wacana-edukasi.com, SURAT PEMBACA– Ilmu padi. Semakin berisi semakin merunduk. Begitu pula dengan mengaji. Semakin banyak ilmu yang dimiliki, maka semakin taat seorang hamba kepada Rabb-nya.
Pada hakikatnya, ilmu agama bukanlah sebuah teori yang hanya sekedar dihafal di kepala. Lebih dari itu, ilmu agama adalah untuk diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan ilmu yang dimiliki, seorang muslim akan lebih berhati-hati supaya apa yang dilakukan tidak mengundang murka Allah.
Sebuah pertanyaan cerdas yang sekiranya dapat menjadi bahan perenungan, yakni: “Bagaimana seseorang bisa taat kepada pemilik semesta kalau ilmu agama saja ia tak punya?” Dengan perenungan secara mendalam, maka seseorang akan tergerak menghadiri majelis ilmu.
Apabila dalam diri seorang muslim telah terbentuk kesadaran secara penuh bahwa mengaji itu adalah bagian dari kewajiban yang harus ditunaikan, maka langkahnya akan membentuk irama yang sama dengan pemahamannya. Ia rela menempuh jarak berkilo-kilo meter untuk mereguk ilmu. Ia dengan senang hati menjadwalkan waktunya untuk menghadiri majelis surga. Dia begitu menikmati bermajelis dengan sahabat-sahabat salih yang saling mengingatkan untuk taat kepada Allah Swt.
Rasulullah Saw. bersabda: “Barang siapa menempuh satu jalan (cara) untuk mendapatkan ilmu, maka Allah pasti mudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR. Muslim)
Dengan merujuk pada hadis di atas, sejatinya hadis tersebut dapat menjadi alasan yang kuat mengapa seorang muslim memilih untuk terus menghadiri pengajian. Akhirnya, ia akan begitu mencintai dan menikmati ilmu yang dikaji. Semuanya tidak terlepas dari sebuah keyakinan bahwa mengaji adalah jalan mudah baginya untuk menggapai surga. Dengan ngaji orang akan mendapat ilmu. Dengan ilmu dia menjadi pribadi yang taat. Maka, tidak mustahil surga akan didapat asalkan dia ikhlas dalam beramal salih.
Hal positif tersebut seharusnya mendapat support. Adalah suatu hal yang aneh jika ngaji dinyinyirin.
Beberapa waktu lalu, viral pernyataan dari mantan presiden ke-5 RI, yakni: “Saya melihat ibu-ibu itu, maaf ya sekarang kan kayaknya budayanya, beribu maaf jangan lagi nanti saya di-bully, Kenapa toh Seneng banget ngikut pengajian?,” katanya dalam acara Kick Off Pancasila dalam Tindakan ‘Gerakan Semesta Berencana Mencegah Stunting’, Kamis, 16 Februari 2023 (pikiranrakyat.com, 17/02/2023).
Pernyataan di atas jelas menyakiti perasaan umat Islam. Mengapa ngaji dinyinyirin? Bukankah dengan mengaji orang-orang Islam akan semakin paham terhadap agama yang dianutnya? Bukankah dengan mengaji akan mampu membentuk pribadi yang salih/salihah?
Kemudian, masih di laman yang serupa, perempuan yang pernah menjabat sebagai RI 1 itu juga menyampaikan: “Maaf beribu maaf, saya sampai mikir gitu ini pengajian ini sampai kapan ya? Anaknya mau diapain?” (pikiranrakyat.com, 17/02/2023).
Pernyataan di atas jelas tidak berdasar. Kenyataannya, banyak ibu ngaji, anak-anak justru semakin terurus. Mengapa? Karena setelah mengaji, mereka paham bagaimana cara mendidik anak yang benar sesuai dengan sudut pandang Islam. Ayah sebagai kepala sekolah menjalankan perannya dengan baik. Pun dengan ibu sebagai guru. Keduanya ber-ta’awun dalam mewujudkan generasi emas yang berkepribadian Islam.
Mengaji merupakan fardhu ‘ain bagi setiap muslim. Lebih baik lagi seandainya negara mau membekali warga negaranya. Dengan edukasi secara rutin, maka diharapkan dapat membentuk pribadi-pribadi yang ditopang dengan keimanan yang kuat. Iman yang sudah kuat, tidak mustahil ia mau terikat aturan Allah secara kaffah.
Semoga ke depan tidak ada lagi yang suka nyinyir terhadap aktivitas pengajian. Ngaji itu wajib, jangan dinyinyirin!
Ummu Haneem
Views: 110
Comment here