Opini

Naik Level Tarif PDAM, Petaka bukan Solusi

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh Ummu Ahtar (Anggota Komunitas Setajam Pena)

wacana-edukasi.com, OPINI– Indonesia terkenal dengan negeri kepulauan terbesar di dunia. Bahkan hampir 3/4 wilayahnya adalah perairan. Namun sayang untuk membutuhkan air yang bersih dan kualitas tinggi mustahil didapatkan secara percuma. Kini ditambah wacana kenaikan tarif PDAM menjadi kado awal tahun negeri ini.

Sebelumnya tarif layanan Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) di Surabaya telah sepakat akan segera naik, yakni dari Rp600 menjadi Rp2600 per meter kubik.Hal itu disampaikan secara langsung oleh Eri Cahyadi Wali Kota Surabaya saat berada di Ruang Kerja Balai Kota Surabaya pada Kamis (24/11/2022). Walaupun ada kriteria khusus mengratiskan bagi keluarga miskin, seperti keadaan rumah yang buruk dengan lantai tanah hingga beruuran kecil yang sebagaimana sesuai Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah tahun 2002 tentang rumah sehat sederhana.(suarasurabaya.net)

Hal itu tentu menuai protes berbagai kalangan. Seperti halnya di Indramayu yang mana kenaikan tarif PDAM diduga hampir 30 persen. Para perempuan dari berbagai kalangan yang bergabung dalam Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) cabang Indramayu menolak rencana kenaikan tarif air bersih Perumdam Tirta Darma Ayu kabupaten Indramayu. Penolakan itu disampaikan kepada para wakil rakyat, dalam audiensi di Gedung DPR Indramayu, Jumat (1/1/23).

Menurut mereka kenaikan ini sangat memberatkan. Seperti para pedagang kecil, pedagang makanan, setelah baru bangkit akibat terpuruk pandemi Covitd-19. Mereka juga mengeluhkan dagangan belum ramai seperti dulu. Tapi, sekarang malah dihadapkan dengan rencana kenaikan tarif PDAM.(detik.com, 23/1/23)

Bupati Purwakarta Anne Ratna Mustika merespon langsung atas ini bahwa berdasarkan informasi yang disampaikan bupati, tarif BJPSDA yang baru adalah Rp 141,27 per meter kubik. Anne menilai, kenaikan itu akan menambah biaya produksi di PDAM Gapura Tirta Rahayu hingga akhir­nya bisa membebani para konsumen PDAM di Kabupaten Purwakarta. Disamping itu ia berdalih hal ini sangat memberatkan masyarakat karena ekonomi belum pulih pasca dibenturkan pandemi Covid-19. (pikiranrakyat.com, 8/2/23)

Kekecewaan Rakyat akan Naiknya Tarif PDAM bukan Solusi

Sangat wajar jika warga mengeluhkan kebijakan kenaikan PDAM. Dari sisi masyarakat, mereka sedang berjuang kembali bangkit setelah pandemi yang membuat perekonomian mereka terpuruk. Beban hidup yang mana semakin lama semakin mahal juga tidak bisa dihindari warga. Namun realitanya, banyak terjadi PHK, ekonomi mengalami resesi, masyarakat pontang-panting memutar otak agar bisa tetap hidup.

Disamping itu, naiknya tarif PDAM tidak setara dengan kualitas dan terjaminnya air sehat dan higenis. Terbukti masyarakat banyak membeli air isi ulang untuk kebutuhan minum, masak atau kebutuhan rumah tangga lainnya. Walaupun di beberapa daerah menggratiskan bagi keluarga miskin, namun hanya sekedar omong kosong belaka. Karena naiknya tarif PDAM tentu diimbangi dengan kebutuhan lainnya. Sebagaimana air adalah bahan dasar semua kebutuhan. Sehingga wajar kini rakyat akan semakin tercekik, bagai hidup segan mati tak mau.

Rezim Zalim, Apa Solusinya?

Apa yang dialami oleh masyarakat hari ini sejatinya adalah bentuk kezaliman sistem Kapitalisme oleh penguasa. Sistem ini melegalkan liberalisasi sumber daya alam milik umum(rakyat). Konsekuensi liberalisasi pasti akan terjadi komersialisasi. Akhirnya kekayaan milik umum yang bisa dinikmati oleh rakyat dijadikan ladang bisnis. Prinsip inilah yang digunakan oleh penguasa kapitalisme ketika melayani kebutuhan warga negaranya.

