Oleh: Mita Octaviani S.Pd.
wacana-edukasi.com– Sejatinya seorang ibu mendapat penghormatan penuh dari keluarganya, cinta dan perhatian dari suaminya. Permasalahan dan harapannya didengar ketika berbicara dan mendapatkan respon yang baik oleh lawan bicara. Dengan demikian ia dapat selalu tersenyum dalam menjalani aktivitas kehidupan rumah tangga ketika mendidik anak-anaknya dan mampu menghasilkan generasi terbaik untuk membangun peradaban sesuai fungsi manusia diciptakan yaitu untuk beribadah kepada-Nya.
Seorang ibu tentu mendambakan kehidupan rumah tangganya berjalan harmonis, bisa menyaksikan tumbuh kembang anak-anaknya, merawat diri lahir batin dengan bahagia, melayani suami tercinta, dan mampu bersosialisasi dengan baik.
Itulah impian dan harapan semua ibu di dunia. Tapi realitanya berbanding terbalik, sungguh sedih. Pada awal tahun 2022 berita menggemparkan datang dari daerah Brebes. Dikutip dari Suara.com seorang ibu diduga membunuh anaknya karena faktor depresi berat. Ekonomi dan masalah diduga menjadi biang permasalahan hingga sang ibu nekat melakukan tindak kriminal di luar fitrahnya.
Fenomena ini bukan hanya sekali. Teringat sebelumnya, pada bulan Juni tahun 2006 silam. Sebuah berita dilansir oleh media detiknews yang menceritakan seseorang berinisial AK (31), Sarjana Planologi ITB, diduga membunuh anaknya karena tekanan ekonomi. Kehidupannya yang kurang makmur membuatnya depresi, sehingga memicunya untuk menghabisi 3 anak kandungnya. Tentu ini seharusnya mengguncang kehidupan sosial bermasyarakat di negeri ini. Apakah benar hanya alasan ekonomi atau ada faktor lain yang menambah beban berat kehidupan sehingga bisa demikian mengguncang mental seorang manusia berbuat hal yang tidak masuk akal pada darah dagingnya sendiri.
Serangkaian ancaman problematika KDRT (Kekerasan dalam Rumah Tangga), perselingkuhan, pelecehan seksual, perundungan, pergaulan bebas, invasi Lg87 yang semakin nyaring dimana-mana. Semua ini menambah PR seorang ibu dalam menjaga kewarasannya membangun idealisme di keluarganya.
Muncul dalam diri para ibu rasa kekhawatiran yang dalam hingga di satu titik bisa mengantarkannya pada depresi atas ketidakberdayaannya menghadapi tantangan rusaknya kehidupan sosial saat ini. Tak ringan ibu mengandung selama 9 bulan, menahan sakit dan menahan beban perut ketika berjalan. Tak bisa menghindari rasa sakit yang luar biasa saat melahirkan lalu menyusui. Kasih ibu sepanjang masa. Tidak ada yang dapat membayar semua perjuangannya.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَوَصَّيْنَا الْإِنسَانَ بِوَالِدَيْهِ إِحْسَاناً حَمَلَتْهُ أُمُّهُ كُرْهاً وَوَضَعَتْهُ كُرْهاً وَحَمْلُهُ وَفِصَالُهُ ثَلَاثُونَ شَهْراً حَتَّى إِذَا بَلَغَ أَشُدَّهُ وَبَلَغَ أَرْبَعِينَ سَنَةً قَالَ رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَى وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحاً تَرْضَاهُ وَأَصْلِحْ لِي فِي ذُرِّيَّتِي إِنِّي تُبْتُ إِلَيْكَ وَإِنِّي مِنَ الْمُسْلِمِينَ
“Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdoa: “Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridhai. berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri.” (Qs. Al-Ahqaaf : 15)
Sebagaimana ayat di atas, penghormatan diberikan pada orangtua terkhusus sosok ibu juga kita temukan dalam sebuah hadits.
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ :يَا رَسُوْلَ اللهِ، مَنْ أَحَقُّ النَّاسِ بِحُسْنِ صَحَابَتِي؟ قَالَ أُمُّكَ، قَالَ ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ أُمُّكَ، قَالَ ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ أُمُّكَ، قَالَ ثُمَّ مَنْ، قَالَ أَبُوْكَ
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, “Seseorang datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan berkata, ‘Wahai Rasulullah, kepada siapakah aku harus berbakti pertama kali?’ Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Ibumu!’ Dan orang tersebut kembali bertanya, ‘Kemudian siapa lagi?’ Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Ibumu!’ Orang tersebut bertanya kembali, ‘Kemudian siapa lagi?’ Beliau menjawab, ‘Ibumu.’ Orang tersebut bertanya kembali, ‘Kemudian siapa lagi,’ Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Kemudian ayahmu.’” (HR. Bukhari no. 5971 dan Muslim no. 2548)
Realita di atas terjadi pasti ada sebab. Tak akan ada asap kalau tak ada api. Hakikatnya setiap manusia pasti menginginkan kebaikan. Hal ini tentu butuh dukungan penuh, mulai dari keluarga, lingkungan sosial masyarakat dan kebijakan negara.
Di luar ekspektasi seorang ibu terkadang dituntut harus berjuang sendiri tanpa dukungan keluarga, sosial masyarakat juga negara. Akibatnya seorang ibu bisa “babak belur” hingga akhirnya ia depresi bahkan tanpa berpikir panjang ada yang berujung mengakhiri hidupnya sendiri. Na’udzubillahi min dzalik.
