Opini

Pagar Laut, Air Mata Nelayan

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh: Sarie Rahman

Wacana-edukasi.com, OPINI-– Yus Dharman, seorang praktisi hukum dan pengamat kebijakan publik, menyatakan bahwa pemagaran atau pematokan laut adalah kejahatan korporasi dan tidak dapat dibenarkan meski dengan alasan Proyek Strategis Nasional (PSN). Ia mendesak aparat penegak hukum untuk menindak tegas pelaku, termasuk memberikan denda berat, mencabut izin usaha perusahaan, dan menghukum pelaku seberat-beratnya. Yus Dharman juga menekankan pentingnya studi kelayakan terkait dampak lingkungan dan sosial ekonomi masyarakat sebelum melakukan reklamasi laut (DENPASAR, BALIPOST.com, 01/02/2025).

Pagar Laut, Simbol Ketidakberdayaan Hukum di Indonesia

Kasus pelanggaran hukum terkait pembangunan pagar laut di berbagai wilayah Indonesia menunjukkan adanya ketidaktegasan dalam penegakan hukum. Meski pelanggaran sudah jelas terlihat, namun proses hukum tidak berjalan sebagaimana mestinya, dan aspek pidana tidak dieksplorasi lebih lanjut. Indikasi adanya upaya untuk menjadikan pihak-pihak tertentu sebagai kambing hitam tampak dalam beberapa kasus. Sementara dalang utama yang bertanggung jawab atas pelanggaran tersebut tidak tersentuh hukum, terciptalah ketidakadilan dalam masyarakat. Ketidakadilan yang terjadi mengakibatkan hilangnya kepercayaan publik pada sistem hukum.

Para pejabat yang seharusnya bertanggung jawab atas penegakan hukum dan pengawasan pembangunan justru terkesan menghindar dan tidak mau bertanggung jawab. Alih-alih mengambil tindakan tegas untuk menyelesaikan masalah, mereka malah cenderung mencari-cari alasan pembenaran atau bahkan saling menyalahkan. Kondisi ini mencerminkan adanya masalah serius dalam tata kelola pemerintahan dan penegakan hukum di Indonesia.

Perlu adanya tindakan tegas dari pihak berwenang untuk mengusut tuntas kasus-kasus pelanggaran hukum terkait pembangunan pagar laut, serta menindak pelaku tanpa pandang bulu, tak terkecuali mereka yang memiliki kekuasaan atau pengaruh besar. Disamping itu, perlu adanya evaluasi terhadap regulasi dan mekanisme pengawasan terkait pembangunan di wilayah pesisir, serta peningkatan kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga lingkungan dan mematuhi hukum. Sehingga diharapkan kasus-kasus serupa tidak terulang kembali di masa depan.

Drama Pagar Laut Bukti Kuatnya Cengkeraman Korporasi (Korporatokrasi)

Kasus penjualan area pesisir laut di berbagai pulau di Indonesia cerminan fenomena korporatokrasi, contoh nyata kuatnya pengaruh korporasi dalam lingkaran kekuasaan. Di sistem ini, negara seolah tak berdaya menghadapi kekuatan modal besar yang dimiliki korporasi. Para korporat dengan kekayaan melimpah mampu memengaruhi kebijakan, bahkan membeli dukungan dari aparat negara. Oknum aparat negara yang seharusnya menjadi pelayan publik justru berkolaborasi dengan korporasi, mengkhianati amanat rakyat dan melanggar hukum demi keuntungan pribadi atau kelompok. Mereka menjadi fasilitator kejahatan yang merugikan rakyat banyak dan mengancam kedaulatan negara.

Akar dari praktik korporatokrasi ini terletak pada prinsip-prinsip liberalisme dalam ekonomi kapitalisme. Sistem ekonomi yang menitik beratkan kebebasan pasar dan minimnya regulasi pemerintah, membuka celah bagi konsentrasi kekuatan ekonomi di tangan segelintir orang. Alhasil lahirlah aturan-aturan yang lebih berpihak pada kepentingan oligarki daripada kepentingan rakyat banyak. Hal ini menciptakan lingkaran setan di mana korporasi semakin kuat dan berkuasa, sementara negara semakin lemah dan tidak berdaya menghadapi kepentingan korporasi yang seringkali bertentangan dengan kepentingan publik.

