Opini

Nasib Buruh dalam Kapitalisme

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh: Normah Rosman (Pegiat Literasi)

wacana-edukasi.com, OPINI– Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) dan Partai Buruh mendesak pemerintah agar menaikkan upah buruh sebesar 15% pada tahun 2024 mendatang. Para buruh mengancam akan melakukan mogok kerja jika tuntutan tersebut tidak dipenuhi. Menurut Rosyad, kaum buruh telah melakukan aksi unjuk rasa berjilid-jilid untuk menuntut kenaikan upah minimun 2023. Namun, hingga kini permintaan mereka belum dipenuhi oleh pemerintah (cnbcindonesia.com, 27/10/2023).

Sebanyak 1.542 personel aparat kepolisian dikerahkan untuk mengawal demo buruh yang belangsung di Patung Arjuna Wiwaha atau patung kuda, Gambir, Jakarta Pusat, Jumat (27/10/2023). Petugas disebar di berbagai titik di Jakarta Pusat. AKP Dwi Hartono mengimbau agar para buruh dapat menjaga keamanan dan ketertiban saat menggelar aksi tersebut. Para demonstran menuntut kenaikan upah buruh sebesar 15% pada tahun 2024 dan setop perang Israel-Palestina (kompas.com, 27/10/2023).

Demo Buruh Rutinitas Tiap Tahun

Demo buruh kembali terjadi dengan tuntutan kenaikan upah sebesar 15% untuk tahun 2024 mendatang. Hal ini dipicu oleh kenaikan gaji PNS, biaya hidup yang semakin tinggi dan naiknya harga pangan. Ditambah lagi dengan pernyataan Bank Dunia yang mengatakan jika posisi Indonesia kini dianggap menjadi negara dengan berpenghasilan menengah atas. Hal ini sejalan dengan menguatnya ekonomi Indonesia dengan pertumbuhan sebesar 5,3% pada tahun 2022, sehingga gross national income atau GNI perkapita Indonesia naik hingga 9,83% pada tahun 2022 lalu.

Tentu saja dengan adanya demo berjilid-jilid meminta kenaikan gaji yang kerap terjadi tiap tahunnya membuktikan abainya negara terhadap nasib kaum buruh. Di tengah naiknya harga-harga di pasaran baik itu kebutuhan pangan hingga kebutuhan sekunder dan papan. Tapi upah para buruh tak bisa lagi mengimbangi kenaikan harga-harga tersebut. Apalagi saat ini kondisi ekonomi Indonesia telah mencapai level menengah atas, yang berarti penduduknya lebih sejahtera ekonominya dibandingkan pada tahun-tahun sebelumnya. Meskipun pada tahun 2019 Indonesia juga sempat mencapai ekonomi menengah atas, tapi harus turun saat pandemi melanda.

Dalam sistem kapitalisme, buruh dieksploitasi tenaganya yang didukung penuh oleh regulasi zalim ala kapitalis. Buruh hanya dianggap sebagai salah satu faktor produksi, sehingga keberadaannya tidak terlalu diperhitungkan dalam prinsip ekonomi kapitalisme. Dalam prinsip ekonomi yang dianut, nasib buruh tak akan pernah sejahtera. Terlihat dari bagaimana mereka terus memperjuangkan kenaikan gaji tiap tahunnya dengan melakukan aksi unjuk rasa hingga mogok kerja demi memperoleh kenaikan gaji yang mereka harapkan akan sesuai dengan laju kenaikan harga barang di pasaran.

Masalah pada buruh sebenarnya dipicu oleh dasar yang digunakan oleh sistem kapitalis yaitu kebebasan kepemilikan, kebebasan bekerja dan living cost terendah yang dijadikan sebagai standar penentuan gaji buruh. Dengan kata lain living cost terendah hanya membuat buruh mendapatkan sesuatu sekadar untuk mempertahankan hidup mereka, bukan memenuhi kebutuhan hidup mereka.

Bagaimana Islam Mengatasi Masalah Buruh?

