Oleh : Siti Amelia Q.A SIP,. MIP.
Menteri Luar Negeri Indonesia, Retno Marsudi mengundang invertor Amerika Serikat (AS) untuk berinvestasi di kepulauan Natuna. Pernyataan tersebut disampaikan kepada Menteri Luar Negeri Amerika Serikat yakni Mike Pampeo saat berkunjung ke Indonesia. Seperti yang dikutip di laman Galamedia, 1 november 2020 pernyataan dari Menlu Indonesia. “Saya mendorong pebisnis AS untuk berinvestasi lebih banyak di Indonesia, termasuk untuk proyek-proyek di pulau terluar Indonesia, seperti pulau Natuna”. Ujarnya dalam konferensi pers kamis 29 Oktober 2020.
Adanya angin segar terhadap pernyataan Menlu Indonesia kepada Menlu AS, mengindikasikan kekuatan AS yang masih sangat kuat di Indonesia. Politik luar negeri suatu negara, sangat erat kaitannya dengan kebijakan-kebijakan yang diambil negara tersebut untuk tetap dapat mengukuhkan kekuatannya. Sebagai kekuatan hegemonik, barat dalam hal ini AS sampai saat ini belum tersaingi. AS seakan menjadi kekuatan tunggal yang belum ada pesaing dalam kancah internasional. Untuk itu, dalam rangka mempertahankan kekuatannya, AS kerap kali melakukan intervensi ke berbagai negara yang dianggapnya sebagai ancaman dan negara yang dianggap mampu menopang perekonomian serta stabilitas negaranya.
Intervensi yang dilakukan AS, tentu merupakan kebijakan yang paling dominan ala kapitalis. Hal ini dilakukan agar hegemoni politik, ekonomi, militernya semakin luas dan juga guna mencegah munculnya kekuatan regional yang dapat menandingi supremasi AS dalam kancah tatanan Internasional sebagai satu-satunya superpower. AS seakan membuat dirinya menjadinya kekuatan tanpa tanding, namun sejatinya akar yang menopang AS yakni ideologi kapitalisme, demokrasi, liberalisme dan lainnya merupakan ideologi yang rapuh, lemah, dan hancur. AS sadar akan hal itu, sehingga melakukan intervensi maupun imperialisme ke negara- negara adalah jalan satu-satunya untuk AS tetap bertahan, salah satunya intervensi ke Indonesia.
Selain bertemu dengan presiden dan jajaran menteri Indonesia. Mike Pompeo juga menyempatkan menggelar pertemuan dengan Gerakan Pemuda Anshor NU di Jakarta, pada hari Kamis 29 Oktober 2020, guna membahas perkembangan Islam di Indonesia. Islam yang dimaksud adalah Islam moderat, yakni Islam yang dinilai maju dan berpihak pada ide-ide barat arau ide-ide diluar Islam. Kedekatan Indonesia dengan AS bukanlah hal yang pertama, namun posisi politik Indonesia saat ini sedang dekat-dekatnya dan condong dengan China. Sedangkan AS dan China saat ini adalah dua rival ekonomi dunia. Kedatangan menteri luar negeri AS tentu mendapat sorotan China. Dalam kutipan berita CNN, China menyebut kedatangan Mike Pompeo ke Indonesia dalam rangka memprovokasi hubungan bilateral China-Indonesia dan mempengaruhi stabilitas kawasan terutama yang berhubumgan dengan laut China Selatan. Tindakan saling melontarkan serangan antara AS dan China wajar saja terjadi, mengingat mereka memiliki kepentingan yang sama terhadap Indonesia. China seperti yang kita ketahui merupakan negara dengan tingkat perekonomian yang tinggi, dapat dikatakan China raksasa ekonomi dunia saat ini. Jika ditelisik dari arah kebijakan politik, China memang hanya ingin menguasai perekonomian dunia saja tidak seperti rivalnya yakni AS yang memang menginginkan menjadi satu-satunya negara adidaya.
