Oleh : Dewi Fitratul Hasanah (Pemerhati Sosial)
“Keras bagai batu, tinggi bagai langit”
Begitulah kiranya kiasan yang sepadan untuk disematkan kepada para pengesah Omnibus Law Cipta Kerja.
Berbulan sebelumya, ketika dibahas dalam bentuk wacana, Omnibus Law Cipta Kerja (Ciptaker) ini telah menyemai penolakan dari berbagai kalangan utamanya kalangan buruh/pekerja. Namun, pemerintah tetap tak mengindahkan.
Pada 5/10/2020, di gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), pemerintah penuh tekad menghelat pengesahan Omnibus Law Ciptaker itu dalam keheningan malam nan pekat.
Mendapati pengesahan tersebut, rakyat dan kalangan buruh riuh melakukan aksi penolakan. Mereka turun jalan secara serentak dan menyeluruh.
Hingga saat ini Aksi demi aksi serupa terus berlanjut dengan kerumunan masa yang lebih penuh bergemuruh dari berbagai penjuru. Ancaman Covid-19 pun tak lagi ditakutkan.
Pemerintah berasalan, mengesahkan Omnibus Law cipta kerja adalah untuk mem-by pass- banyaknya undang-undang yang bersifat sektoral yang saling tabrak kewenangan antara institusi negara dan tumpang tindih substansi yang ada. Namun celakanya, point-poin yang tersurat dalam Omnibus Law Ciptaker ini ternyata sangat tak berpihak kepada buruh atau kaum pekerja. Sebaliknya, justru membuka kran pengambilan keuntungan dan kesemena-menaan para pengusaha.
Di kutip dari CNN.com (5/19/2020), setidaknya ada tujuh keluhan buruh atas point yang terdapat pada Omnibuslaw Ciptaker :
Pertama, RUU Ciptaker menghapus upah minimum kota/kabupaten (UMK) bersyarat dan upah minimum sektoral kota/kabupaten (UMSK).
Kedua, pemangkasan nilai pesangon dari 32 bulan upah menjadi 25 bulan, di mana 19 bulan dibayar pengusaha dan enam bulan dibayar BPJS Ketenagakerjaan.
Ketiga, perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) yang menyatakan tidak ada batas waktu kontrak atau kontrak seumur hidup.
Keempat, karyawan kontrak dan outsourcing seumur hidup.
Kelima, jam kerja yang eksploitatif atau tanpa batas jelas dinilai merugikan fisik dan waktu para buruh.
Keenam, penghilangan hak cuti dan hak upah atas cuti.
Ketujuh, terancam hilangnya jaminan pensiun dan kesehatan karena adanya kontrak seumur hidup.
Melalui tujuh point di atas, sangat transparan bahwa hari ini negara sangat lumpuh kendali terhadap kemauan pengusaha pun semakin lemah dalam perlindungan terhadap rakyatnya. Negara dengan kekuasaannya dibuat tak kuasa untuk menolak keinginan para tuan pengusaha. Pemerintah rela berdendang di atas punggung kesakitan rakyatnya.
Lebih-lebih Presiden juga pernah mengatakan bahwa Omnibus Law Ciptaker ini merupakan jawaban dari keluh kesah para investor yang selama ini tidak bebas dalam berekspansi. Hal ini diucapkan Presiden saat menghadiri acara pertemuan tahunan industri jasa keuangan tahun 2020 di Grand Ballroom The Ritz-Carlton Pacific Place (PP), Jakarta, Kamis (16/1/2020).
Pernyataan presiden begitu jelas mengutarakan maksud dan tujuannya yakni tak lain dan tak bukan hanya bertujuan untuk memfasilitasi investor dan pengusaha. Jika seorang presiden sudah menyatakan keberpihakan secara terang-terangan, maka dapat dipastikan negara yang dipimpinnya berada dalam ambang kehancuran.
Bagaimana tidak, penyelenggara negara mestinya paham, bahwa apabila kebijakan mereka, baik dalam bentuk legialasi maupun regulasi, adalah sudah seharusnya untuk menata aspek struktural ekonomi dan politik secara berkeadilan. Bukan justru menjadi alat para pemodal yang tidak pernah puas mengeruk kekayaan negara dengan memeras darah dan air mata rakyatnya.
Jika menilik Sistem yang diterapkan di negeri ini yaitu sistem demokrasi- kapitalisme dimana sistem ini adalah sistem yang di rancang oleh manusia, maka wajar, jika sistem yang berasaskan sekuler (pemisahan antara aturan agama dalam berkehidupan) dan juga asas “profit oriented” menjadi amburadul, tengik, licik, dan tak punya hati dalam berkebijakan.
Sistem ini memang terdesign untuk melanggengkan para investor/pengusaha/pemilik modal dengan cara menindas kaum marginal, karena pelaksanaannya, para pemilik modal memberikan upeti kepada para penguasa/pemerintah, melalui tampuk tampuk kekuasaanya, pemerintah membuatkan UU sesuai permintaan tuan pengusaha, dengan UU tersebutlah kekayaan amat mudah dicaplok, kemakmuran hajat hidup rakyat terancam dan keuntungan serta kekayaan pun deras berpusar pada penguasa, pemilik modal dan segelintir oknum saja. Sementara rakyat proletar nahas terkapar.
Jika demikian, maka tak salah bila sistem ini adalah akar permasalahan yang menimpa rakyat yang nyaris tak berkesudahan.
Berbeda ketika sistem hukum Islam yang diterapkan. Dalam Islam, fungsi penguasa sangat jelas. Penguasa adalah pemegang amanah, bukan sosok yang bisa berbuat sewenang-wenang dalam menyelenggarakan kekuasaannya. Akan tetapi, ia terikat dengan hukum syariat ( Alquran, sunah, ijma’, dan qiyas). Para penguasa atau pemimpin dalam Islam sadar betul kelak akan dimintakan pertanggungjawaban oleh Allah atas semua tindak tanduk dalam menjalankan kekuasaannya semasa hidup, apakah dipergunakan untuk kemaslahatan ataukah justru kemudaratan.
Rasulullah saw. menyatakan bahwa kepemimpinan bisa jadi penyesalan di hari kiamat. Beliau berkata kepada Abu Dzar terkait kepemimpinan, “Sesungguhnya (kepemimpinan)itu adalah amanah. Pada hari kiamat ia akan menjadi kehinaan dan penyesalan, kecuali bagi mereka yang menunaikan amanah tersebut sesuai haknya dan menjalankan kewajibannya.” (HR Muslim)
Sejatinya kekuasan pemimpin dalam sistem Islam, dibatasi oleh kewajiban kewajiban untuk menjaga agama, menjaga jiwa dan raga, kehormatan dan kekayaan rakyat melalui kebijakan kebijakannya.
Di dalam sistem pemerintahan Islam, regulasi dan undang-undang yang dibuat tidak akan menyalahi syariat. Legislasi hukum dalam sistem Islam dibuat sesuai ketentuan Islam. Tidak ada pula politik kepentingan. Tidak ada pula produk hukum yang dibuat berdasarkan kepentingan manusia.
Sudah saatnya negara ini kembali ke sistem pemerintahan Islam yang berkahnya akan dapat dirasakan oleh seluruh alam sebab peraturan yang ada di dalamnya adalah bersumber dari Sang Pemilik dan Pencipta, Allah SWT yang sudah barang tentu tak akan menciptakan penderitaan.
Wallahu a’lam bishshawaab
Views: 3
Comment here