Oleh: Saffanah Ilmi Mursyidah, Pegiat Literasi
Wacana-edukasi.com, OPINI-– Pemangkasan program makan bergizi gratis (MBG) kembali menjadi sorotan setelah pemerintah menyatakan keterbatasan anggaran sebagai alasan utama kebijakan ini. Ironisnya, keputusan tersebut muncul di tengah kenaikan harga bahan pokok dan tingkat inflasi yang mencapai 2,57%. Dengan alokasi hanya Rp10.000 per penerima, banyak pihak menilai nominal tersebut tidak realistis untuk memenuhi kebutuhan gizi seimbang. Menteri Pertahanan Prabowo Subianto sempat menyatakan bahwa Rp10.000 sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan gizi, namun pernyataan ini menuai kritik luas. Di tengah kenaikan harga bahan pokok, angka tersebut dinilai tidak mencukupi bahkan untuk makanan sederhana, apalagi memenuhi standar gizi yang layak.
Pemerintah berdalih bahwa keterbatasan anggaran menjadi alasan utama pemangkasan program ini. Namun, masalah ini mencerminkan tantangan yang lebih besar dalam sistem kapitalis yang dianut Indonesia. Dalam sistem ini, negara bergantung pada pajak sebagai sumber pendapatan utama, yang pada akhir Oktober 2024 mencapai Rp2.247,5 triliun. Pajak ini diambil dari rakyat yang sudah terbebani oleh kondisi ekonomi, sehingga menambah penderitaan mereka. Ironisnya, sebagian hasil pajak tersebut digunakan untuk mendanai program MBG, tetapi hanya mencakup sebagian kecil masyarakat — anak-anak dan ibu hamil — serta terbatas pada waktu makan siang. Hal ini menunjukkan bahwa negara hanya berperan sebagai regulator daripada pengurus kesejahteraan rakyat secara keseluruhan.
Keterbatasan cakupan program ini menyoroti bahwa pemerintah hanya melaksanakan program kerja tanpa memastikan dampak jangka panjang atau keberlanjutan manfaatnya. Program MBG lebih terlihat sebagai upaya pemerintah memenuhi janji politik daripada tanggung jawab nyata terhadap kesejahteraan rakyat. Kebijakan ini seakan menjadi simbol dari kegagalan negara dalam memastikan bahwa kebutuhan dasar rakyat terpenuhi secara merata. Ketergantungan pada sistem kapitalis dan pajak rakyat menunjukkan bahwa negara perlu lebih transparan dan bertanggung jawab dalam mengelola pendapatan negara.
Pemangkasan program makan bergizi gratis tidak hanya berdampak pada kelompok rentan saat ini, tetapi juga menghambat upaya membangun generasi yang sehat dan berdaya saing di masa depan. Jika pemerintah tidak memperbaiki prioritas kebijakan dan memastikan investasi pada kesejahteraan jangka panjang, kebijakan seperti ini hanya akan memperburuk kesenjangan sosial dan mengancam keberlanjutan kesejahteraan masyarakat.
Beginilah potret suram pemimpin yang lahir dari politik pragmatis dalam demokrasi, di mana hubungan rakyat dan penguasa seperti transaksi jual beli. Rakyat dipaksa membayar pajak dan iuran untuk fasilitas dasar, sementara penguasa kerap kehilangan empati terhadap penderitaan mereka. Politik pragmatis menjadikan kekuasaan sebagai alat bisnis demi keuntungan pribadi dan kelompok, tanpa memedulikan rakyat yang menjadi korban. Janji kampanye sering kali tidak diwujudkan, mengikis kepercayaan rakyat, dan membuktikan bahwa politik pragmatis hanya memperburuk sistem demokrasi.
Di sisi lain, islam memandang kekuasaan sebagai amanah yang harus dijalankan dengan tanggung jawab, berlandaskan prinsip keadilan dan pengabdian kepada Allah Swt. Rasulullah saw. bersabda, “Pemimpin yang adil adalah manusia yang paling dicintai Allah, sedangkan pemimpin yang zalim adalah yang paling dimurkai-Nya” (HR Tirmidzi). Dalam Islam, pemimpin berperan sebagai pengurus dan pelindung umat (raa’in dan junnah), dengan tujuan menciptakan kesejahteraan dan keadilan merata, tanpa mengumbar janji demi kemenangan politik.