Tak bisa dimungkiri kedua negara tersebut sangat terobsesi dengan Indonesia. Seperti yang kita ketahui, Indonesia merupakan negeri muslim terbesar dengan kekayaan yang melimpah ruah serta memiliki SDM yang mumpuni sejatinya. Namun, bercokolnya sistem demokrasi yang notabene sistem buatan barat jelas membuat Indonesia kian terpuruk, negeri mayoritas muslim yang seharusnya diatur oleh hukum Islam malah membebek hukum buatan non Islam. Demokrasi membuka pintu-pintu kebebasan, ketidakadilan, penjajahan baik secara halus maupun terang-terangan, soft power dan hard power, dan sistem demokrasi meniadakan syariat Islam secara menyeluruh karena memang adanya ketidakcocokan antara penerapan syariat Islam dengan demokrasi.
Tak ayal, jika politik Indonesia terutama dalam kebijakan luar negeri sangat rentan mendapat intervensi asing. Berbagai Organisasi Internasional yang diikuti Indonesia guna mengukuhkan eksistensinya dalam kancah Internasional tak membuat posisi Indonesia sebagai penentu dalam berbagai kebijakan politik, Indonesia seakan hanya sebagai pelengkap saja dalam kancah Internasional tersebut.
Bagaimanapun juga, Indonesia sebagai negeri mayoritas muslim terbesar di dunia, tentu sangat memiliki peluang untuk menjadi the big power menyaingi kekuatan AS maupun China. Hal ini dapat terjadi jika Indonesia menerapkan syariat Islam sebagai satu-satunya hukum yang mengatur negara secara keseluruhan. Jika sistem Islam menjadi kendaraan politik Indonesia tak ayal Indonesia akan memiliki bargaining position di mata dunia, karena pengaturan Islam terhadap kerjasama dengan negeri kafir sangat tegas, menolak segala intervensi asing, sehingga negara memiliki kedaulatan penuh untuk berdiri sendiri.
Sistem Islam dengan ke-khilafahannya, memiliki kekuatan untuk menolak segara bentuk intervensi asing, karena ada aturan jelas yang bersumber dari Al-Qur’an dan As-Sunnah serta ijma’ sahabat, qiyas yang akan menjadi pondasi pembuatan hukum selain tambahan dari ijtihad para mujitahid terkait masalah hukum-hukum yang berkembang.
Teladan kita Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam sejak membangun Negara Islam di Madinah telah menjadikan hubungan beliau dengan seluruh darul kufur –seperti Quraisy atau kabilah-kabilah lainnya- berdasarkan prinsip mengemban dakwah, baik dalam hubungan peperangan dan perdamaian (war and peace), gencatan senjata, pertetanggaan (neighbourship), perdagangan, atau pun yang lainnya.
Dakwah Islam juga masuk ke jantung Eropa, sebagian wilayah Prancis, sampai menyentuh gerbang Vienna (Austria). Ke arah timur, dakwah Islam pun sampai ke Nusantara.
Prinsip ini didasarkan pada firman Allah Subhanahu wata’ala:
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلا كَافَّةً لِلنَّاسِ بَشِيرًا وَنَذِيرًا
“Kami tidak mengutus kamu (Muhammad) melainkan kepada seluruh umat manusia, sebagai pembawa berita dan pemberi peringatan.” (TQS Saba’ [34]: 28).
Inilah yang menunjukkan bahwa prinsip politik luar negeri Negara Islam adalah mengemban dakwah Islam sehingga Islam tersebar luas ke seluruh dunia.
Dakwah merupakan landasan utama dalam politik luar negeri Negara Islam. Karena dakwah adalah misi untuk menyampaikan kebenaran kepada seluruh manusia dan juga membangun hubungan dengan negara-negara lain secara damai. Dan dalam hubungan dengan negara lain khilafah memiliki batasan yang ketat, yakni harus sesuai dengan prinsip syariat Islam, terutama dengan hubungannya dengan lembaga Internasional. Khilafah tidak akan mungkin menjalin hubungan dengan lembaga yang tidak berasaskan hukum Islam. Sangat detailnya Islam sebagai sebuah sistem dan ideologi sehingga sangat wajar jika dalam sistem Islam memiliki kedaulatan penuh atas negaranya, dan hal ini patut menjadi pertimbangan sistem alternatif yang komprehensif bagi negeri-negeri muslim di dunia.
Wallahu a’lam bis shawab.
Views: 1
Comment here