Oleh : Irawati Tri Kurnia (Aktivis Muslimah)
wacana-edukasi.com, OPINI–Penghasilan ojek online (ojol) mengalami penurunan yang signifikan sejak beberapa tahun lalu. Dikabarkan hal ini akibat potongan besar yang dilakukan oleh Gojek dan Grab. Ketua Umum Asosiasi Pengemudi Ojol Daring Garda Indonesia, Igun Wicaksono menjelaskan, saat tahun-tahun pertama kehadiran ojol, para pengemudi bisa mengantongi Rp 5 juta hingga Rp 10 juta. Tapi kondisi saat ini berbanding terbalik sejak beberapa tahun. Terakhir. Ia mengatakan penurunan pendapatan driver ojol bisa mencapai 50 persen atau bahkan di bawah Upah Minimum Provinsi (UMP) (1).
Igun mengungkap, penurunan tersebut membuat sebagian besar driver memutuskan untuk beralih profesi, seperti menjadi pegawai kantoran atau wirausaha.
Pada akhir tahun lalu, tarif ojol resmi dinaikkan. Hal ini berdasarkan pada Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KP 564 Tahun 2022 ditetapkan 4 Agustus 2022. Walau demikian, driver Ojol tidak merasakan ‘cipratan’ penambahan pendapatan dari kenaikan tarif itu. Bahkan pemotongan upah masih terjadi.
Ketua Asosiasi Driver Online (ADO) Taha Syafril mengatakan, penambahan pendapat driver tidak bisa terjadi karena faktanya para driver mati-matian kejar target dan tak dapat upah lebih. Ia juga mengungkapkan bahwa saat ini banyak saingan dan driver harus menambah jam kerja. Taha juga menambahkan bahwa ini merupakan kesalahan para penyedia plarform. Pasalnya mereka cuma peduli persaingan bisnis tanpa memperhatikan nasib driver. Sejak meledaknya kuota mitra driver, aplikasi jumawa dengan bisnisnya.
Fenomena gaji mitra driver yang rendah dan jam kerja di atas normal, menunjukkan gagalnya negara untuk menyejahterakan rakyatnya. Pasalnya negara bertanggungjawab penuh dalam menyediakan lapangan kerja bagi rakyatnya dengan gaji yang layak. Tapi dalam sistem kapitalisme saat ini, negara hanya memposisikan dirinya sebagai regulator yang sangat minim pelayanannya pada masyarakat.
Negara hanya membuka peluang yang besar bagi para investor untuk berinvestasi. Harapannya dengan banyaknya swasta yang mendirikan perusahaan, lapangan kerja akan terbuka luas. Padahal negara hanya berlepas tangan terhadap tanggung jawabnya dalam mengurusi urusan umat.
Pihak swasta bebas berinvestasi pada segala hal, termasuk seperti layanan transportasi, kesehatan, pendidikan, dan sebagainya. Sedangkan motivasi pihak swasta dalam berbisnis adalah meraih keuntungan sebesar-besarnya, bukan dalam rangka memberikan pelayanan dan kemudahan bagi rakyat.
Bukan hanya rakyat yang kesulitan karena pelayanan transportasi karena selalu mengalami kenaikan, tapi termasuk para pekerja yang bekerja di perusahaan tersebut juga menjadi korban. Demi mendapatkan keuntungan yang besar, perusahaan tak segan untuk memotong gaji karyawannya atau bahkan melakukan PHK sepihak. Mirisnya negara mengukuhkan tindak sewenang-wenang perusahaan terhadap pekerja tersebut melalui pengesahan Undang-Undang Ciptaker. Inilah gambaran penguasa dalam sistem kapitalisme yang hanya melayani para investor, bukan melayani rakyat. Nasib pekerja terus akan dalam kondisi memprihatinkan selama kapitalisme menjadi paradigma di negeri ini.
Berbeda dengan Islam yang menerapkan seluruh aturan secara menyeluruh dan sempurna di bawah naungan Khilafah sebagai institusi penjaganya, yang akan membawa kebaikan seluruh masyarakat.
Islam memandang bahwa penyediaan transportasi umum adalah kewajiban Khilafah sebagai negara. Sumber pendanaan diambil dari Baitul Mal, terutama pos hasil pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) yang merupakan harta milik umum dan harta kharaj, jizyah, fa’i, dan lain-lain. Oleh karena itu haram bagi negara menggunakan skema pembiayaan transportasi ala kapitalis, seperti melalui investasi swasta; karena akan menjadikan pelayanan kepada masyarakat sebagai ajang bisnis untuk mencari keuntungan. Sehingga profesi Ojol memungkinkan tidak akan kita temukan dalam sistem Islam yang diterapkan Khilafah. Karena transportasi umum dalam jumlah yang memadai, nyaman, aman, berkualitas, murah dan gratis; akan mudah diakses oleh seluruh masyarakat.
Di sisi lain, Khilafah bertanggung jawab menyediakan lapangan pekerjaan yang luas bagi rakyatnya. Penerapan sistem ekonomi Islam dengan konsep kepemilikannya, memastikan hal ini. Sebab seluruh SDA dalam Khilafah diposisikan sebagai kepemilikan umum (rakyat). SDA tersebut hanya boleh dikelola oleh Khilafah, untuk dikembalikan keuntungan atau kebermanfaatannya bagi rakyat secara utuh, bukan sebagai ladang bisnis.
Untuk SDA yang membutuhkan usaha eksplorasi dan sistem pengelolaan khusus sebelum didistribusikan pada masyarakat, seperti migas, batubara, dan lain-lain; maka negara tentu membutuhkan pekerja dalam jumlah besar. Di sinilah negara mempekerjakan rakyatnya sebagai tenaga ahli maupun terampil, dan menggajinya sesuai sistem pengupahan dalam Islam. Mereka mendapatkan perlakuan adil dan sejalan dengan hukum Syariat. Hak-hak mereka sebagai pegawai, baik pegawai biasa maupun pegawai direktur; dilindungi oleh Khilafah. Para pegawai bekerja sesuai dengan bidang masing-masing. Memperhatikan hak dan kewajiban mereka sebagai pegawai negara, maupun sebagai rakyat.
Khilafah menjalankan strategi terkoordinasi antara sistem pendidikan dengan potensi ekonomi di berbagai area. Khilafah juga akan mendatangkan investasi yang halal untuk dikembangkan di sektor riil, baik di bidang pertanian, kehutanan, kelautan, tambang maupun perdagangan.
Hanya penerapan Syariat Islam kafah di bawah institusi Khilafah, yang mampu menjamin kesejahteraan bagi masyarakat.
Wallahu’alam Bishshawab
Catatan Kaki :
(1) Krisis Ojol Menghantam, Grab-Gojek Bakal Pusing Cari Driver https://cnbc.id/N8iXEz
Views: 60
Comment here