Konsep Ideal Kepemimpinan dalam Perspektif Islam

Dalam hadis riwayat Bukhari dan Muslim disebutkan
كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Kullukum raa’in wa kullukum mas’uulun ‘an ra’iyyatihi”
Artinya: “Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.”

Memberikan pemahaman yang mendalam tentang konsep kepemimpinan dalam Islam. Setiap Muslim adalah pemimpin dan memiliki tanggung jawab untuk menjalankan amanah kepemimpinannya dengan baik. Idealnya fungsi negara adalah sebagai raa’in (pengayom) dan junnah (perisai) bagi rakyatnya. Konsep ini mengandung makna yang dalam tentang tanggung jawab negara terhadap kesejahteraan dan keamanan seluruh warga negara. Negara tidak hanya berperan sebagai penjaga keamanan fisik, tetapi juga sebagai penyedia kebutuhan dasar, pelindung hak-hak individu, dan fasilitator kemajuan sosial ekonomi.

Fungsi ideal ini, akan terwujud jika negara memiliki landasan hukum yang kuat dan berkeadilan yaitu hukum yang bersumber dari syariat Islam sebagai landasan yang paling kokoh untuk menciptakan tatanan masyarakat yang harmonis dan sejahtera, bukan sekadar akal manusia. Hukum syariat yang bersumber dari wahyu Ilahi ini memberikan panduan yang jelas dan komprehensif tentang kebaikan dan keburukan, serta memberikan solusi yang adil dan bijaksana untuk berbagai persoalan kehidupan.

Dengan berlandaskan pada hukum syariat, negara mampu menjalankan fungsinya sebagai raa’in dan junnah lebih efektif. Negara dapat memberikan perlindungan yang optimal bagi seluruh rakyat, memastikan keadilan dalam segala aspek kehidupan, serta menciptakan lingkungan yang kondusif bagi perkembangan potensi setiap individu. Tujuan akhirnya adalah untuk mewujudkan masyarakat yang baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur (negeri yang baik dengan Tuhan Yang Maha Pengampun).

Benteng Syariah, Ekonomi Rakyat Kuat

Begitu pula dengan sistem ekonomi, sistem ekonomi Islam adalah pola ekonomi yang berlandaskan pada prinsip-prinsip syariah. Konsep kepemilikan dalam Islam terbagi dalam kepemilikan individu dan kepemilikan bersama, dengan batasan-batasan tata cara perolehan dan pemanfaatannya. Islam juga memiliki aturan yang jelas terkait pengelolaan ekonomi, seperti larangan riba (bunga), gharar (ketidakpastian), dan maisir (perjudian). Selain itu, zakat sebagai instrumen redistribusi kekayaan memiliki peran penting dalam sistem ekonomi Islam.

Dalam hal penegakan hukum, Islam memiliki sistem sanksi yang tegas dan adil. Semua individu, tanpa memandang status sosial atau kedudukan, memiliki kedudukan yang sama di hadapan hukum. Sistem peradilan Islam menjamin setiap pelanggaran akan mendapatkan sanksi yang setimpal, sehingga terwujudlah keadilan dan ketertiban dalam masyarakat. Prinsip kesetaraan di hadapan hukum ini merupakan salah satu pilar penting dalam menjaga stabilitas dan harmoni sosial.

Dalam ekonomi Islam, syariat memiliki otoritas tertinggi, bukan korporasi atau individu. Prinsip ini adalah kunci untuk mencegah korporatokrasi, di mana kekuasaan ekonomi didominasi oleh kepentingan korporasi. Islam mengatur bahwa penguasa yang bertanggung jawab atas rakyat, harus menjalankan aturan sesuai syariah. Mereka tidak berhak menggunakan kekayaan rakyat untuk kepentingan pribadi atau kelompok. Islam juga melarang segala bentuk fasilitas yang memungkinkan pihak lain termasuk korporasi, untuk menguasai atau mengambil keuntungan dari kekayaan rakyat secara tidak sah.

Dengan berpegang pada kedaulatan syariah, negara memiliki mekanisme kuat untuk mengawasi aktivitas ekonomi. Tujuannya untuk memastikan bahwa semua kebijakan dan praktik ekonomi didasarkan pada keadilan, kemaslahatan bersama, dan tidak melanggar prinsip-prinsip syariat. Dengan demikian, potensi korporatokrasi, yang merugikan rakyat dan negara, dapat dihilangkan.(WE/IK].

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 0

Comment here