari itu, tidak ada lagi tuntutan pembubaran wadah yang menaungi para ulama seperti MUI. Walhasil umat Islam dapat menjalankan syariah Allah dengan lebih baik sehingga sebutan khoiyru ummah mereka dapatkan. Sebagaimana firman Allah SWT dalam surah Ali Imron ayat 110:
كُنْتُمْ خَيْرَ اُمَّةٍ اُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ ۗ وَلَوْ اٰمَنَ اَهْلُ الْكِتٰبِ لَكَانَ خَيْرًا لَّهُمْ ۗ مِنْهُمُ الْمُؤْمِنُوْنَ وَاَكْثَرُهُمُ الْفٰسِقُوْنَ
“Kalian adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya para ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, diantara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.” Wallahu’alam Bisshowab.
Views: 5
Comment here