Oleh: Sumariya (Aktivis Muslimah)
Wacana-edukasi.com, SURAT PEMBACA– Setelah hampir sepekan terombang-ambing di laut, 150 pengungsi Rohingya di Aceh Selatan akhirnya dievakuasi ke daratan. Panglima Laot Aceh Selatan, Muhammad Jabal, mengatakan proses evakuasi sedang berlangsung di perairan sekitar 4 mil dari Pelabuhan Labuhan Haji.
Sebelumnya diberitakan, para imigran ini memasuki perairan Aceh Selatan pada Jumat (18/10/2024) dan diketahui oleh nelayan setempat setelah penemuan mayat perempuan di sekitar Pelabuhan Labuhan Haji pada Kamis (17/10/2024).
Meski tidak diizinkan mendarat, kebutuhan logistik seperti makanan tetap disalurkan kepada para pengungsi yang tetap berada di atas kapal, (kompas.com, 24/10/2024).
Nasib Muslim Rohingya hingga saat ini memang belum ada kepastian. Mereka tidak punya kewarganegaraan karena diusir dari tempat tinggal mereka, hingga mereka harus terombang-ambing di lautan. Di lautan mereka makan dan minum seadanya. Ketika berusaha mendarat di negeri Muslim lainnya sebagaimana di Indonesia, tak sedikit narasi-narasi kebencian ditujukan kepada mereka.
Mirisnya dunia yang telah menyaksikan penderitaan Muslim Rohingya justru diam seribu bahasa tak terkecuali pemimpin negeri-negeri Muslim. Di negeri ini, kondisi Muslim Rohingya tenggelam oleh penderitaan Gaza dan hiruk pikuk pemerintahan baru.
Saat mereka masuk ke perairan Indonesia mereka mendapat penolakan dengan berbagai alasan hingga akhirnya mereka diterima dan mendarat.
Sesungguhnya persoalan rohingya adalah persoalan umat Islam, namun pemahaman ini diabaikan oleh umat Islam terutama penguasa negeri-negeri Muslim. Mereka menganggap persoalan Muslim Rohingya adalah persoalan negara lain. Alhasil, setiap wilayah negeri-negeri muslim merasa tidak bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan kepada Muslim Rohingya.
Sejatinya, sikap seperti ini tidak pernah diajarkan dalam ajaran Islam. Hubungan antara satu Muslim dengan Muslim lainnya adalah hubungan saudara. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Kaum mukmin itu sesungguhnya bersaudara.”
(TQS. Al-Hujurat [49]: 10)
Seorang saudara tentu tidak akan membiarkan saudaranya mengalami keterpurukan. Mereka tentu akan memberikan perlindungan terbaik hingga saudaranya jauh dari bahaya dan terjamin keselamatannya. Bukan hanya diibaratkan sebagai saudara, Islam juga mengibaratkan kaum Muslim sebagai satu tubuh.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam bersabda:
“Perumpamaan orang-orang beriman dalam hal saling mencintai, mengasihi, dan saling berempati bagaikan satu tubuh. Jika salah satu anggotanya merasakan sakit, seluruh tubuh turut merasakannya dengan berjaga dan merasakan demam.”
(HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Dalil-dalil ini menunjukkan bahwa persaudaraan seakidah lebih erat dibandingkan persaudaraan karena ikatan lainnya. Namun, ikatan akidah yang seharusnya mengikat kaum Muslimin hari ini tampaknya sudah hilang. Jika ditelaah dan dikaji, lenyapnya ikatan akidah ini disebabkan oleh hadirnya sekat-sekat nasionalisme yang memisahkan satu negeri Muslim dengan negeri-negeri Muslim lainnya.
Sejak institusi pemersatu kaum muslimin Khilafah Islamiyah runtuh pada tahun 1924, tidak ada lagi junnah (perisai/pelindung) kaum Muslimin. Sejak saat itu pula, melalui perjanjian Sykes Picot para penjajah Barat terutama Inggris, membagi-bagi wilayah Khilafah Islam dan menguasainya hingga mengaturnya dengan sistem aturan Barat (kapitalisme-demokrasi).
Penerapan sistem kapitalisme yang mengabaikan peran agama dalam mengatur kehidupan justru membawa petaka bagi kehidupan umat Islam. Penjajahan fisik maupun non fisik tak terhindarkan. Negara-negara Barat memang mengusung HAM, khususnya Amerika Serikat memosisikan diri sebagai polisi dunia. Namun, hukum-hukum internasional yang lahir dari sistem kapitalisme sama sekali tidak memberi harapan akan kebaikan umat Islam. Bahkan meski sudah ada konvensi tentang penanganan pengungsi, persoalan pengungsi rohingya tidak juga terselesaikan.
Padahal, dahulu saat kaum Muslimin masih hidup di bawah naungan Khilafah, tidak ada seorang muslim pun yang dibiarkan oleh Khalifah terancam keselamatannya. Bahkan Khalifah siap mengerahkan pasukan jihad hanya untuk melindungi satu jiwa warganya atau melindungi kehormatan seorang wanita.
Maka, tidak ada jalan lain untuk menyelamatkan saudara Muslim kita di Rohingya hingga di negeri-negeri lainnya seperti Palestina, Suriah, Uighur, Lebanon, dan Kazakhstan kecuali umat Islam memiliki institusi yang menyatukan dan memberikan perlindungan.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam bersabda:
“Sungguh Imam (Khalifah) adalah perisai, orang-orang berperang di belakangnya dan berlindung kepada dirinya.”
(HR. Muslim)
Kembalinya Negara Islam yakni Khilafah sungguh akan menyatukan umat Islam di bawah penerapan aturan Islam kaffah. Pada saat itu, Khalifah sebagai pemimpin umat Islam akan menjalankan perannya sebagai perisai. Khilafah akan membela dan melindungi hak-hak kaum Muslimin Rohingya dan Muslim lainnya yang tertindas.
Sebagai negara super power dengan kekuatan dan pengaruh politiknya, Khilafah akan memberikan sanksi tegas kepada rezim Myanmar yang sudah menganiaya kaum Muslimin Rohingya serta akan mengirimkan pasukan untuk membebaskan mereka, bahkan akan menjadi jalan dibebaskannya Myanmar dengan Islam demi mewujudkan jaminan nyawa, harta, dan kehormatan kaum Muslimin.
Perwujudan Khilafah inilah yang hari ini sangat dibutuhkan oleh umat Islam.
Wallahu a’lam bishshawab
Views: 3
Comment here