Oleh: Neni Sumarni (Praktisi Pendidikan)
Wacana-edukasi.com — Sejak 31 Desember 2020 tahu dan tempe mulai menghilang dari peredaran. Tahu dan tempe sangat sulit ditemukan di pasar tradisional atau penjual keliling. (Republika.co.id, 2/1/2021)
Bahkan, di beberapa pasar tradisional di Kota Tangerang, Banten, tahu dan tempe tidak lagi dijual. Ternyata, penyebab tahu dan tempe menghilang karena harga kedelai yang tinggi. Naiknya harga bahan baku kedelai impor membuat para pengrajin tahu di Bogor hingga se-Jabodetabek melakukan libur produksi massal mulai 31 Desember 2020 hingga 2 Januari 2021. Hal tersebut dilakukan sebagai bentuk protes kepada pemerintah karena tidak ada perhatian pada pengrajin tahu dan tempe mengenai kenaikan harga kedelai.
Sekjen Sedulur Pengrajin Tahu Indonesia (SPTI) Musodik, mengatakan sekitar 25 pengrajin tahu di Bogor yang tergabung dalam SPTI juga turut libur produksi. Mereka tersebar di daerah Parung, Jasinga, Cibinong, dan Leuwiliang, Kabupaten Bogor. Termasuk di Bogor, kenaikan harga kedelai juga terjadi. Musodik merincikan, dua bulan lalu harga bahan baku kedelai masih Rp 7.000 per kilogram. Namun, kini sudah meningkat hingga Rp 9.200-9.500 per kilogram. “Yang naik itu ada dua jenis yang paling banyak dipakai para perajin tahu kelas besar, sedang, dan kecil, yaitu Grade B dan Grade C, selama dua bulan itu naik nggak kira-kira,” ujar Musodik kepada Republika di Cibinong, Jumat (1/1).
Dengan naiknya harga bahan baku tersebut, para pengrajin tahu merugi karena keuntungan mereka kian berkurang. Bahkan, Musodik mengatakan, 30 persen perajin tahu kelas kecil se-Jabodetabek sudah berhenti produksi karena tidak mendapat banyak keuntungan.
Hal yang serupa juga dirasakan oleh Konsumen di Pasar Induk Kramat Jati, Jakarta Timur, mengeluhkan hilangnya stok tahu dan tempe di lapak pedagang dalam dua hari terakhir. Kejadian ini imbas mogok produksi di kalangan perajin kedelai (merdeka.com, 4/1/2021).
Sungguh, kenaikan harga bahan pangan sangat berdampak pada institusi terkecil, yakni keluarga. Harga naik, daya beli masyarakat pun jadi berkurang. Akibatnya dapat berpengaruh terhadap kesehatan anak, tumbuh kembang fisik dan mentalnya. Kenaikan harga ini terjadi karena negara kita masih mengandalkan impor dalam beberapa produk pangan, termasuk kedelai, beras dan lain lain. Adanya impor produk-produk tersebut akan sangat mempengaruhi harga di dalam negeri.
Sejatinya, kebijakan impor hanya menguntungkan segelintir pihak mafia yang bermain di sektor ini dan tidak pernah berpihak pada rakyat. Bahkan, berdampak pada semakin terpuruknya kesejahteraan rakyat. Hal ini sungguh disayangkan mengingat potensi lahan dan keanekaragaman hayati negeri ini begitu besar, namun tidak terkelola maksimal. Problem kenaikan harga pangan yang selalu berulang, menunjukkan betapa carut marutnya tata kelola bahan pangan di negeri kita. Inilah buah dari diterapkannya sistem ekonomi kapitalistik.
Berbeda halnya dalam sistem Islam. Dalam hal tata kelola pangan, Islam telah menjamin ketersediaan dan keterjangkauan kebutuhan pangan bagi tiap individu melalui penetapan aturan tata kelola pangan dalam islam. Islam mewajibkan penguasa untuk menjamin ketersediaan bahan pangan tanpa selalu mengandalkan pihak asing.
Kemandirian dalam menyediakan bahan pangan adalah hal yang penting. Meski impor tidak menjadi hal yang diharamkan jika memang diperlukan dan tidak membahayakan kedaulatan negara. Negara wajib mendukung petani agar berproduksi maksimal. Hal itu dapat berupa pemberian kemudahan mendapatkan bibit unggul, pupuk, mesin atau teknologi pertanian terbaru, menyalurkan bantuan permodalan, membangun infrastruktur pertanian, jalan, irigasi dan lainnya. Termasuk menyelenggarakan penelitian, pendidikan, pelatihan, pengembangan inovasi dalam bidang pertanian dan sebagainya.
Sungguh hanya sistem Islam solusi satu-satunya untuk mengatasi carut marut yang terjadi di negeri ini. Dalam hal pangan ini, negara menjadi kunci dalam mewujudkan kemandirian pangan.
Wallahua’lam bishawwab.
Views: 8
Comment here