Jika sudah terjadi sedemikian, siapa yang harus disalahkan? Kenapa ibu rela melakukan tugas di luar kodratnya jika kebutuhan dalam rumah tangganya sudah tercukupi? Faktor ekonomi selalu jadi kambing hitam. Sebetulnya, siapakah yang punya kekuasaan sebagai pengatur ekonomi, pendidikan, keharmonisan sosial? Rakyat? Jelas tidak cukup. Kenapa? Karena rakyat tak memiliki kuasa mengendalikan dan mengatur negara.
Pengatur ekonomi tentu yang memiliki kekuasaan, tak lain penguasa negara itu sendiri. Sistem perekonomian berjalan sesuai dengan apa yang diadopsi oleh penguasa negara. Sebagaimana diketahui publik negeri ini menganut sistem demokrasi yang perekonomiannya dominan ala kapitalis.
Kapitalis sebagai sistem pengaturan ekonomi negara tentu berefek domino pada ekonomi rakyatnya. Dalam skala kecil keluarga, ibu yang berperan sebagai manajer keuangan keluarga harus kerja keras putar otak agar upah suaminya mampu memenuhi kebutuhan keluarganya setiap bulan. Ibu dituntut sempurna “multitasking”, piawai dalam berbagai hal sumur, kasur, dapur. Tak ayal seorang ibu yang tak mendapatkan nafkah sempurna dari seorang suami menjadi depresi.
Ditambah lagi gaya hidup hedonis lahir dari sistem ekonomi kapitalis menambah berat rusaknya sendi-sendi kehidupan. Seorang ibu yang tak mampu membedakan mana kebutuhan dan keinginan akhirnya terjerumus dalam perilaku hedonis ini. Fenomena emak-emak sosialita pun muncul dari perilaku hedonis yang menuntut emak-emak untuk tampil eksis dan modis yang akhirnya membuat kantong suaminya meringis. Bank keliling pun melihat celah ini untuk memberikan solusi tambal sulam. Terjeratlah mereka dalam kubangan riba yang tak pernah berakhir bahagia.
Seorang ibu fitrahnya di rumah mengurusi keluarganya. Peran ini kemudian bergeser membuat ibu pergi ke luar rumah untuk mencari nafkah. Hal ini dilakukan semata untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga yang belum tercukupi dari upah suami saja. Keluarnya peran seorang ibu dari fitrahnya menimbulkan efek domino akibat sistem kapitalis yang diadopsi di berbagai negara.
Islam solusi
Dalam surah Al-Ahzab ayat 33 Allah Swt. berfirman:
yang artinya “Dan hendaklah kamu tetap tinggal di rumah-rumah kalian dan janganlah kalian berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah yang dahulu. Dan dirikanlah shalat, tunaikan zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, wahai ahlul bait, dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya”.
Rasulullah SAW bersabda:
“Sesungguhnya perempuan itu aurat. Jika dia keluar rumah maka setan menyambutnya. Keadaan perempuan yang paling dekat dengan Allah adalah ketika dia berada di dalam rumah”. (HR. Tirmidzi). Selain itu Rasulullah juga menjelaskan keutamaan wanita lebih baik diam di rumah dengan hadis yang lain yaitu “Aku tidak pernah tinggalkan godaan apapun yang paling berbahaya bagi para lelaki dibandingkan perempuan”. (HR. Bukhari dan Muslim).
Segala persoalan berbagai problematika ibu dapat dicegah dengan sistem Islam. Mengembalikan perannya sesuai fitrah hanya bisa dilakukan ketika Islam diterapkan tak hanya dalam lingkup keluarga tapi juga negara. Negara yang mau menerapkan aturan Islam akan menempatkan seorang Ibu pada posisinya yang mulia. Karena peradaban dimulai dari peran ibu dalam mendidik generasinya.
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah berdoa:
اَللَّهُمَّ مَنْ وَلِيَ مِنْ أَمْرِ أُمَّتِي شَيْئًا فَشَقَّ عَلَيْهِ فَاشْقُقْ عَلَيْهِ
Artinya: “Ya Allah, barangsiapa yang mengurusi urusan umatku kemudian dia merepotkan umatku maka susahkanlah dia.” (HR Muslim 1828)
Dalam riwayat lain Beliau bersabda:
وَمَنْ يُشَاقِقْ يَشْقُقِ اللَّهُ عَلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Barangsiapa yang menyulitkan (orang lain) maka Allah akan mempersulitnya para hari Kiamat.” (HR Al-Bukhari 7152)
Seorang ibu membutuhkan kata-kata dan semangat yang positif, bukan penghakiman. Seorang ibu butuh kewarasan dan ketenangan agar mampu mengasuh anak-anaknya dan menjadi sahabat suaminya dalam mengarungi rumah tangga. Hanya dalam sistem Islam yang telah terbukti sempurna akan mampu mengatasi berbagai masalah pelik ini dengan begitu akurat dan terperinci baik permasalahan ekonomi, pendidikan, sosial, melalui institusi sistem negara yang amanah. Pada akhirnya akan terbentuklah keluarga yang harmonis yang akan melahirkan generasi-generasi emas pembangun peradaban yang mulia. Ratusan tahun sejarah Islam telah membuktikannya.
Wallahu’alam,
Views: 107
Comment here