Opini

Negara Ramah Rumah

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh : Lely Novitasari

(Aktivis Generasi Peradaban Islam)

wacana-edukasi.com, OPINI– Sebanyak 81 juta kaum milenial penduduk Indonesia belum memiliki rumah berdasarkan catatan data milik Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR). Untuk mengatasi problema ini pemerintah bersama jajarannya membangun hunian dan meresmikan apartemen transit oriented development (TOD) di dekat Stasiun Pondok Cina, Depok, Jawa Barat. Hunian ini terkoneksi langsung dengan akses ke KRL Commuter yang diperuntukkan untuk kaum milenial.

Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir melihat masih tingginya jumlah kaum milenial yang belum memiliki hunian disebabkan beberapa faktor, diantaranya kian padatnya ketersediaan lahan untuk pembangunan kawasan hunian di perkotaan dibanding wilayah pedesaan. Hal inilah yang mendorong pemerintah memfokuskan kaum milenial agar mudah mempunyai hunian yang terjangkau.

Hunian vertikal dan memiliki sistem TOD (transit oriented development) yang terintegrasi dengan moda transportasi umum dianggap mampu menjawab kebutuhan hunian kaum milenial.

Rumah kebutuhan mendasar

Rumah adalah salah satu kebutuhan pokok manusia yang harus terpenuhi. Selain sebagai tempat tinggal, rumah juga memiliki nilai penting sebagai investasi jangka panjang. Namun, pandangan bahwa rumah hanya menjadi kebutuhan milenial saja adalah salah besar. Berikut ini mengenai mengapa rumah bukan hanya kebutuhan milenial saja.

Pertama, kebutuhan akan rumah menjadi semakin penting dengan bertambahnya usia seseorang. Semakin seseorang bertambah tua, semakin besar kebutuhan untuk memiliki tempat tinggal yang nyaman dan aman. Hal ini terkait dengan kesehatan, keamanan, dan kenyamanan di masa tua terlebih bila sudah berumah tangga.

Kedua, rumah juga menjadi kebutuhan bagi keluarga yang memiliki anak. Rumah dapat menjadi tempat yang aman dan nyaman bagi anak-anak untuk tumbuh dan berkembang. Anak-anak juga memerlukan ruang yang cukup untuk belajar dan bermain, sehingga memerlukan rumah yang cukup besar.

Ketiga, rumah merupakan kebutuhan seluruh masyarakat tanpa terkecuali, termasuk masyarakat yang berpenghasilan rendah/ merupakan pekerja serabutan bukan hanya kaum milenial.

Belum terpenuhinya kebutuhan rumah ada banyak faktor, antara lain:

1. Keterbatasan lahan yang tersedia untuk pembangunan hunian di pusat kota/ dekat tempat kerja.
2. Biaya material dan tenaga kerja yang mahal dalam pembangunan rumah.
3. Masalah regulasi dan perizinan yang kompleks dalam pembangunan hunian.
4. Adanya spekulasi pasar properti yang membuat harga rumah semakin tinggi.
5. Tidak meratanya pembangunan hunian di seluruh wilayah, sehingga terdapat daerah-daerah yang padat hunian ada pula yang sedikit hunian. Sebab terpusatnya tempat kerja di kota belum merata sampai ke daerah.
6. Faktor ekonomi, seperti tingginya inflasi dan suku bunga yang membuat harga rumah semakin sulit dijangkau oleh masyarakat.
7. Adanya ketimpangan pendapatan yang tinggi di masyarakat, sehingga hanya sebagian kecil yang mampu membeli rumah.
8. Masalah infrastruktur yang kurang baik, seperti akses transportasi yang sulit, membuat beberapa daerah menjadi kurang menarik untuk dibangun hunian.

Tak dimungkiri dalam sistem kapitalis yang nampak diterapkan dalam aspek perekonomian hari ini, kebutuhan rumah dibebankan menjadi tanggung jawab individu. Negara seakan abai atas kondisi rakyat yang lemah dan miskin. Perhatian atas pemenuhan rumah pun seharusnya   tidak hanya pada milenial, tapi pada semua masyarakatnya.

Berdasarkan survei dari Kantor pemerintah seperti Badan Pusat Statistik (BPS) atau Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) mengenai harga rumah di berbagai daerah di Indonesia, terdapat variasi harga rumah yang cukup signifikan antara satu daerah dengan daerah lainnya. Harga rumah biasanya dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti lokasi, ukuran, fasilitas, dan juga perkembangan ekonomi suatu daerah.

Secara umum, harga rumah di daerah perkotaan cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan daerah pedesaan. Selain itu, harga rumah di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Bandung juga cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan kota-kota kecil atau daerah-daerah pinggiran. Faktor lain seperti ketersediaan infrastruktur yang baik, perkembangan ekonomi, dan ketersediaan fasilitas umum seperti pusat perbelanjaan, sekolah, dan rumah sakit juga dapat mempengaruhi harga rumah di suatu daerah.

Namun, harga rumah di Indonesia terus mengalami kenaikan setiap tahunnya dan masih tergolong cukup mahal, terutama bagi masyarakat dengan penghasilan rendah dan menengah. Oleh karena itu, selayaknya pemerintah terus berupaya untuk menciptakan kebijakan dan program-program yang dapat membantu masyarakat untuk memperoleh hunian yang layak dan terjangkau bagi seluruh lapisan masyarakat.

