Oleh N.S. Rahayu ((Pengamat Masalah Sosial)
wacana-edukasi.com– Permintaan nikah dini di KUA makin meningkat tiap tahunnya. Hal ini membuat miris masyarakat, pasalnya usia yang mengajukan nikah dini banyak yang masih berseragam putih biru dan putih abu-abu. Usia yang dianggap belum matang secara psikologis untuk mengarungi bahtera rumah tangga yang tak semanis saat mengecap kenikmatan sesaat.
Permohonan dispensasi nikah di Kantor Urusan Agama atau KUA Ngawi cukup tinggi. Kantor Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan anak, dan Keluarga Berencana (DPPPA KB) setidaknya mencatat 53 anak di bawah usia 18 tahun telah meminta kelonggaran menikah. Pengajuan dispensasi nikah rata-rata anak berusia 14 -18 tahun. Terhitung dari bulan Januari lalu hingga pertengahan bulan ini. Adapun sekitar 80 persen alasan permohonan dispensasi nikah karena hamil yang tak diinginkan. (Radarmadiun.jawapos.com, 12/6/2022).
Pernikahan dini seakan menjadi pekerjaan rumah berat bagi setiap wilayah, jika pemerintah Kabupaten saja membendung permintaan nikah dini, bisa dibayangkan bagaimana dengan Provinsi dan Pusat Ibukota, pasti jauh lebih banyak. Itu pun baru yang terdata lewat KUA, yang tidak terdata jauh lebih banyak.
Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Pacitan limbung, penyebabnya tingginya pernikahan dini masih menjadi pekerjaan berat untuk ditangani. Menurut Bupati Pacitan Indrata Nur Bayuaji saat pembinaan kepada Institusi Masyarakat Pedesaan (IMP) kader Pembantu Penyuluh KB Desa (PPKBD) dan Sub-PPKBD se-Kecamatan Kebonagung, Kamis (16/07/2022). Butuh upaya bersama untuk menyelesaikan masalah tersebut, karena membangun kesadaran itu sulit, butuh pendekatan sosial. (Halopacitan.com, 16/6/2022)
Ironis bukan? Negara yang menjunjung tinggi agama dan norma kemasyarakatan, kebobolan pada meningkatnya pernikahan dini. Dan belum menemukan solusi yang dapat menuntaskan permasalahan nikah dini. Fakta ini sangat memprihatinkan, terlebih dominasi faktor penyebab adalah hamil di luar nikah. Fenomena ini, ibarat gunung es di tengah lautan.
UU no 16 tahun 2019 mengenai batasan usia nikah, dari perempuan usia 16 dan laki-laki 19 tahun dan pada UU yang baru semua wajib berusia 19 tahun, dianggap sebagai solusi yang mampu mencegah pernikahan dini oleh pemerintah. Namun, hingga kini, tidak membawa pengaruh apapun, justru angka pernikahan dini makin meningkat. Hal ini karena memang bukan akar permasalahannya.
Ada permasalahan sistemik yang membuka pintu-pintu kemaksiatan bisa langgeng berjalan. Lewat liberalisme segala bentuk kebebasan secara vulgar dibiarkan, apalagi jika berkaitan dengan kapitalisme.
Maka menjadi hal yang kontradiktip, jika pemerintah ingin mencegah laju pernikahan dini dengan ragam cara, sementara kemaksiatan dianggap hal yang ‘wajar’. Menelisik pernikahan dini saat ini yang didominasi hamil duluan justru sebagai buah dari kemaksiatan yang dibuka melalaui sistem sekuler liberal. Sehingga mencegah nikah dini adalah sesuatu yg tidak masuk akal, seharusnya yg dicegah adalah kemaksiatan. Namun lagi-lagi di sistem sekuler kemaksiatan dianggap hal ‘wajar’.
Nikah dini buah sistem sekuler liberal
Nikah dini tidak akan pernah berhenti, bahkan akan terus berulang. Karena akar permasalahan yang sesungguhnya yaitu kemaksiatan yang memicu makin meningkatnya nikah dini harus ditangani terlebih dulu. Hal ini lebih disebabkan kehidupan serba bebas (liberal) yang ada di tengah masyarakat.
Jika pemerintah serius untuk membendung nikah dini, maka pemerintah harus lebih fokus untuk menyelesaika ‘penyebabnya’ bukan pada pelarangan nikah dini. Karena penyebab nikah dini disebabkan oleh gaya hidup liberal (bebas).