Penguasa kapitalisme tidak bisa berkutik di depan para swasta (pemilik modal) yang menguasai sumber daya alam. Jika dikelola oleh negara-negara yang melakukan kerja sama dengan swasta. Atau bisa jadi pelayanan yang diberikan menganut prinsip untung rugi. Karena negara juga butuh pemasukan angaran. Akhirnya pelayanan yang seharusnya didasari prinsip jaminan sosial yang gratis, justru diberikan dengan prinsip bisnis. Maka tidak heran air yang notabennya bisa dinikmati secara gratis, justru hanya bisa dinikmati ketika berbayar.

Sangat berbeda dengan sistem Islam yang disebut khilafah. Ketika mengurus hajat ataupun kebutuhan rakyat. Dalam pandangan Islam, kekayaan alam adalah harta kepemilikan umum. Rasulullah Saw bersabda yang artinya,” Tiga hal tak boleh dimonopoli; air, rumput, dan api.”(HR. Ibnu Majah)

Terkait kepemilikan umum, Imam At-Tirmidzi juga meriwayatkan hadis dari Abyadh bin Hammal. Abyadh pernah meminta izin untuk mengelola tambang garam, kemudian Rasulullah Saw menyetujui hal itu. Kemudian Rasulullah Saw diingatkan oleh salah seorang sahabat, “Wahai Rasulullah tahukah Anda. Apa yang telah Anda berikan kepada dia?. Sungguh Anda telah memberikan sesuatu bagaikan air mengalir (mau al-iddu).” (HR. al-Bukhari). Rasulullah Saw kemudian bersabda, yang mana artinya,”Ambil kembali tambang tersebut dari dia.”(HR. At-Tirmidzi)

Mau al-iddu adalah air yang jumlahnya berlimpah sehingga mengalir terus-menerus. Hadis tersebut merupakan tambang garam yang kandungannya sangat banyak dengan air yang mengalir. Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani memberi penjelasan terkait hal ini yaitu,”Ketika Rasulullah Saw mengetahui bahwa tambang tersebut (laksana) air yang mengalir, yang mana air tersebut merupakan benda yang tidak pernah habis, seperti mata air dan air bor, maka beliau mencabut kembali pemberian beliau. Ini karena sunnah Rasulullah Saw dalam masalah padang, api dan air yang menyatakan bahwa semua manusia bersekutu dalam masalah tersebut. Karena itu beliau melarang siapapun untuk memilikinya, sementara yang lain terhalang.”

Inilah prinsip sistem ekonomi Islam dalam mengelola kekayaan milik umum. Pertama, tidak boleh adanya privatisasi. Kedua, jumlah SDA itu sangat besar. Sehingga kekayaan alam SDA dikelola negara dan hasilnya harus diberikan kepada warga seluruhnya. Terkait pemanfaatannya, Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani dalam kitabnya Nidhzam Iqthishadiyah dan Syaikh Abdul Qadir Zallum dalam kitabnya Al Amwal fi Daulah menjelaskan ada dua kelompok.

Pertama, kekayaan alam yang bisa dimanfaatkan secara langsung oleh warga. Contohnya seperti sungai, laut, padang rumput, sumber air, dan sejenisnya. Dalam hal ini khilafah mengatur dan mengawasi pemanfaatannya agar bisa dinikmati oleh seluruh warga dan tidak menimbulkan kemudharatan (bahaya). Maka jika dalam Khilafah PDAM gratis karena air termasuk ke dalam kelompok ini.

Kedua, kekayaan alam yang tidak bisa dimanfaatkan secara langsung oleh warga. Contohnya seperti barang tambang emas, perak, batu bara, minyak bumi, dan sejenisnya. Agar hasilnya bisa dinikmati, diperlukan proses eksplorasi, eksploitasi, tenaga ahli biaya yang besar dan alat-alat yang canggih. Maka pengelolaan jenis kedua ini dibebankan kepada negara. Hasilnya diberikan kepada rakyat, baik secara langsung ataupun dalam bentuk subsidi. Atau secara tidak langsung dengan memberikan jaminan kebutuhan publik, seperti kesehatan, pendidikan, dan keamanan secara gratis. Karena dibiayai oleh sumber daya alam (SDA) mandiri ini.

Dengan demikian kenaikan tarif PDAM merupakan akibat masalah sistemik. Sehingga diperlukan solusi sistemik pula, yakni dengan penerapan syariah Islam kaffah dalam naungan Khilafah.

Wallahu alam bisshawab

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 6

Comment here