Di sisi lain data mengenai hunian rumah yang tidak berpenghuni di Indonesia juga ada. Beberapa survei dan penelitian menunjukkan bahwa angka hunian rumah kosong di Indonesia cukup signifikan.

Menurut data dari Kementerian PUPR, pada tahun 2020 terdapat sekitar 3,3 juta unit rumah kosong di Indonesia, yang sebagian besar berada di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Bandung. Beberapa faktor yang menyebabkan tingginya angka hunian rumah kosong di Indonesia antara lain adalah:

1. Spekulasi properti: Beberapa orang membeli rumah hanya untuk tujuan investasi dan tidak berencana untuk mendiaminya atau menyewakannya kepada orang lain.
2. Harga rumah yang tinggi: Tingginya harga rumah membuat sebagian orang sulit untuk membeli rumah, sehingga sebagian rumah tidak dihuni.
3. Tingginya mobilitas penduduk: Tingginya mobilitas penduduk, terutama di kota-kota besar, membuat beberapa orang memilih untuk tinggal di kos-kosan atau apartemen yang lebih dekat dengan tempat kerja atau sekolah. Yang akhirnya meninggalkan rumahnya yang jauh dari tempat kerja.

Hunian rumah yang tidak terisi tentu dapat menyebabkan dampak negatif, seperti kerusakan bangunan akibat kurangnya perawatan, lahan yang tidak terpakai/ sia-sia sebab menjadi tidak produktif. Masyarakat yang belum cukup ekonomi bahkan lebih memilih tinggal seadanya di bantaran kali, kolong jembatan dan tempat-tempat yang sangat tidak layak huni.

Oleh karena itu, perlu ada upaya untuk memperbaiki kondisi hunian kosong, seperti dengan memberikan hunian dengan biaya yang terjangkau bagi seluruh lapisan masyarakat.

Namun melihat solusi hunian vertikal dan memiliki sistem TOD (transit oriented development) terintegrasi dengan moda transportasi umum yang dibuat pemerintah untuk kaum milenial, apakah sudah menjawab secara tuntas problema hunian layak pada seluruh masyarakat hari ini?

Rumah Dalam Pandangan Islam

Islam memandang rumah adalah salah satu kebutuhan dasar/ pokok bagi seluruh lapisan masyarakat, ini semua menjadi tanggung jawab negara untuk memenuhinya. Sebab keberadaan rumah sangat penting bagi keberlangsungan hidup sebuah keluarga bukan hanya kaum milenial.

Sistem dan politik ekonomi Islam meniscayakan tersedianya rumah oleh negara. Dalam konteks ini, negara yang menerapkan sistem Islam memainkan peran aktif dalam memastikan ketersediaan rumah bagi seluruh masyarakat, terutama mereka yang membutuhkan.

Sumber pedapatan negara untuk membantu memenuhi kebutuhan pokok masyarakat di dapat dari zakat, jizyah, harta fa’i, ghanimah dan hasil pengelolaan sumber daya alam yang dimiliki dan dikelola negara.

Adapun hasil pendapatan yang di dapat dikelola di dalam baitul maal yang diperuntukkan untuk kebutuhan masyarakat. Seperti memberikan hunian yang layak dan terjangkau dari segi harga dan akses transportasi serta dekat dengan tempat mencari nafkah.

Tentu hal ini tak cukup hanya pemimpin yang amanah juga diperlukan sistem yang mendukung agar pemimpin itu amanah.

Dalam Al-Qur’an yang menegaskan di ayat berikut:

” Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila kamu memutuskan perkara di antara manusia untuk memutuskannya dengan adil. Sesungguhnya Allah memberikan pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”
(QS. An-Nisa: 58)

Ayat ini menegaskan bahwa Allah memerintahkan untuk memenuhi amanah dan memberikan keadilan ketika memutuskan suatu perkara di antara manusia dengan aturanNya. Hal ini juga menunjukkan betapa pentingnya kepemimpinan yang amanah dan adil yang dapat dikondisikan dengan sistem Islam.

Selain itu, dalam hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda, “Tidak ada seorang pemimpin yang dipercayakan atas rakyat, kemudian ia meninggal dalam keadaan dia berkhianat atas rakyatnya, melainkan Allah melarangnya masuk surga.”
(HR. Bukhari dan Muslim)

Hadis ini menegaskan bahwa pemimpin yang dipercayakan atas rakyat harus benar-benar amanah dan menjaga kepercayaan yang diberikan kepadanya, karena jika tidak, maka ia akan berakhir dengan kehinaan di dunia dan di akhirat.

Pemimpin yang amanah terkondisikan dengan aturan yang diterapkan. Dengan aturan Islam, kebijakan dibuat untuk kemaslahatan umat/masyarakat seluruhnya tanpa terkecuali, dan bukan sebaliknya yang hanya dibuat untuk sekelompok elit pemilik modal dan kekuasaan. Sebab Islam menempatkan hak prerogratif pembuat kebijakan hanya pada Pencipta Kehidupan. Hingga negeri ini mampu menjadi negara ramah rumah untuk seluruh masyarakatnya bukan sekedar janji.

Wallahu’alam,

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 12

Comment here