Oleh: DWI LIS
wacana-edukasi.com, SURAT PEMBACA– Miris, di tengah hiruk pikuk kesulitan serta besarnya tuntutan kehidupan membuat setiap individu saat ini harus ekstra mencari pekerjaan demi mencukupi kebutuhan hidup.
Termasuk Indonesia, negara ke-4 yang berpenduduk terpadat di dunia memiliki populasi pemuda dengan usia produktif paling banyak, tentunya membutuhkan lapangan pekerjaan yang besar. Namun faktanya, angka pengangguran terutama di kalangan Gen Z terus meningkat. Pasalnya, angka tersebut telah mencapai 10 juta.
Menurut Menteri Ketenagakerjaan yakni Ida Fauziyah, bahwa BPS telah mencatat sekitar 9,9 juta penduduk Indonesia yang tergolong usia muda alias Gen Z belum memiliki pekerjaan. Angka ini didominasi oleh penduduk yang usianya berkisar 18 – 24 tahun (kumparan.com, 20/05/2024).
Bila dirinci lebih lanjut, Gen Z adalah mereka yang lahir pada tahun 1997 – 2012 dan termasuk dalam NEET, yaitu penduduk usia muda kisaran 18 – 24 tahun yang sedang tidak sekolah, tidak bekerja, atau tidak mengikuti pelatihan apapun.
“Banyaknya pengangguran di kalangan Gen Z ini terutama anak yang baru lulus SMA sederajat dan perguruan tinggi,” ujar Ida Fauziyah (kompas.com, 24/05/2024). Sementara itu, faktor penyebab banyak angka pengangguran di kalangan Gen Z yaitu kurang sinkronnya pendidikan dan permintaan tenaga kerja serta turunnya lapangan pekerjaan di sektor formal.
Sesungguhnya, kian meningkatnya angka pengangguran di negeri ini akibat dari penerapan sistem kapitalis liberal serta menunjukkan ketidakmampuan negara dalam menciptakan lapangan pekerjaan bagi rakyat. Alhasil, jumlah angkatan kerja lebih besar dibandingkan lapangan kerja.
Dalam kapitalis, negara hanya sebagai fasilitator dan regulator. Negara berlepas tangan dalam mengurusi urusan rakyat serta selalu membuat kebijakan yang justru membuat hidup rakyat semakin sulit. Pengelolaan SDA yang seharusnya dikelola sendiri untuk kemaslahatan rakyat justru diserahkan oleh negara kepada pihak swasta asing dan aseng.
Pada saat yang sama, sistem pendidikan dalam kapitalis juga dikomersialisasi sehingga hanya rakyat tertentu yang dapat mengenyam pendidikan tinggi.
Akhirnya, tidak semua masyarakat memiliki pengetahuan dan skill yang dibutuhkan untuk bekerja. Pengangguran yang tidak diatasi dengan baik akan berdampak negatif terhadap kondisi ekonomi. Tingginya kemiskinan akan membuat rakyat sulit dalam memenuhi kebutuhan dasar termasuk pemenuhan gizi, kesehatan, serta pendidikan. Selain itu, meningkatnya pengangguran juga dapat memicu tingginya kriminalitas seperti pencurian, penipuan, pembunuhan, begal, dan lain-lain.
Kondisi ini akan berbeda 180 derajat di dalam sistem Islam. Sistem ini dalam penerapannya menjalankan Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Dalam Islam, negara wajib menjamin seluruh kebutuhan primer warganya, baik sandang, pangan, maupun papan. Negara akan menyediakan lapangan pekerjaan seluas-luasnya. Pengelolaan SDA di dalam Islam haram diswastanisasi sebab itu termasuk dalam kepemilikan umum. Negara wajib mengelola dan hasilnya akan dikembalikan untuk kemaslahatan rakyat. Negara diharamkan untuk menjual kekayaan pada swasta baik lokal maupun asing. Kemandirian negara dalam mengelola SDA tentu dapat membuka lapangan pekerjaan yang luas sehingga mampu meminimalisasi jumlah pengangguran.
Di samping itu, sistem Islam juga memiliki tujuan pendidikan yang akan menghasilkan manusia yang beriman dan bertakwa. Tidak hanya pintar tetapi juga takut pada Allah. Generasi tidak hanya berjuang menjadi kaya atau berorientasi pada materi namun akan lebih memaksimalkan perannya. Oleh karena itu, usia produktif harus didukung dengan pendidikan yang berkualitas.
Maka sudah saatnya menerapkan sistem Islam dalam naungan Khilafah yang mempunyai aturan menyeluruh, baik dalam mengatur kehidupan manusia, ekonomi, hukum, sosial, dan lain-lain. Allahua’lam Bishowab.
Views: 14
Comment here