Oleh: Hestiya Latifah
(Mahasiswa, Aktivis Dakwah)
wacana-edukasi.com, OPINI– Tahun ini pemerintah menganjurkan rata-rata BPIH per jemaah sebesar Rp98.893.909, naik mendekati Rp514 ribu dengan komposisi BPIH Rp69.193.733 serta nilai khasiat sebesar Rp29.700.175 juta ataupun 30 persen, kata Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas dalam Rapat Kerja dengan Komisi VIII DPR di Lingkungan MPR/DPR, Senayan, Jakarta, Kamis (19/1).
Maksudnya, bayaran haji tahun ini melonjak nyaris 2 kali lipat dari sebelumnya yang hanya sebesar Rp 39,8 juta. Ongkos ini pula lebih besar dibanding 2018 hingga 2020 kemudian yang diresmikan hanya Rp35 juta. Tidak hanya itu, pemerintah menganjurkan bayaran hidup (living cost) yang diberikan kepada jemaah haji tahun ini cuma sebesar 1000 Riyal ataupun setara Rp4.080.000 angka ini menyusut 500 Riyal dari tahun kemudian (cnnindonesia.com, 20/1/2023).
Lonjakan biaya haji tahun ini akibat pemerintah Arab Saudi mempraktikan paket layanan masyair senilai 5.656,87 SAR ataupun mendekati Rp21 juta per jemaah. Sementara itu, awal mulanya Departemen Agama hanya menganggarkan 1.531,85 ataupun setara Rp5,8 juta per jemaah. Layanan masyair mencakup ekspedisi serta akomodasi di Arafah, Muzdalifah, serta Mina yaitu tiga tempat paling utama dalam ibadah haji.
Langkah tersebut dilakukan setelah lembaga yang menanggulangi layanan Masyair, Muassasah diprivatisasi. Dengan peningkatan sebesar itu, calon jemaah haji dijanjikan sarana yang lebih baik semacam tenda dengan partisi, ruang duduk yang luas, serta konsumsi yang lebih banyak. Jaja Jaelani, Direktur Pengelolaan Dana Haji Kemenag berkata, bonus Rp1,5 triliun mencakup bayaran layanan masyair dan bayaran technical landing ditambah nilai kurs yang naik.
(bbc.com, 3/6/2022)
Kewajiban Haji
Allah sudah menetapkan haji sebagai fardu ain bagi seluruh muslim yang berkemampuan. Allah Swt. menyampaikan dalam Al-Qur’an, “Mengerjakan haji merupakan kewajiban manusia terhadap Allah, ialah (untuk) orang yang mampu mengadakan ekspedisi ke Baitullah.” (TQS Ali’Imraan [03]: 97). Nabi saw. bersabda, “Wahai manusia, Allah Swt. sudah mengharuskan haji kepada kamu, maka berhajilah.” (HR Muslim dari Abu Hurairah).
Ketentuan wajibnya haji, menurut Ibn Qudamah, terdapat 5: (1) Islam; (2) berakal ; (3) baligh ; (4) merdeka (bukan budak) ; (5) sanggup. Sanggup itu sendiri dipaparkan dalam hadits Nabi, meliputi 2 yaitu : (1) bekal (az-zad) ; (2) kendaraan (ar-rahilah).” (HR ad-Daruquthni dari Jabir, Aisyah, Anas, Abdullah bin Umar). (Amati, Ibn Qudamah, al-Mughni, perihal. 650)
Naas, makna ibadah haji dikerdilkan oleh para penguasa kapitalisme yang hanya menjadi ibadah ritual semata. Penguasa kapitalisme yang berorientasi pada materi dalam setiap kebijakannya memandang bahwa semakin banyak kuota jemaah haji maka akan semakin banyak keuntungan yang didapat, sebagaimana fakta yang dikutip dari beberapa sumber di atas.
Sangat tampak pelayanan kapitalis dalam mengurusi masalah ibadah kaum muslimin hanya berorientasi pada bisnis. Hal ini tentu berbeda dengan pelayanan haji dalam sistem Islam yakni Khilafah.
Khilafah Pelayanan Kaffah
Penguasa dalam sistem ini adalah khadimul ummah atau pelayan ummat. Setiap kebijakannya senantiasa diupayakan untuk memudahkan urusan rakyatnya termasuk perkara ibadah.
Untuk mengatur seluruh penyelenggaraan haji, selain terkait dengan syarat, wajib, dan rukun haji, Khilafah juga akan memastikan masalah hukum ijra’i yang terkait dengan teknis dan administrasi termasuk uslub dan wasilah. Sebagaiamana Syeikh Taqiyuddin An-Nabhani menyampaikan bahwa sistem Khilafah adalah sistem yang mengatur manajerial, yaitu sistemnya yang sederhana, eksekusinya cepat, dan ditangani oleh orang-orang yang professional.
Khilafah mengupayakan penyelenggaran haji ummat muslim dengan melakukan 5 langkah, yaitu pertama, membentuk kementerian spesial yang mengurus urusan haji serta umrah, dari pusat sampai ke wilayah. Sebab ini terpaut dengan permasalahan administrasi, hinggan urusan tersebut dapat didesentralisasikan, sehingga mempermudah calon jemaah haji serta umrah. Ditangani oleh orang yang handal, hingga urusan ini dapat dilayani dengan kilat serta baik.
Kedua, bila negara wajib menetapkan ONH (Ongkos Naik Haji), hingga besar serta kecilnya pasti akan disesuaikan dengan bayaran yang diperlukan oleh para jemaah bersumber pada jarak wilayahnya dengan Tanah Haram (Makkah – Madinah), dan akomodasi yang diperlukan sepanjang berangkat serta kembali dari tanah suci. Dalam penentuan ONH ini, paradigma negara Khilafah ‘mengurus’ urusan jemaah haji serta umrah). Bukan paradigma bisnis untung serta rugi, terlebih memakai dana calon jemaah haji untuk bisnis, investasi, dan sebagainya.
Ketiga, penghapusan visa haji serta umrah. Kebijakan ini ialah konsekuensi dari hukum syara’ tentang kesatuan daerah yang terletak dalam satu negeri. Sebab jemaah haji yang berasal dari bermacam penjuru dunia Islam dapat leluasa keluar masuk Makkah–Madinah tanpa visa. Mereka hanya butuh menampilkan kartu bukti diri seperti KTP ataupun paspor. Visa hanya berlaku untuk kalangan Muslim yang jadi masyarakat negeri kafir, baik kafir harbi hukman ataupun fi’lan.
Keempat, pengaturan kuota haji serta umrah. Khalifah berhak untuk mengendalikan permasalahan ini, sehingga keterbatasan tempat tidak jadi hambatan untuk para calon jemaah haji serta umrah. Pengaturan ini dapat berjalan dengan baik bila Khilafah memiliki informasi seluruh rakyat di wilayahnya, sehingga mempermudah pengaturan ini serta terlaksana dengan baik dan lancar.
Kelima, pembangunan infrastruktur Makkah–Madinah. Pembangunan ini sudah dilakukan sejak era Khilafah Islam. Mulai dari ekspansi Masjidil Haram, Masjid Nabawi, sampai pembangunan transportasi massal serta penyediaan logistik untuk jemaah haji serta umrah. (tintasiyasi.com )
Wallahualam bishawab.
Views: 19
Comment here