Opini

Nikah Beda Agama Dikabulkan, Bukti Negara Tak Patuh Agama

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh: Siti Muslikhah

wacana-edukasi.com, OPINI– Allah Swt. pencipta manusia dan alam semesta ini telah menurunkan aturan yang sempurna yaitu Islam. Agama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. ini mengatur seluruh aspek kehidupan manusia termasuk pengaturan hubungan laki-laki dan perempuan dalam sebuah pernikahan.

Pernikahan adalah pintu dihalalkannya hubungan laki-laki dan perempuan untuk tujuan mendapatkan keturunan. Islam telah menetapkan sejumlah rambu-rambu pernikahan yang salah satunya termaktub dalam firman Allah Swt.: “Janganlah kalian menikahi wanita-wanita musyrik sampai mereka beriman. Sesungguhnya seorang budak wanita Mukmin lebih baik daripada seorang wanita musyrik, walaupun dia menarik hati kalian. Jangan pula kalian menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita Mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya seorang budak pria Mukmin lebih baik daripada seorang pria musyrik, walaupun dia menarik hati kalian (QS al-Baqarah:221).

Ayat ini mengandung satu pengertian, yaitu pengharaman yang tegas terhadap perkawinan wanita musyrik dengan pria muslim atau perkawinan seorang pria musyrik dengan wanita muslimah. Jika ada perkawinan semacam ini, berarti pernikahannya batal (tidak sah) dan dianggap tidak pernah terjadi akad alias zina.

Dalam kitab Jami’ al-Bayan 2/379, Imam Ibnu Jarir ath-Thabari berkata, “Allah mengharamkan wanita-wanita mukmin untuk dinikahkan dengan lelaki musyrik mana pun (baik ahli kitab maupun bukan).”

Di Indonesia pernikahan beda agama juga dilarang secara administratif. Dalam UU 1/1974 tentang Perkawinan, disebutkan bahwa pernikahan yang sah harus sesuai agama dan keyakinannya masing-masing. Begitu juga dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), pelarangan nikah beda agama diatur dalam pasal 40 C dan 44. Pasal 40 C menyebutkan, “Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita karena keadaan tertentu: c. seorang wanita yang tidak beragama Islam.” Sedangkan pasal 44 menyebutkan “Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam.”

Majelis Ulama Indonesia (MUI) pun dalam fatwanya yang telah dikeluarkan pada Juli 2005 menyebutkan bahwa hukum pernikahan beda agama di Indonesia adalah haram dan tidak sah.

Namun sayang, aturan mengenai pelarangan nikah beda agama ini tak lagi dipatuhi. Sebelumnya Pengadilan Negeri seperti PN Surabaya, Yogyakarta, Tangerang, Jakarta Selatan telah mengabulkan permohonan perkawinan beda agama ini. Beberapa waktu lalu Pengadilan Negeri Jakarta Pusat juga melakukan hal yang sama.

Permohonan perkawinan pasangan beda agama yang disampaikan oleh JEA (mempelai laki-laki) beragama Kristen dan SW (mempelai perempuan) beragama Islam dikabulkan oleh hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Putusan hakim tersebut tertuang dalam nomor 155/Pdt.P/2023/PN.Jkt.Pst. Pernikahan dilakukan antara perempuan muslimah dengan laki-laki nonmuslim dan sebaliknya laki-laki muslim menikah dengan perempuan nonmuslim.

Hakim mengabulkan permohonan perkawinan beda agama mengacu pada UU 23/2006 tentang Administrasi Kependudukan pasal 35. Di dalamnya dijelaskan bahwa pencatatan perkawinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 berlaku pula bagi (a) perkawinan yang ditetapkan oleh pengadilan. Adapun yang dimaksud “Perkawinan yang ditetapkan oleh Pengadilan” adalah perkawinan yang dilakukan antar umat yang berbeda agama. Perkawinan beda agama pun bisa sah dengan ditetapkan di pengadilan negeri.

Selain itu, hakim juga menjadikan alasan sosiologis yaitu keberagaman masyarakat sebagai dasar untuk mengabulkan permohonan nikah beda agama (cnnindonesia.com, 25/6/2023).

Pernikahan beda agama antara muslimah dengan laki-laki nonmuslim yang dikabulkan oleh Pengadilan Negeri di Indonesia ini menunjukkan pelanggaran terhadap hukum agama. Agama di negeri ini telah dicampakkan. Pernikahan beda agama seperti ini jelas-jelas telah diharamkan. Namun dalam sistem kapitalisme sekulerisme justru tetap difasilitasi agar bisa terlaksana dan sah menurut negara.