Islam mempunyai cara yang unik dalam mensejahterakan para buruh yang ada dalam naungan negara Islam (Daulah Khilafah). Dalam Islam konsep kebebassan kepemilikan (hurriyah milkiyyah) tidak ada, bahkan sangat ditentang dalan Islam. Tapi Islam mengajarkan konsep kebolehan/kehalalan kepemilikan (ibahatu al-milkiyyah). Kedua konsep ini jelas berbeda, konsep hurriyah milkiyyah membebaskan siapapun untuk memiliki apapun dengan sebab kepemilikan apapun tanpa melihat halal dan haram. Sedangkan konsep ibahatu al-milkiyyah kepemilikan berdasarkan faktor halal dan haram, setiap muslim bisa saja memiliki tapi caranya harus terikat dengan cara yang ditentukan oleh syariah, karena hukum dasar kepemilikan adalah mubah.

Dalam Islam juga tidak mengenal konsep kebebasan bekerja (hurriyyatu al-amal), Islam hanya mengenal konsep ibahatu al-milkiyyah. Konsep kebebasan bekerja membebaskan manusia untuk melakoni pekerjaan apapun tanpa melihat apakah pekerjaan tersebut halal atau haram. Sedangkan konsep ibahatu al-milkiyyah yang diusung oleh Islam, faktor halal dan haramlah yang menjadi patokan dalam pekerjaan seseorang, karena bekerja merupakan aktifitas yang hukumnya mubah. Tiap muslim boleh bekerja, tapi pekerjaan yang ia lakukan kelak akan menghasilkan harta jelas terikat dengan hukum syariah.

Islam juga mempunyai cara sendiri dalam menentukan standar gaji, standar gaji yang digunakan adalah manfaat tenaga (manfa’at al-juhd) yang diberikan oleh buruh, bukan living cost terendah. Sehingga eksploitasi tidak akan terjadi terhadap buruh. Buruh dan pegawai negeri sama. Karena buruh mendapatkan upahnya sesuai dengan ketentuan upah sepadan yang berlaku di tengah masyarakat. Jika terjadi sengketa antara buruh dan majikan dalam menentukan upah, maka pakar (khubara’) yang akan menentukan upah sepadan (ajr al-mistl). Tentu saja pakar yang ditunjuk adalah pilihan kedua belah pihak, bukan pilihan salah satunya saja. Tapi jika keduanya belum juga menemukan kata sepakat maka negara akan bertindak dalam memilihkan pakar untuk mereka. Negara jugalah yang akan memaksa kedua belah pihak untuk mengikuti keputusan pakar tersebut.

Terkait hak berserikat untuk buruh, dalam hal ini Islam tidak menafikan. Mereka boleh berkumpul, baik sesama buruh, maupun buruh dengan majikannya. Diperbolehkannya hak berserikat ini bukan berarti para buruh bisa membentuk serikat buruh. Karena kedua hal tersebut berbeda. Karena membentuk serikat buruh yang mengurusi kesejahteraan para buruh hanya bisa dilakukan oleh negara, karena merupakan aktifitas ri’ayatu as-syu’un. Kegiatan ri’ayatu as-syu’un hanya diberikan kepada negara, karena negaralah yang akan bertanggungjawab terhadap perkara parsial maupun menyeluruh.

Mengenai aktivitas mogok kerja, pada dasarnya hal ini tidak ada dalam Islam. Karena kontrak kerja buruh dan majikan merupakan akad ijarah. Akad ijarah sendiri merupakan akad yang mengikat, bukan akad sukarela sehingga bisa dibatalkan oleh salah satu pihak. Sedangkan untuk dana pensiun, penghargaan dan kompensasi yang diberikan kepada buruh, tidak ada dalam konsep Islam. Karena negaralah yang akan menjamin rakyatnya agar bisa memenuhi kebutuhannya pada saat mereka telah pensiun atau jika terjadi kecelakaan kerja yang berakibat si buruh tidak bisa lagi bekerja. Karena kewajiban ini merupakan kewajiban negara bukan kewajiban majikan maupun perusahaan.
Wallahu a’lam bishawab.

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 111

Comment here