Oleh Yuyun Rumiwati
اِنَّ الدِّيْنَ عِنْدَ اللّٰهِ الْاِسْلَامُ ۗ وَمَا اخْتَلَفَ الَّذِيْنَ اُوْتُوا الْكِتٰبَ اِلَّا مِنْۢ بَعْدِ مَا جَاۤءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْيًاۢ بَيْنَهُمْ ۗوَمَنْ يَّكْفُرْ بِاٰيٰتِ اللّٰهِ فَاِنَّ اللّٰهَ سَرِيْعُ الْحِسَابِ
“Sesungguhnya agama di sisi Allah ialah Islam. Tidaklah berselisih orang-orang yang telah diberi kitab kecuali setelah mereka memperoleh ilmu, karena kedengkian di antara mereka. Barang siapa ingkar terhadap ayat-ayat Allah, maka sungguh, Allah sangat cepat perhitungan-Nya.”
(Ali-Imran: 19).
*******
Wacana-edukasi.com — Nak, di saat dunia kian menua. Meski kita tak tahu kapan berakhirnya. Namun, hari kepastian datangnya kiamat haqqul yakin.
Sebagai bukti keyakinan itu, maka persiapan menghadapinyalah yang lebih penting. Sebagaimana saat ada seorang yang bertanya kepada Rasulullah kapan datangnya hari kiamat, maka Rasulullah jawab, apa yang telah kau persiapkan menghadapinya?
Alhamdulillah wa Syukurilah, jika sampai saat ini, Allah anugerahkan iman dan Islam yang menghunjam di dada. Dengannya kita punya satu potensi besar untuk mampu menapaki dunia yang sementara ini sebagai ladang mencari bekal untuk hari yang pasti ke alam akhirat.
Agar iman ini kokoh tentu tak cukup kita beriman secara perasaan, apalagi sebatas karena warisan. Namun, bukti kesyukuran kita harus berupa mengukuhkan keimanan dengan jalan berpikir cemerlang.
Belajar dari Keimanan Sahabat
Nak, mungkin engkau mengenal Ali Bin Abu Thalib sahabat Nabi yang paling muda masuk Islam. Saat Rasulullah kenalkan Islam. Tanpa ragu dan tidak perlu minta izin dari orang tua. Di usia yang cukup belia. Ia penuhi seruan masuk Islam dengan keyakinan yang mantap. Tampak dari tekadnya, “Jika ini sebuah kebenaran, mengapa aku harus minta izin untuk menerimanya?”
Nak, begitu pun, engkau pasti kenal sosok Umar bin Khattab. Sosok beliau yang tegas, bahkan amat ditakuti oleh orang-orang Quraisy. Namun, saat mendengar lantunan ayat Al-Qur’an dari adiknya. Akal dan nalurinya terketuk untuk menerima kebenaran Islam. Dengan mantap masuk Islam.
Nak, mungkin kita tidak mendapati proses seperti mereka. Namun, kita bisa belajar bagaimana proses mereka dan orang-orang yang teguh memegang Islam dengan segala risiko.
Nak, ternyata mereka adalah orang yang cerdas. Cerdas dalam makna menggunakan potensi akal untuk menemukan secara pasti kebenaran Allah sebagai Sang Pencipta satu-satunya tiada sekutu baginya.
Dimaksimalkan proses berpikirnya melihat segala ciptaan Allah di sekelilingnya. Bagaimana alam beserta isinya, manusia, dan kehidupan ini. Tenyata semua serba lemah dan terbatas.
Maka layak jika semuanya sekadar mahkluk. Pencipta dari segala makhluk, pastilah Sang Mahakuasa. Pasti berbeda dengan makhluk. Maka cukup sederhana tetapi mencerahkan, jika iman terhadap Allah sebagai Rabb yang satu.
Layak jika para sahabat maupun para mukmin yang memeluk Islam. Mengukuhkan keimanannya dengan jalan berpikir _mustanir_ (cemerlang). Akan mudah menerima apa yang diturunkan Allah yang dibawa Rasulullah Muhammad. Inilah iman produktif.
Nak, karena itu rawatlah iman dengan banyak tadabur ayat Kauniyah (ciptaannya) maupun Qouliyah ( Al-Qur’an). Dengannya potensi akal dan naluri yang Allah ciptakan akan mudah tunduk.
Nak, untuk menyusuri nikmat ini, bacalah perjalan para sahabat dan orang-orang saleh dalam mempertahankan keimanannya.
Bagaimana sahabat Bilal harus ditindih batu besar di bawah terik matahari. Bagaimana keluarga Yasir disiksa dengan sadis. Bagaimana Mus’ab Bin Umair harus rela meninggalkan segala kemewahan dunia yang selama ini ia dapat dari ibunya.
Kenapa mereka sedemikian teguh dan kuat. Iya, karena keimanan akan janji Allah dan rasul-Nya begitu melekat di benak dan naluri mereka. Pandangan terhadap nikmat akhirat begitu dekat dan tiada duanya dibanding dunia.
Nak, mungkin hari ini ujian keimanan kita tidak seberat mereka. Atau dibandingkan ujian saudara kita di Palestina pun tiada apa-apanya.Sungguh di sini kita masih banyak kemudahan.
Namun, di balik kemudahan itulah kadang kita kurang peka dengan ujian yang menyambar-nyambar keimanan kita.
Betapa ujian yang melenakan berupa makanan, musik, olahraga, dan berbagai kehidupan orang asing (bukan dari Islam) sangat deras menerpa kehidupan kalian, Nak.
Jika tak waspada, keimanan ini akan terkikis. Kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya sekadar ada dalam bibir atau bahkan hilang dari bibir. Tergantikan dengan artis idola yang dipropagandakan para kapitalis dan pebisnis. Tengoklah realitas BTS meal.
Nak, sungguh menjaga keimanan di saat tiada institusi Islam (khilafah) tidak mudah. Butuh kekuatan ilmu dan jiwa yang berlipat. Butuh komunitas dan orang-orang yang berintegritas yang melingkupi kita.
Nak, pesan kami orang tua, libatkan Allah selalu dalam aktivitasmu. Awali segalanya dengan menyebut namanya dan berlindung dari godaan setan musuh nyata manusia.
Nak, jangan pernah menjauh dari majelis ilmu atau majelis zikir. Di majelis itu engkau diingatkan akan kebesaran Rabb-Mu. Keagungan dan kesempurnaan agamamu. Serta bagaimana seharusnya engkau pegang hingga akhir hayatmu. Apa kontribusimu untuk agama dan umat Rasul-Mu.
Dengannya, insyaAllah nikmat iman dan Islam sebagai anugerah terindah akan Allah jaga.
Senantiasalah berdoa, Allahumma tsabit qolbi ‘ala diinik wa Tsabit ‘ala tha’atik wa da’watik.
Views: 115
Comment here