Oleh Nani Sumarni (Aktivis Dakwah)
Wacana-edukasi.com, OPINI-– Nasib para Tenaga Kerja Wanita (TKW) di luar negeri sering kali menjadi kisah yang penuh perjuangan namun juga penuh tantangan. Mereka meninggalkan keluarga dan kampung halaman demi menggapai harapan hidup yang lebih baik, sekaligus menyumbang devisa yang signifikan bagi negara. Namun, meski disebut sebagai “pahlawan devisa,” tidak sedikit dari mereka yang terjebak dalam situasi kerja yang tidak manusiawi, menjadi korban eksploitasi, atau bahkan terlantar tanpa perlindungan yang memadai.
Seperti yang dialami oleh seorang warga bernama Lilis Ule (44) TKW asal Kampung Sindangwargi RT01 RW18, Desa Cileunyi Wetan, Kecamatan Cileunyi, Kabupaten Bandung. Sebagai seorang janda dengan tiga anak yang harus mengais rezeki ke negeri orang dengan harapan untuk memperbaiki ekonomi keluarga. Tetapi nahas yang terjadi, selama 2,3 tahun di Dubai, Uni Emirat Arab Lilis tersiksa dan terlantar.
Kepulangan Lilis sebelumnya sempat ditangani oleh dinas terkait di Pemkab Bandung, termasuk Balai Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) Jabar dan pusat yang disambungkan oleh Tenaga Kerja Sosial Kecamatan (TKSK) Cileunyi. Ternyata proses pemulangan TKW asal Cileunyi ini tidak ada kejelasan selama 5 bulan, dan akhirnya ia bisa pulang ke tanah air secara mendiri dan biaya sendiri. (Jabarekpres.com, 30 Oktober 2024)
Kasus tersebut bukanlah hal pertama terjadi, hampir Setiap tahun kasus TKW terus terulang. Mengadu nasib di luar negeri sejatinya bukan pilihan dari hati, melainkan kenyataan yang terpaksa harus dijalani karena dorongan kebutuhan hidup yang semakin hari semakin tinggi. Lapangan kerja di dalam negeri sendiri yang semakin sulit didapat, sehingga tidak memiliki banyak pilihan untuk mencari nafkah selain menjadi Tenaga Kerja Indonesia (TKI).
Kasus seperti ini terus berulang menunjukan bahwa perlindungan yang seharusnya negara berikan terhadap TKW masih sangat lemah. Pemerintah tidak bersifat proaktif dalam memberikan perlindungan hukum. Tidak sedikit TKW yang terjebak rekrutmen ilegal, perdagangan manusia (human trafficking) waktu kerja yang panjang, pemerasan, pemotongan upah, pelecehan seksual, pemerkosaan, hingga penganiayaan fisik maupun psikis.
Ini bukti pemerintah cenderung abai terhadap warga negaranya yang terlantar di luar negeri tetapi cepat merangkul mereka ketika dianggap “pahlawan devisa”. Fenomena ini sebagai cerminan sistem ekonomi kapitalisme yang menjadi landasan kebijakan pemerintah, di mana penggerak utama adalah keuntungan ekonomi dan bukan kesejahteraan manusia.
Dalam sistem kapitalis, negara sering kali hanya mendukung atau mempromosikan hal-hal yang mendatangkan keuntungan ekonomi. Kebijakan yang terlalu fokus pada aspek devisa dan pemasukan negara membuat aspek kesejahteraan menjadi tersisih. Negara tampak lebih mengutamakan nilai finansial yang dibawa oleh tenaga kerja migran ke kas negara ketimbang memperhatikan dan memenuhi hak-hak dasar mereka, terutama ketika mereka membutuhkan bantuan.
Para pekerja migran yang berada di luar negeri demi memperbaiki kondisi ekonomi keluarga sering kali tidak mendapat perhatian serius, terutama ketika menghadapi permasalahan hukum, kesehatan, atau kesejahteraan di negara asing.
Fenomena ini juga memperlihatkan minimnya regulasi dan perlindungan dari pemerintah. Meskipun Indonesia memiliki beberapa aturan terkait perlindungan tenaga kerja di luar negeri, implementasi dan pengawasannya sering kali tidak optimal.
Ketika para pekerja migran sukses memberikan sumbangan devisa, pemerintah cepat mengakui jasa mereka. Namun, dalam kondisi sebaliknya, sering kali tindakan yang diperlukan justru lambat diberikan.
Pemerintah semestinya tidak hanya mengukur nilai seorang pekerja dari aspek ekonomi semata, melainkan juga perlu menjamin hak, perlindungan, dan kesejahteraan bagi seluruh warga negara, baik di dalam maupun di luar negeri.
Berbeda dengan sistem Islam, negara akan sungguh-sungguh menjalankan riayah (pengaturan) terhadap warga negara. Kewajiban melayani pengurusan rakyatnya ini adalah sebagai bentuk tanggung jawabnya kepada Allah ta’ala, sehingga tidak mengambil keuntungan atau kompensasi sedikitpun. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah saw.
“Imam (kepala negara) adalah pengurus rakyat, dan dia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang dia urus.”(HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam sistem Islam, negara memiliki kewajiban utama untuk menjalankan fungsi riayah (pengaturan) yang bukan hanya sebatas urusan politik atau ekonomi, tetapi juga meliputi setiap aspek kehidupan rakyat. Negara berperan aktif dalam menyejahterakan dan melindungi warganya secara menyeluruh, memastikan bahwa setiap individu terpenuhi hak-haknya tanpa diskriminasi atau kepentingan ekonomi semata.
Selain itu, negara berkewajiban menyediakan lapangan pekerjaan seluas-luasnya dan layak untuk setiap individu yang mampu bekerja terutama bagi para laki-laki sebagai penanggung nafkah agar mereka bisa membiayai sepenuhnya kebutuhan keluarga baik berupa sandang, pangan bahkan papan.
Sistem Islam juga menekankan perlindungan terhadap kelompok rentan, termasuk perempuan, yang sering kali menjadi korban eksploitasi dalam ekonomi kapitalis. Wanita dalam Islam sangat dijaga kehormatannya, sekalipun diperbolehkan bekerja hukumnya mubah, namun tidak boleh sampai menelantarkan kewajibannya sebagai ibu dan pengatur rumah tangga.
Negara wajib memastikan hak-hak perempuan terpenuhi dalam berbagai aspek kehidupan, baik dari segi ekonomi, sosial, maupun hukum. Mereka dilindungi dari eksploitasi, kekerasan, dan diskriminasi.
Begitulah sistem Islam jika diterapkan dengan mekanisme pengaturan, pengawasan, dan penyediaan fasilitas yang adil bagi seluruh rakyat akan berjalan lebih optimal, sehingga masalah-masalah sosial seperti TKW terlantar bisa diminimalisir atau bahkan dihilangkan. Sistem Islam yang mengutamakan keadilan, kesejahteraan, dan perlindungan hak-hak individu dapat mewujudkan masyarakat yang lebih sejahtera dan harmonis.
Views: 8
Comment here