Jika pernikahan beda agama ini disahkan tentu akan berdampak pada status anak yang lahir dari pasangan muslimah dengan lelaki kafir. Nasab anak yang lahir dari pasangan ini tidak boleh disandarkan pada sang bapak, melainkan pada ibunya. Nasab seorang anak kepada bapaknya hanya diakui oleh Islam jika dia lahir dari sebuah pernikahan yang sah. Dampak lainnya adalah hilangnya hak perwalian, sebab sang bapak yang kafir tidak boleh menjadi wali bagi anak perempuan mereka. Maka, pernikahan beda agama ini menyebabkan hilangnya penjagaan terhadap keturunan.

Tak hanya itu, penjagaan terhadap harta juga akan hilang. Pasalnya seorang laki-laki kafir tidak saling mewarisi harta kepada anak dan Istrinya yang muslim. Sebab Rasulullah saw. bersabda, “Muslim tidak bisa mewarisi orang kafir dan orang kafir pun tidak bisa mewarisi muslim.” (HR Al-Bukhari dan Muslim)

Penjagaan terhadap agama pun akan hilang, sebab secara jamak diketahui kerap terjadi pemurtadan terhadap muslimah lewat modus pernikahan. Banyak lelaki kafir berpura-pura masuk Islam kemudian menikahi perempuan muslimah. Ini dilakukan dengan satu tujuan yaitu mengajak dan memaksa istri dan anak-anaknya untuk murtad. Padahal murtad termasuk dosa besar dan pelakunya diancam hukuman berat. Nabi saw. bersabda: “Siapa yang mengganti agamanya, bunuhlah dia.” (HR Al-Bukhari)

Dengan demikian, pernikahan beda agama jelas bertentangan dengan maqashid asy-syariah atau tujuan diterapkannya syariat Islam diantaranya adalah penjagaan agama, harta, dan keturunan.

Dalam sistem kapitalisme sekulerisme, hal ini adalah satu keniscayaan. Sebab sistem ini sangat mendewakan kebebasan, mulai dari kebebasan beragama, berpendapat, berekonomi, hingga kebebasan berperilaku atau berekspresi. Semua itu melahirkan perilaku liberal yang mengabaikan halal dan haram.

Aturan kehidupan dibuat berdasarkan akal manusia yang sangat terbatas dan lemah. Produk hukum yang dihasilkan terbatas waktu dan tempat sehingga perubahan hukum menjadi satu hal yang lumrah. Alhasil ini tidak akan membawa pada kebaikan sedikitpun.

Islam memiliki aturan tertentu dalam berbagai persoalan manusia yang semuanya bersumber pada aturan Allah dan RasulNya. Kaum muslimin diwajibkan untuk mengikatkan setiap amalnya, termasuk dalam hal pernikahan sesuai dengan ketentuan tersebut.

Negara dalam Islam diberi tanggung jawab untuk menerapkan Islam secara kaffah. Maka negara akan berupaya untuk mendidik masyarakat dalam sebuah sistem pendidikan yang melahirkan generasi berkepribadian Islam, yakni memiliki pola pikir Islam dan pola sikap Islam, sehingga akan lahir generasi taat yang menjaga tingkah lakunya senantiasa sesuai syariat. Setiap individu muslim akan melakukan pernikahan sesuai tuntunan syariat demi meraih rida Allah Swt. Ketakwaan individu inilah yang menjadi pilar pertama tegaknya syariat Allah.

Masyarakat muslim saling peduli satu sama lainnya. Sebab ibarat satu tubuh, jika ada satu jari yang terluka, mereka akan ikut merasakan sakitnya. Bentuk cinta ini mereka aplikasikan dengan melakukan amar ma’ruf nahi munkar di tengah masyarakat. Jika terjadi penyimpangan terhadap hukum Islam, seperti pernikahan beda agama ini, masyarakat akan berusaha untuk mencegahnya. Dengan demikian kontrol masyarakat sebagai pilar kedua akan tegak.

Selanjutnya sebagai pilar yang ketiga, negara akan menerapkan sanksi untuk menjaga tegaknya semua hukum Allah dan menjaga rakyatnya agar tetap dalam ketaatan kepada Allah Swt.

Negara dalam Islam, yakni khilafah akan menjalankan fungsinya sebagai periayah (pengurus) seluruh urusan umat dengan syariat Islam. Dengan demikian tujuan diterapkannya syariat sebagai penjaga agama, akal, jiwa, harta dan keturunan akan terwujud.

Wallahua’lam bishawab.

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 6

Comment here