Islam memiliki mekanisme khusus untuk memastikan kecukupan gizi rakyat, sehingga masalah seperti stunting dapat dicegah dengan efektif. Mekanisme ini bertumpu pada kekuatan baitulmal, yang memiliki pemasukan melimpah dan belanja negara yang dikelola sesuai syariat. Berbeda dengan APBN yang sering terhambat oleh defisit, baitulmal mampu menopang kebutuhan negara tanpa kendala serupa.
Salah satu kekuatan baitulmal adalah pemasukan besar dari pengelolaan sumber daya alam (SDA). Dalam Islam, SDA yang melimpah dikelola oleh negara, bukan individu atau asing, sehingga potensi surplus pemasukan sangat besar. Hal ini berbeda dengan sistem demokrasi, yang bergantung pada pajak dan membiarkan swasta menguasai SDA, sehingga penerimaan negara menjadi terbatas.
Kekuatan lain terletak pada belanja negara yang berorientasi pada syariat, di mana skala prioritas ditentukan untuk memenuhi kebutuhan dasar rakyat. Negara akan memfokuskan program-program untuk mengentaskan kemiskinan dan menciptakan lapangan kerja melalui pengelolaan SDA, yang membuka peluang kerja luas karena membutuhkan banyak tenaga kerja untuk eksplorasi dan eksploitasi.
Selain itu, negara dalam Islam tidak akan memungut pajak sembarangan. Pajak hanya diberlakukan jika baitulmal kosong, itupun terbatas pada laki-laki yang memiliki kelebihan harta. Negara juga menyediakan layanan kesehatan dan pendidikan gratis dengan kualitas terbaik yang merata di seluruh wilayah, memastikan masyarakat dapat mengaksesnya dengan mudah.
Islam pun menekankan pentingnya pemenuhan kebutuhan pokok, terutama makanan, sebagai dasar kehidupan manusia. Dalam hadisnya Rasulullah saw. bersabda, “Siapa yang bangun pagi dengan hati yang damai, tubuh yang sehat, dan makanan yang cukup untuk hari itu, maka seolah-olah dunia telah dimiliki sepenuhnya.” (HR Tirmidzi). Oleh karena itu, Islam menetapkan mekanisme untuk memastikan kebutuhan rakyat terpenuhi, dimulai dengan kewajiban laki-laki untuk menafkahi diri dan keluarganya, serta mendorong kerabat dekat untuk membantu jika belum tercapai, dan negara wajib turun tangan jika kedua hal tersebut belum mencukupi.
Negara juga harus menyediakan layanan dasar seperti keamanan, pendidikan, dan kesehatan bagi seluruh warganya. Semua layanan ini dibiayai dari dana baitulmal, yang diperoleh dari sumber-sumber pendapatan negara seperti fai’, ghanimah, anfal, kharaj, jizyah, serta hak milik umum dan negara lainnya. Dengan memaksimalkan sumber-sumber ini, negara Islam memastikan pemenuhan kebutuhan rakyat secara merata tanpa terbatas pada kelompok tertentu. Sistem ekonomi Islam berfokus pada kemandirian negara dalam memenuhi kebutuhan rakyat tanpa bergantung pada pihak luar, dengan berusaha memproduksi sendiri bahan baku yang diperlukan. Selain itu, kepemimpinan dalam Islam diharapkan amanah, di mana pemimpin bertanggung jawab sebagai pengurus dan pelindung rakyat, yang akan dihisab oleh Allah. Kepemimpinan yang amanah menjadi kunci kesejahteraan rakyat dan mencegah korupsi. Sistem ini sangat berbeda dengan kapitalisme, yang cenderung menguntungkan penguasa dan pengusaha, sementara rakyat tetap terpinggirkan dan jauh dari kesejahteraan sejati.
Views: 6
Comment here