Oleh: Ayla Ghania (Pemerhati Sosial dan Politik)
Wacana-edukasi.com — Selama ini sering bertanya-tanya kenapa Indonesia tampak berbeda nasib dengan negara-negara tetangga. Negara Singapura, Brunei Darussalam, serta Malaysia tampak lebih makmur dibanding Indonesia. Padahal jika dilihat dari luas wilayah, Indonesia memiliki wilayah yang jauh lebih luas. Dengan kata lain, Sumber Daya Alam pun lebih melimpah. Jika dilihat dari letak geografis maupun iklim juga tak jauh berbeda karena berada pada posisi garis khatulistiwa.
Indonesia Beralih Status Menjadi Negara Maju
Berikut rangking lima besar negara Asia Tenggara berdasar pendapatan perkapita. Singapura memiliki pendapatan per kapita US$52.841 (Rp708,07 juta), Brunei US$36.609 (Rp490,56 juta), Malaysia US$9.766 (Rp130,85 juta), Thailand US$5.816 (Rp83,17 juta), sementara Indonesia US$3.347 (Rp44,85 juta) (myindischool.com, 11/1/2019).
Pun tiba-tiba Kantor Perwakilan Dagang AS (USTR) menaikan level Indonesia menjadi negara maju, bersamaan dengan China, Brasil, India dan Afrika Selatan.
Ekonom Institute For Development of Economics and Finance, Enny Sri Hartati mengatakan Indonesia memang bisa dikatergorikan sebagai negara maju secara makro. Dengan indikator Indonesia telah masuk menjadi anggota G20 yaitu kelompok negara perekonomian besar dunia. Indikator berikutnya adalah Indonesia dalam beberapa tahun terakhir mencapai pertumbuhan ekonomi pada kisaran 5% (bbc.com, 24/2/2020).
Lain halnya dengan Indonesia yang tampak bangga dengan status baru. China yang telah memiliki kekuatan ekonomi terbesar kedua setelah Amerika justru lebih memilih status ‘negara berkembang terbesar di dunia’ dari pada status ‘negara maju’ (Kompas.com, 22/2/2020).
Singapura pun sempat menolak dikategorikan sebagai negara maju. Mereka lebih menyukai sebutan ‘negara berkembang’ selaku anggota Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) (cnbcindonesia.com, 25/2/2020).
Masyarakat awam tentu bingung dengan indikator yang dipakai dalam menentukan maju tidaknya suatu negara. Khususnya Indonesia, masyarakat merasakan dan melihat kemerosotan terjadi dalam segala sendi kehidupan. Permasalahan yang kompleks baik ekonomi, pendidikan, kesehatan, pelanggaran HAM, korupsi, ketidak adilan hukum, diskriminasi, penghinaan agama hingga merosotnya moralitas. Rasanya belum pantas disebut sebagai negara maju.
Sangat Dekat, tapi Berbeda
Buku “Why Nations Fail” karangan Daron Acemoglu dan James A. Robinson, memberi gambaran ‘So Close and Yet So Different’ (sangat dekat, tapi juga sangat berbeda). Mengambil contoh dua kota yang bersebelahan yaitu Nogales Noglades Arizona (Utara) dikuasai Amerika dan Nogales Sonoro (Selatan) yang masuk wilayah Mexico. Dua kota ini memiliki perbedaan yang kontras baik dari segi pendapatan rata-rata, pendidikan dan kesehatan.
Begitu pula dengan Korea Utara (bekas jajahan Rusia) dan Korea Selatan (bekas jajahan Amerika). Dari dua contoh kasus tersebut perbedaan kesejahteraan bukanlah disebabkan karena lingkungan atau budaya, melainkan karena peluang-peluang politik dan ekonomi yang dibuat secara sengaja. Artinya, kesejahteraan adalah sesuatu yang bisa diupayakan oleh sebuah negara.
Suatu negeri bisa sejahtera yaitu ketika pertama, bisa membuat institusi politik dan institusi ekonomi yang inklusif. Inklusif artinya rakyat terbuka membentuk, mengintervensi serta mengontrol institusi politik dan ekonomi tadi. Kebalikannya, institusi ekstraktif mengambil untuk kepentingan dirinya sendiri seperti yang dilakukan oleh para penjajah.
Kita bisa melihat bahwa suatu negeri yang konsisten terhadap idiologinya seperti Amerika maka akan mampu bangkit dan sejahtera. Pun demikian, kapitalisme tidak akan mampu mencegah oligarki (kekuasaan dikuasai segelintir orang). Artinya, meski suatu negeri memilih kapitalisme sebagai ideologinya, maka kelak berpotensi runtuh juga. Sementara negeri yang pernah dijajah maka cenderung mengekor cara hidup termasuk idiologi negeri penjajah.
Dengan demikian, negeri bekas jajahan-meski mengklaim diri memiliki idiologi- sesungguhnya idiologi yang dianut hanyalah idiologi bayangan. Idiologi semu, sehingga tidak mampu meraih kesejahteraan. Apatah lagi jika negeri penjajahnya tidak memberi warisan intitusi yang inklusif. Maka statusnya akan tetap menjadi negara berkembang, tak mampu maju.
Beda Penjajah Beda Nasib
Jika kita menengok kembali kepada sejarah, bahwa negara Singapura, Malaysia serta Brunei Darussalam sama-sama pernah dijajah Inggris. Sementara Indonesia lebih lama dijajah oleh Belanda. Pada dasarnya yang namanya penjajah itu tidak baik, pasti menyengsarakan rakyat. Namun, perbedaan perilaku penjajah berpengaruh terhadap masa depan negara jajahannya. Sebutlah Singapura, Malaysia, dan Brunei yang bernasib lebih maju daripada Indonesia.
Inggris mampu meninggalkan institusi politik dan institusi ekonomi yang inklusif di negeri jajahannya. Inggris ketika akan menduduki negeri koloninya, maka akan membawa serta keluarga dan teknologi. Inggris pun nampak memperhatikan Sumber Daya Manusia di wilayah jajahannya. Hingga wajar jika negeri bekas koloni pandai berbahasa Inggris. Sementara Belanda sangat terobsesi dengan Sumber Daya Alam. Mereka membangun infrastruktur untuk mengeruk kekayaan alam sebanyak-banyaknya (hipwee.com, 18/8/2017).
Terlepas dari itu semua, Islam adalah agama sekaligus Idiologi yang mampu menyelesaikan seluruh permasalahan rakyat. Pun ada sebagian negara yang mampu maju dengan sekularismenya, suatu saat akan menemui ajalnya.
Mengingat sekularisme adalah ideologi yang cacat sejak lahir yang mengharuskan manusia sebagai pembuat hukum. Sementara kita ketahui bersama bahwa akal manusia terbatas. Jadi, tidak ada Ideologi yang lebih layak diemban oleh sebuah negara selain ideologi Islam.
Wallahua’lam bishshawab
Views: 8
Comment here