Ide kebebasan itu membuat para remaja leluasa mengekspresikan gaya bebas itu dlam segala bentuk dan cara, salah satunya adalah kondisi remaja yang tak malu lagi pacaran secara terbuka, mengabaikan norma apalagi agama, kemudian hamil, putus sekolah dan akhirnya dinikahkan. Para orang tua yang kebingungan lebih memilih, terpaksa menikahkan dini putri-putri mereka untuk menutup rasa malunya.
Kemaksiatan yang dilakukan generasi muda, menjadi ajang keuntungan besar di sistem kapitalis ini. Hal ini nampak diaruskan menjadi ladang kapital dari berbagai arah. Gempuran 3 F (fun, food, fashion) menjadi pilihan gaya hidup para generasi muda.
Negara nampak abai mengenai pendidikan para remaja dari gempuran budaya luar yang tidak mencerminkan budaya bangsa Indonesia yang terkenal santun. Di sisi lain negara mendukung tumbuh suburnya liberalisme melalui UU perlindungan anak, UU sisdiknas dan KRR.
Adanya UU no 16 tahun 2019 yang merevisi batas usia pernikahan, tidak mampu melindungi mereka, malah menyulitkan seseorang untuk menikah karena masih dianggap di bawah umur. Hal yang wajar terjadi saat pengajuan dispensasi nikah makin meningkat, sebab ini buah dari sistem sekuler kapitalis yang membuka lebar pintu liberalisasi untuk mengeruk keuntungan.
Jika ingin menghentikan semua kerusakan akibat gempuran budaya barat ini, dibutuh perombakan sistem di negeri ini dan Islam bisa menjadi sistem yang seharusnya diterapkan.
Sistem sekuler liberal telah menyebabkan rusaknya tatanan kehidupan. Mulai dari negara, masyarakat, keluarga hingga individu sehingga sudah sangat layak jika sistem yang rusak ini dihapuskan dari muka bumi
Islam melindungi generasi
Sistem Islam menjaga generasi, Islam sangat mengatur dalam pergaulan laki laki dan perempuan mulai interaksinya. Sistem pergaulan Islam mengatur, kehidupan lelaki dan perempuan dalam keeharian kecuali, dalam hal yang bersifat umum, sehingga campur baur dan berdua-duaan bisa dihindari
Islam juga mengatur cara berpakaian. Wajibnya bagi lelaki dan perempuan menutup auratnya sesuai aturan syar’i. Untuk para perempuan menutup tubuhnya dengan jilbab (jubah) dan khimar (kerudung) serta tidak tabaruj. Juga untuk menahan pandangannya ketika berada di tempat umum.
Dalam sistem pendidikannya, ditanamkan keimanan pada setiap orang sejak dini agar membentuk kepribadian Islam kuat. Keimanan sangat penting untuk menghadapi gempuran tsaqofah dan beradaban barat yang serba bebas [iberal]. Dengan penerapan Islam generasi terjaga dari kemaksiatan yg menjerumuskan ke lembah nista.
Islam juga menanamkan bahwa tanggung jawab pertama pendidikan anak ada pada keluarga [orang tua], sehingga generasi memiliki benteng yang kuat pada keluarganya. Ada pengawasan dan perlindungan dari keluarga ketika keimanan anak sedang tidak stabil.
Begitupun dengan kekhasan dalam masyarakat Islam. Masyarakat berperan sebagai kontrol sosial yang akan membentuk kebiasaan untuk saling peduli, muhasabah di tengah masyarakat. Sehingga memiliki cara pandang yang sama tentang hubungan di luar mahram, pacaran adalah bentuk kemasiatan yang dilarang dalam Islam.
Sebagaimana firman Allah Swt dalam QS Al Isra : 32,
“Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu suatu perbuatan yang keji dan jalan yang buruk.”
Aturan yang tegas dalam Islam ini, mampu mencegah pergaulan bebas sekaligus akan menutup pintu-pintu kemaksiatan yang dapat menjerumuskan generasi berpolah liberal. Sehingga hamil di luar nikah tidak terjadi.
Paling penting adalah peran dan tanggung jawab negara dalam semua lini kehidupan. Negaralah yang menutup pintu kemaksiatan yang mengantarkan pada perbuatan maksiat dengan kebijakannya.
Dalam negara Islam (khilafah) tidak akan membuat UU yang melarang remaja menikah dini dalam batasan usia, karena Islam menganggap ukuran dewasa adalah baligh. Hal ini untuk mempermudah para pemuda untuk bersegera menikah jika sudah mampu. Uniknya, apabila terkendala finansial, justru negara akan memfasilitasinya agar tidak terjadi perzinaan. Wallahu’alam bishawab
Views: 8
Comment here