Oleh Sutiani, A. Md (Aktivis Dakwah Muslimah)
“Orang ramai ke Mozambik
Di pantai indah milik mereka
Ehh, Ongkos haji naik
Di manalah hati nurani mereka?”
Hasil rapat antara komisi VIII DPR bersama Kementerian Agama akhirnya diputuskan biaya yang dibayar langsung oleh jamaah haji rata-rata sebesar Rp49.8 juta biaya tersebut meliputi biaya penerbangan, biaya hidup dan sebagian biaya paket layanan. Biaya tersebut naik dibanding dengan tahun lalu yaitu sebesar Rp39.8 juta, usulan besar biaya perjalanan ibadah haji 2023 beberapa waktu belakang memang menjadi sorotan publik.
Pasalnya menteri agama mengusulkan Biaya Perjalanan Ibadah Haji (BPIH) tahun 2023 sebesar Rp69.193.733. Adapun jumlah BPIH yang diajukan pada tahun 2023 adalah 70% dari total Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) yang mencapai Rp98.893.909 sehingga sisanya yang 30% (Rp29.700.175) diambilkan dari nilai manfaat pengelolaan dana haji (kemenag.go.id, 20/01/2023).
DPR pun menanggapi usulan BPIH 2023 sebesar Rp69,2 juta dinilai terlalu memberatkan karena ia menemukan berbagai komponen yang menimbulkan perdebatan salah satunya biaya pendampingan penerbitan paspor yang dianggarkan Kemenag sebesar Rp1,61 miliar. Lantas DPR juga mempertanyakan penting atau tidaknya jika dimasukkan ke dalam komponen BPIH 2023 (cnbc.indonesia.com, 19/02/2023).
Untuk tahun 2020 jemaah haji lunas tunda berjumlah 84.609 orang yang diberangkatkan tahun 2023 tidak dibebankan biaya pelunasan. Pada tahun 2022 jemaah haji lunas tunda berjumlah 9.864 orang yang diberangkatkan tahun 2023 dibebankan tambahan biaya pelunasan sebanyak Rp9,4 juta. Sedangkan jemaah haji tahun 2023 berjumlah 106.590 jemaah dibebankan tambahan biaya pelunasan sebesar Rp23,5 juta.
Adapun hasil rapat itu juga disepakati bahwa jumlah lama masa tinggal jemaah haji di Arab Saudi sebanyak 40 hari dan total makan di Madinah sebanyak 18 kali dan di Mekkah sebanyak 44 kali (termasuk empat kali pada dua hari menjelang Armuzna) (bbc.com, 15/02/2023).
Mahalnya ongkos naik haji karena hal-hal yang tidak seharusnya serta masih tergolong ranah ASN, pengaturan yang tidak profesional alhasil bukti lingkupan ibadah masih terus di kapitalisasi. Maka hal tersebut disebabkan masih berjalannya penerapan sistem kapitalisme di negeri ini yang harusnya mengurusi urusan rakyat namun fungsi negara diubah rakyat menjadi ladang bisnis negara.
Rakyat hanya dipandang sebagai objek untuk mencari keuntungan di setiap sendi-sendi kebijakan salah satunya mengurusi ibadah haji masyarakat muslim. Lantaran pemerintah tidak hanya menerima ongkos dana haji rakyat untuk mendaftar saja akan, tetapi dana yang masuk dialokasikan untuk diinvestasikan. Inilah tabiat pengaturan negara kapitalisme rakyat dipalak oleh negara bahkan dalam urusan ibadah.
Sungguh berbeda dalam pengaturan Islam, yang menjadikan penguasa sebagai raa’in pengurus rakyat dan memudahkan urusan rakyat terlebih dalam menunaikan ibadah. Allah Swt. telah menetapkan haji sebagai fardu’ain bagi umat muslim yang memenuhi syarat dan berkemampuan. Menurut ibn Qudamah, ada 5 syarat wajib haji (1) Islam, berakal, balig, merdeka bukan budak dan mampu. Mampu itu sendiri dijelaskan dalam hadis Nabi meliputi dua perkara: (1) mampu secara bekal dan (2) kendaraan. (h.r. ad Daruquthni).
Karena itu bagi setiap muslim yang sudah memiliki syarat dan mampu maka telah jatuh kewajibannya untuk melaksanakan ibadah haji hanya saja pelaksanaannya di Baitullah Makkah maka dibutuhkan negara dalam mengatur uslub dan wasilah baik dari hukum teknis maupun administrasinya. Islam menetapkan prinsip dasar dalam masalah pengaturan haji secara sederhana dalam sistemnya, eksekusinya cepat dan ditangani oleh orang yang profesional karena itu negara Islam atau Khilafah yang merupakan kepemimpinan yang satu bagi kaum muslim akan membentuk departemen khusus yang mengurusi urusan haji dan umrah dari pusat hingga ke daerah dengan konsep administrasi terdesentralisasi.
Jika Khilafah harus menetapkan ongkos naik haji besar atau kecilnya tentu akan disesuaikan dengan biaya yang dibutuhkan oleh para jamaah berdasarkan jarak wilayahnya dengan Tanah Haram (Makkah-Madinah) serta fasilitas yang dibutuhkan selama pergi dan kembali dari tanah suci. Dalam penentuan ongkos haji dalam Khilafah bukan asas untung rugi apalagi menggunakan dana calon jemaah haji untuk bisnis investasi. Khilafah juga bisa membuka rute darat, laut, dan udara dengan konsekuensi biaya yang berbeda. Umat Islam penjuru dunia bebas masuk keluar Makkah-Madinah tanpa visa. Mereka cukup menunjukkan identitas diri berupa KTP atau paspor.
Adapun persoalan kuota, khilafah berhak untuk mengatur problem ini, sehingga keterbatasan tempat tidak menjadi kendala bagi para calon jemaah haji dan umrah. Dalam kebijakan ini Khilafah harus memperhatikan pertama, kewajiban haji dan umrah hanya berlaku sekali seumur hidup. Kedua, kewajiban ini berlaku bagi mereka yang memenuhi syarat dan mampu. Bagi calon jemaah yang belum haji dan umrah sementara sudah memenuhi syarat dan mampu maka mereka akan diutamakan. Demikianlah pengaturan haji dalam naungan Khilafah akan memudahkan rakyat dalam menunaikan kewajibannya sebagai seorang muslim.
“Imam (Khalifah) yang menjadi pemimpin manusia, adalah (laksana) penggembala dan hanya dialah yang bertanggung jawab terhadap (urusan) rakyatnya.” (h.r. Bukhari).
Wallahualam bissawab.
Views: 7
Comment here